Kompas; 13/01/14
A Prasetyantoko
BARU-baru
ini, Jim O’Neill, mantan ekonom dan petinggi Goldman Sachs, datang ke Jakarta
dan kembali mengeluarkan ramalan tentang masa depan Indonesia melalui konsep
MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki). Keempat negara ini dianggap akan
menggantikan posisi Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). O’Neill pula yang
pertama kali pada 2001 memopulerkan istilah BRIC.
Setelah
berhasil menggagas konsep BRIC, O’Neill sebenarnya juga mengeluarkan konsep
N-11 atau kelompok 11 negara yang prospektif (the next 11 countries) dan
kemudian konsep MIKT (Meksiko, Indonesia, Korea, dan Turki). Kedua konsep ini
tak begitu banyak mendapat tanggapan publik. Sekarang ia kembali mengeluarkan
singkatan MINT. Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di
kawasan Asia Tenggara, dengan catatan mampu mengatasi persoalan infrastruktur
dan daya saing ekonomi di luar sektor komoditas. Tak ada hal yang baru dan kita
semua sudah paham dengan masalah itu.
Lagi
pula, proyeksi semacam ini terasa kehilangan relevansi jika dilihat dalam konteks
terkini. Sepanjang 2013, nilai tukar rupiah terdepresiasi hampir 26 persen,
sementara kinerja pasar modal (IHSG) pada akhir tahun dibandingkan dengan level
tertingginya terkoreksi lebih dari 18 persen. Kita termasuk negara yang mata
uangnya paling rapuh, sementara kinerja sektor keuangannya termasuk paling
buruk. Mungkin gejolak pasar keuangan tak bisa menjadi indikator dari kehidupan
riil masyarakat. Namun, beberapa indikator lain juga menunjukkan memburuknya
situasi. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal tahun ini menunjukkan
jumlah orang miskin September 2013 bertambah 0,48 juta orang dibandingkan
dengan Maret 2013, menjadi 28,55 juta orang. Dengan demikian, jumlah penduduk
miskin menjadi sekitar 11,47 persen dari total penduduk.
Bukan
itu saja, tingkat kedalaman kemiskinan serta indeks keparahannya juga
meningkat. Bagaimana kita melihat kaitan proyeksi perekonomian yang begitu
prospektif dengan realitas meningkatnya gejolak pasar keuangan dan makin
akutnya masalah kemiskinan. Terkait gejolak di pasar keuangan, sejumlah
instrumen stabilisasi jangka pendek sudah dikeluarkan dan sudah mulai bekerja.
Bagaimana dengan masalah kemiskinan? Sering kali, kebijakan mengatasi persoalan
ini berhenti pada hal yang artifisial jangka pendek.
Salah
satu penyebab peningkatan jumlah orang miskin tahun lalu adalah kebijakan menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juni tahun lalu, selain melonjaknya harga
beberapa komoditas pangan hingga akhir tahun. Kenaikan harga BBM sebesar lebih
dari 33 persen diikuti dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Persis
setelah pengumuman kenaikan harga BBM, gubernur bank sentral Amerika Serikat mengumumkan
rencana pengurangan stimulus (tapering off). Setelah itu, dinamika perekonomian
kita terasa begitu menantang, hingga hari ini.
Setelah
kenaikan harga BBM, inflasi Juli melonjak sebesar 3,29 persen sehingga
ekspektasi inflasi tahunan juga meningkat. Pada saat itu, inflasi tahunan
diperkirakan akan mencapai 9 persen-9,8 persen. Tentu saja situasi ini memengaruhi
persepsi investor. Masih ditambah dengan data defisit neraca perdagangan dan
transaksi berjalan, minat investor untuk bertahan di pasar domestik menipis.
Kini, sentimen di dalam negeri membaik karena realisasi inflasi tahunan pada Desember
hanya 8,38 persen, sementara neraca perdagangan juga mulai membaik.
Konteks
tersebut perlu dipahami agar kita tak lagi salah (terlambat) mengambil kebijakan.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, satu-satunya cara mengatasi
kemiskinan dan pengangguran adalah meningkatkan pertumbuhan. Sayangnya, tahun
ini kita justru terpaksa harus memangkas angka pertumbuhan demi mengatasi
persoalan defisit perdagangan dan transaksi berjalan. Masalah lainnya, kualitas
pertumbuhan itu sendiri juga semakin menurun. Artinya, kemampuan setiap 1
persen pertumbuhan ekonomi menyerap tenaga kerja dan menurunkan angka
kemiskinan semakin turun. Apa penyebabnya?
Salah
satu ilmuwan paling terkemuka dalam riset kemiskinan ialah Francois Bourguignon,
dari Paris School of Economics yang pernah menjadi wakil presiden Bank Dunia.
Argumennya sangat jelas: korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
rakyat dari kemiskinan semakin menurun seiring meningkatnya ketimpangan.
Situasi ini persis yang kita alami sekarang. Pelambatan ekonomi, kenaikan
jumlah kemiskinan terjadi bersamaan dengan naiknya ketimpangan. Dengan
demikian, cukup kuat untuk mengatakan kualitas pertumbuhan kita makin memburuk. Fakta ini kembali menguatkan risiko perekonomian
kita masuk dalam perangkap negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).
Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu publikasi Bank Pembangungan Asia, ada
beberapa negara di kawasan Asia yang sebenarnya sangat prospektif, tetapi
memiliki risiko masuk dalam perangkap tersebut. Indonesia adalah salah satunya.
Soal
kualitas pertumbuhan ini harus menjadi fokus dari pemerintah ke depan.
Pemerintah tidak hanya bekerja keras dalam hal stabilisasi ekonomi, tetapi juga
mendorong intermediasi. Menurut pengalaman, berbagai paket kebijakan bagus
biasanya dikeluarkan pada saat situasi buruk. Namun, ketika situasi membaik, justru
tak banyak dilakukan sesuatu untuk mendorong intermediasi serta memperbaiki
sisi pasokan dalam ekonomi. Kita harus mampu menjadikan momentum Pemilihan Umum
2014 ini sebagai transformasi untuk menjadikan bangsa ini lebih punya pijakan
dalam menatap masa depan.
A
Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment