Wednesday, September 11, 2013

PERLINDUNGAN ORANG ASING DALAM HUKUM INTERNASIONAL



Oleh :  ARSENSIUS, SH
A.            Pendahuluan
Individu yang bertempat tinggal dalam suatu negara berupa warga negara dan bukan warga negara. Orang yang bukan warga negara ini disebut sebagai orang asing  Untuk menentukan seseorang penduduk adalah warga negara atau bukan, hal tersebut diatur oleh hukum nasional dari masing-masing negara. Dalam hukum nasionalnya akan ditentukan siapa saja termasuk warga negaranya dan yang bukan. Meskipun masing-masing negara berwenang menentukan peraturan kewarganegaraannya yang diberlakukan dalam wilayah negara itu,   tetapi negara tersebut juga harus memperhatikan  prinsip-prinsip hukum internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional dan azas-azas umum hukum internasional  mengenai kewarganegaraan (Yudha Bhakti Ardhiwisastra,2003: 9-10). Menurut J.G. Starke, arti penting status kewarganegaraan (Nationality)  seseorang bagi hukum internasional  adalah dalam hal:
  1. Pemberian hak perlindungan  diplomatik di luar negeri. Setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri. 
  2. Negara yang menjadi kebangsaan seseorang tertentu akan bertanggungjawab kepada negara lain  apabila negara itu melalaikan kewajibannya mencegah  tindakan-tindakan melanggar hukum   yang dilakukan oleh orang  yang bersangkutan atau negara tersebut tidak menghukumnya,  setelah tindakan melanggar hukum itu dilakukan.
  3. Secara umum, suatu negara tidak boleh menolak atau  menerima kembali warganegaranya  sendiri di wilayahnya.
  4. Nasionalitas berhubungan erat dengan kesetiaan, dan salah satu hak utama dari kesetiaan adalah kewajiban untuk dinas militer di negara terhadap mana  kesetiaaan itu di baktikan.
  5. Suatu negara mempunyai hak luas, kecuali adanya traktat khusus  yang mengikatnya  untuk melakukan hak itu, untuk menolak pengekstradisian  warganya kepada negara lain yang meminta penyerahannya.
  6. Status musuh dalam perang dapat ditentukan oleh nasionalitas orang tersebut.
  7. Suatu negara melaksanakan yurisdiksi pidana dan yurisdiksi lainnya berdasarkan nasionalitas seseorang (J.G. Starke, 2003: 459).
Dengan demikian, cukup penting untuk terlebih dahulu menentukan status kewarganegaraan seseorang  supaya tidak timbul keragu-raguan dalam penerapan hukum  kepadanya.  Apabila timbul keragu-raguan, maka   aturan hukum  yang dipergunakan adalah hukum  nasional setempat yang diakui oleh orang tersebut atau  hukum yang berlaku di negara yang diduga menjadi kebangsaan  orang tersebut, demikian  pendapat Russell J dalam perkara Stoeck v Public Trustee,  sebagai berikut : ” Persoalan dari negara mana seseorang berasal  pada akhirnya harus diputuskan oleh hukum nasional  setempat dari negara yang diklaim oleh orang itu sebagai negaranya atau yang diduga sebagai  negaranya ” . Prinsip tersebut sesuai pula dengan pasal  1 dan 2   The Hague Convention on the Conflict of Nationality  Law 1930, berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 : “  Setiap negara untuk  menentukan menurut haknya  sendiri tentang siapa yang merupakan warganegaranya . Hukum ini  harus diakui oleh negara-negara lain sejauh hal tersebut konsisten  dengan konvensi-konvensi  internasional, kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum yang umumnya diakui  berkenaan dengan nasionalitas”.
Pasal 2 : “  Setiap  persoalan mengenai apakah seseorang yang berkewarganegaraan suatu negara harus ditentukan sesuai dengan hukum dari negara tersebut” ( J.G. Starke, 2003: 460-461). Dalam membahas persoalan perlindungan hukum internasional terhadap orang asing ini digunakan pendekatan doktrinal dan praktek pengadilan internasional.  Dari  pendapat para ahli hukum internasional, akan ditemukan  azas-azas dan teori-teori hukum mengenai kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional.  Azas-azas kewarganegaraan sebagai dasar utama pemberlakuan azas yurisdiksi  dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya  dan orang asing.
B.            Individu sebagai Subyek Hukum Internasional
Terlepas dari kedudukan seorang individu sebagai warga negara atau orang asing,  ia adalah subyek hukum internasional, yang memiliki  hak dan kewajiban  menurut hukum internasional dalam arti yang terbatas. Dalam arti terbatas ini sebagai kebalikan dari pengertian negara sebagi subyek hukum internasional dalam arti penuh.  Pandangan ini didasarkan pada konsep teoritis bahwa hanya negara sebagai subyek hukum, dan individu  memiliki hak dan kewajiban tertentu melalui negara yang menjadi peserta suatu konvensi, seperti  pada Konvensi Palang Merah  Tahun 1949 (Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003: 96). Dengan meminjam istilah dari Prof. Nguyen Quoc Din, bahwa individu adalah subyek hukum internasional buatan, karena   kehendak negaralah, yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan konvensional,  yang menjadikan individu  dalam hal-hal tertentu sebagai subyek hukum internasional (Boer Mauna, 2003: 594).
Dalam perkembangannya, kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional menjadi penting dan paham mengenai hanya negara sebagai subyek hukum internasional mulai ditinggalkan, seperti dalam kasus  Danzig Railway Officials Case ,  Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan dalam diktumnya yang  bersifat umum  berpendapat bahwa : ” Apabila suatu perjanjian internasionl  memberikan hak  tertentu kepada orang perorangan, hak itu harus diakui  dan mempunyai daya laku  dalam hukum internasional, artinya diakui oleh badan peradilan internasional”. Demikian pula dengan adanya peradilan di Nurenberg dan Tokyo dalam mengadili para pelaku kejahatan perang, dalam hal mana para pelaku kejahatan   bertanggungjawab secara individu atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, dan tidak dapat berlindung pada negaranya  (Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003: 104-105)
C.            Yurisdiksi Negara  Terhadap Orang Asing.
Praktek  pelaksanaan yurisdiksi oleh  beberapa negara yang diberlakukan terhadap  orang, harta bendanya, tindakan atau peristiwa, berbeda-beda  dan perbedaan itu disebabkan oleh faktor-faktor historis dan geografis suatu negara  ( J. G. Starke, 2001: 269)
Dalam hukum internasonal dikenal beberapa  prinsip-prinsip yurisdiksi :
  1. Yurisdiksi teritorial, pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh suatu negara  terhadap harta benda, orang, tindakan dan peristiwa yang terjadi dalam wilayah suatu negara  diakui oleh hukum internasional untuk semua negara anggota masyarakat internasional. Menurut pasal 9 Konvensi Montevideo Tahun 1933,  bahwa  : ” The jurisdiction of states within the limits  of national territory applies to all the inhabitants”.  Dengan demikian  berlakunya jurisdiksi teritorial suatu  negara adalah   dalam batas-batas wilayahnya, dan   akan tetap melekat padanya karena negara tersebut  berdaulat. Termasuk pula teritorial suatu negara adalah jalur pantai maritim atau laut tertorial, kapal yang berbendera dari suatu negara tertentu, dan pelabuhan-pelabuhan. Perluasan pengertian    yurisdiksi teritorial adalah prinsip teritorial subyektif  dan prinsip teritorial objektif. Yang dimaksud prinsip teritorial subyektif adalah  suatu negara menjalankan yurisdiksinya  untuk menuntut dan menghukum perbuatan pidana  yang dilakukan di wilayah negaranya,  tetapi perbuatan itu diselesaikan di  wilayah negara lain .  Penerapan prinsip ini  belum berlaku umum dalam praktek internasional  tetapi dimasukan dalam  pada Geneva Convention for Suppression of Cunterfeiting Currency,  1929 dan Geneva Convention for Suppression of the Illicit Traffic Drug Tahun 1939.  Sedangkan dalam teritorial obyektif, maka  suatu negara tertentu dapat menerapkan yurisdiksi obyektif ,  apabila  suatu perbuatan pidana  atau perbuatan lainnya yang dilakukan di negara lain  tetapi dilaksanakan atau diselesaikan di  dalam wilayah negara mereka,  atau perbuatan itu menimbulkan akibat yang sangat berbahaya bagi ketertiban sosial dan ekonomi di wilayah negara mereka. Prinsip ini dianut pula pada dua konvensi tersebut diatas dan diakui dalam keputusan-keputusan pengadilan di Amerika Serikat, Inggeris dan Jerman. Selain itu juga diakui yurisdiksi teritorial terhadap orang asing, dengan mengutip pendapat Hakim J.B. Moore dalam Lotus Case, antara lain menyatakan   ”Tidak ada anggapan imunitas  yang muncul dari fakta bahwa orang yang dikenai  perkara itu orang asing;  seorang asing  tidak dapat menuntut pembebasan  dari pelaksanaan yurisdiksi demikian kecuali  sejauh orang itu  dapat  memperlihatkan hal-hal berikut :  karena alasan imunitas khusus, ia tidak tunduk pada hukum lokal atau hukum lokal itu tidak sesuai dengan hukum internasional” (J. G. Starke,  2001: 277). Pengecualian dari pelaksanaan yurisdiksi  teritorial ini adalah : terhadap kepala  negara asing, perwakilan dan konsul  asing,  kapal milik asing, dan angkatan bersenjata milik asing, lembaga  internasional.
  2. Yurisdiksi  individu, penerapan yurisdiksi ini tergantung pada pelaku  individunya yang  terlibat dalam peristiwa hukum tertentu, bukan pada aspek teritorial  suatu negara.  Dalam praktek internasional, yurisdiksi individu ini diberlakukan  menurut prinsip-prinsip  nasionalitas aktif dan nasionalitas pasif. Menurut prinsip nasionalitas aktif, maka  negara dapat melaksanakan  yurisdiksi terhadap semua warganegaranya, sedangkan menurut prinsip nasionalitas pasif, maka  negara dapat menjalankan yurisdiksinya  apabila seorang warga negara menderita kerugian.  Hukum internasional mengakui prinsip ini dengan pembatasan tertentu,  seperti dalam Cutting Case, dimana negara yang tidak mengakui prinsip ini  juga tidak  wajib memberikan pengakuan terhadap peradilan yang  dilaksanakan  oleh negara lain  terhadap warga negaranya.  Dasar pembenar terhadap prinsip nasionallitas  pasif adalah  setiap negara berhak  melindungi warganegaranya  di luar negeri dan apabila negara  teritorial  dimana tindak pidana itu terjadi  tidak menghukum orang  yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang  terhadap tindak pidana itu,  apabila orang tersebut berada dalam wilayahnya.
  3. Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan,  setiap negara berwenang melaksanakan yurisdiksinya  terhadap kejahatan  yang menyangkut keamanan, integritas dan kepentingan ekonomi yang vital, dengan alasan-alasan bahwa akibat tindak pidana itu  sangat besar bagi negara  yang dimaksud dan  apabila yurisdiksi itu tidak dilaksanakan maka pelakunya akan lolos dari penghukuman karena tidak melanggar hukum lokal  atau  ekstradisi ditolak dengan alasan  tidak pidana bersifat politis. Seperti misalnya praktek pengadilan di Inggeris dalam Kasus Joyce V DPP, Majelis Tinggi berpendapat bahwa   ”seorang asing yang menghianati Mahkota dapat di hukum  meskipun dilakukan di luar negeri”.
  4. Yurisdiksi menurut prinsip-prinsip universal. Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universal ini adalah  tindak pidana yang  yang berada dalam  di bawah yurisdiksi semua negara dimanapun tindak pidana itu dilakukan.  Tindak pidana   jure gentium  dan semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelakunya, contohnya kejahatan perompakan dan kejahatan perang.
Seorang asing berhak atas perlindungan yang sama berdasarkan undang-undang negara tempat ia berada  dan berhak pula atas hak-hak tertentu untuk memberikan kemungkinan kepadanya  hidup secara layak, seperti diatur pada pasal 9 Konvensi Montevideo Tahun 1933, yang  berbunyi:”Nationals and foreigners are under the same protection of law  and the national authorities and the foreigners may not claim right other or more than those of nationals“.
Terlepas dari perlindungan  yang sama atas hak-hak orang asing berdasarkan peraturan perundang-undangan  tuan rumah  dihadapan pengadilan, tetapi hukum internasional tidak melarang suatu negara mengadakan perlakukan yang berbeda yang lebih mengutamakan pada warga negaranya sendiri dari pada orang asing.  Pada umumnya tidak semua orang asing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Orang asing penetap mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berada di wilayah suatu negara sementara, seperti turis asing  (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003: 19).
D.            Tanggungjawab Negara Terhadap Orang Asing.
Pada dasarnya hak dan  kewajiban negara terhadap orang, baik warga negara maupun orang asing,  ditentukan oleh  negara tersebut dan kewarganegaraan dari orang  yang bersangkutan.  Setiap orang tersebut tunduk pada kekuasaan negara dan harus mentaati hukum yang berlaku di wilayah negara tersebut, terkecuali bagi orang asing dengan pembatasan-pembatasan tertentu, seperti dalam hak politik, jabatan dalam pemerintahan.  Kewarganegaraan  seseorang berhubungan erat dengan negaranya, karena menimbulkan hak dan kewajiban  secara timbal - balik.  Negara wajib melindungi warganegaranya di manapun berada, dan setiap warga negara  tetap tunduk atas kekuasaan negaranya  serta mentaati hukum yang berlaku di negaranya.  Bagi warga negaranya yang berada di luar negeri, berlakunya kekuasaan negara dan aturan hukum baginya,  dibatasi oleh kekuasaan dan hukum   negara dimana ia berada (F. Sugeng Istanto, 1998: 42).        Praktek negara-negara dalam memperlakukan orang asing yang berada di wilayah negaranya selalu disertai dengan pembatasan-pembatasan tertentu, seperti dalam  bidang   perpajakan, hak  untuk pekerjaan tertentu , tempat tinggal, kepemilikan harta benda, privilege dan imunitas sipil dan  keimigrasian.
Dalam doktrin hukum internasional terdapat beberapa pendapat   berkenaan dengan masuknya orang asing pada wilayah suatu negara :
  • Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing.
  • Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing, dengan syarat bahwa negara tersebut boleh menolak  golongan-golongan tertentu, misalnya pecandu obat bius, orang mengidap penyakit berbahaya.
  • Suatu negara terikat untuk mengijinkan orang asing masuk  tetapi dengan mengenakan syarat-syarat pada ijin masuk.
  • Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing  menurut kehendaknya.
Praktek negara-negara dalam  hal pemberian ijin masuk orang asing di wilayah negaranya, selalu disertai dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam hukum nasional masing-masing negara. Tindakan  ini sesuai dengan pencerminan dari prinsip kedaulatan negara yang dianut oleh suatu negara,  bahkan praktek pengadilan di Amerika  dan Inggris menegaskan bahwa larangan masuk orang asing yang dilakukan oleh suatu negara sebagai  suatu peristiwa kedaulatan teritorial. Pengecualian terhadap larangan masuk orang asing ke wilayah suatu negara, dapat ditentukan dalam  perjanjian internasional yang mengikat bagi negara-negara tersebut. Dalam hukum internasional sendiri  tidak mempunyai kewajiban untuk mengijinkan masuknya orang asing secara bebas dan  tidak menetapkan jangka waktu tertentu bagi orang asing yang masuk dalam wilayah suatu negara  (J. G. Starke, 2003:465).
Suatu negara bertanggungjawab terhadap warga negara asing dan harta miliknya  yang berada di wilayah negaranya.  Perjanjian internasional  multilateral dan regional atau melalui hukum nasional menetapkan hak dan kewajiban negara terhadap orang asing yang berada dalam wilayah suatu negara, pelanggaran terhadap kewajiban itu menyebabkan negara harus bertanggungjawab terhadap orang asing tersebut. Selain  itu,  ada juga  alasan munculnya pertanggungjawaban negara  sebagai akibat  tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabatnya  berupa melakukan perbuatan mistreatment terhadap orang asing dan  tindakan atau kelalaian yang merugikan secara ekonomis dan fisik yang dilakukan oleh negara terhadap orang asing.  (Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar,  2006:206).
Ada  2  pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing  :
  1. International Minimum Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju, menurut pendapat ini maka  memperlakukan orang  asing  di dalam negeri  harus memenuhi standar  minimum internasional, yaitu sesuai dengan hukum internasional dan perlindungan yang efektif menurut hukum internasional. Apabila syarat ini tidak terpenuhi , maka pertanggungjawaban negara  timbul. Penerapan prinsip ini tampak dalam perkara The Neer Claim tahun 1926.  Terhadap  perkara ini, pengadilan berpendapat bahwa suatu perlakuan terhadap orang asing dalah suatu kejahatan internasional  apabila perlakuan tersebut merupakan suatu kebiadaban, itikad buruk, kelalaian yang disengaja atau kurangnya tindakan dari pemerintah.
  2. National Treatment Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-negara berkembang,  menurut prinsip ini orang asing harus diperlakukan  sama seperti halnya negara memperlakukan warganegarannya.  Penerapan standar ini dapat ditemukan pada pasal 9 Konvensi Montevideo 1933.
     Dengan adanya perpedaan pandangan dari dua kepentingan yang berbeda tersebut, maka sebagai jalan tengah,   Garcia Amandor  mengemukakan pendapatnya  mengenai tanggungjawab negara khususnya   berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, sebagai laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, sebagai berikut :
  1. Orang asing menikmati hak dan jaminan yang sama dengan warga negara tempat ia tinggal, tidak kurang dari jaminan untuk menikmati hak-hak fundamental manusia yang telah ditetapkan dan diakui oleh hukum internasional.
  2. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, akan melahirkan tanggungjawab negara terhadap pelaku. Dalam hal ini negara asal dapat melakukan perlindungan diplomatik.  Untuk itu negara asal perlu memahami  prinsip hukum yang berlaku  di negara  tempat warga negara  tinggal (Huala Adolf, 2002: 294-295).
Sehubungan dengan pertanggungjawaban negara terhadap orang asing juga dikenal  Denial of Justice, dalam arti luas berati  kerugian yang timbul bagi orang asing diluar negeri karena  pelanggaran keadilan internasional yang dilakukan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif.   Dalam arti sempit berarti    penyalahgunaan proses peradilan  atau pemberian keadilan yang tidak  selayaknya, misalnya dalam kasus Chattin Claim tahun 1972, United States-Mexico General Claims  Commission berpendapat bahwa  ”ketidakberesan proses perkara pengadilan terbukti dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak semestinya, tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengetahui semua gugatan yang diajukan kepadanya, penundaan perkara yang tidak semestinya, pemeriksaan terbuka di pengadilan hanya formalitas saja” (J.G. Starke, 2003: 411).
Selanjutnya, juga ada tiga   persoalan yang terkait dengan pertanggungjawaban negara terhadap perlakuan orang asing, yaitu Nationality of Claims, Exhaustion of Local Remedies dan Ekspropriasi.
Dalam hal Nationality of Claims,  negara memberikan perlindungan hukum kepada warganegaranya di luar negeri apabila timbul perbuatan yang merugikan warganya oleh negara lain.  Dalam penentuan  nasionalitas  warganya yang mengalami kerugian,  ditentukan oleh hukum nasional negara yang mengajukan tuntutan.
Exhaustion of Local Remedies, dimaksudkan untuk  meminta pertanggungjawaban negara yang  sudah melalui seluruh mekanisme hukum nasional negara setempat . Jadi orang asing yang terlibat dalam suatu perkara  di negara lain, terlebih dahulu  harus mengunakan  mekanisme  hukum  nasional setempat.     Dalam kasus Ambatioles Arbitration,  Pihak Inggeris menolak tuntutan  warga negara Turki, yang diwakili negaranya,  karena warga Turki tersebut belum menggunaknan  seluruh upaya hukum yang berlaku di  negara Inggris (Jawahir Tontowi dan  Pranoto Iskandar,  2006: 209). Doktrin Calvo, klausul ini sering  dimuat dalam  kontrak-kontrak antar pemerintah-pemerintah Amerika Tengah dan Selatan dengan pihak-pihak perusahaan asing atau orang-orang yang mempunyai konsesi-konsesi atau hak-hak berdasarkan kontrak tersebut.  Tujuan di masukannya klausul ini untuk menjamin bahwa sengketa-sengketa  hukum yang timbul dari kontrak tersebut akan dilimpahkan pada pengadilan  setempat  dari negara yang memberikan konsensi  dan untuk menghapus yurisdiksi-yurisdiksi pengadilan arbitrase internasional atau mencegah permintaan tindakan diplomatik kepada negara asal perusahaan atau individu yang menikmati konsesi itu  (J.G. Starke, 2003: 400-4001). Ekspropriasi yang diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan swasta oleh negara.  Menurut Resolusi PBB  mengenai Kedaulatan Permanen  Atas Sumber-Sumber Alam yang diadopsi oleh  Majelis Umum PBB tahun 1962  dinyatakan bahwa ; ”Ekspropriasi harus dilakukan berdasarkan kepentingan yang luas dan kompensasi yang adil. Ekspropirasi tidak boleh diskriminatif dan tidak ditujukan kepada kebangsaan tertentu”.
Suatu ekspropriasi tidak berdasarkan hukum apabila  dilakukan secara diskriminatif,  hanya ditujukan pada kebangsaan tertentu,  ketidakmampuan negara untuk kompensasi yang adil  dan tidak berdasarkan pada alasan kebijakan publik.  Apabila ekspropirasi tidak sesuai dengan hukum, maka ganti kerugian disebut sebagai kerusakan bukan kompensasi . Ganti kerugian ini didasarkan atas standar perhitungan  standar normal,  bahkan meliputi kerugian yang akan datang, seperti dalam kasus Amoco Finance Case  1985. (Jawahir Tontowi dan  Pranoto Iskandar, 2006: 210).
Praktek negara-negara, terdapat  beberapa  lembaga perlindungan hukum  yang dapat dipergunakan oleh orang asing dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum   :
  1. Perjanjian antar  negara asal  dengan negara tempat ia berada untuk mengatur  perlindungan warganegaranya masing-masing dan harta bendanya.
  2. Lembaga perlindungan penanaman modal asing, termasuk jaminan dari pemerintah lokal (host state) apabila timbul tindakan nasionalisasi, seperti  Perjanjian antara Indonesia dengan Belgia  tentang Dorongan dan Perlindungan Timbal-Balik Bagi Penanaman  Modal pada  tanggal 15 Januari 1972.
  3. Perjanjian Jaminan Asuransi yang beranggotakan  negara penerima modal dan penanam modal   pada Convention Establising  the Multilateral Investment Guarantee Agency di bawah naungan  Bank Dunia.
  4. Upaya hukum setempat (Exhaustion of local remedy), yang berupa suatu tindakan  hukum dari orang asing yang dirugikan melalui tuntutan   dihadapan pengadilan setempat.
  5. Melalui perlindungan Diplomatik.  Upaya ini dilakukan karena adanya pelanggaran terhadap hukum internasional melalui perundingan atau tuntutan di pengadilan atas nama warga negaranya., dengan demikian apabila tindakan perlindungan diplomatik telah diambil, maka yang menjadi pihak berperkara  adalah negara, demikian pendapat Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Mavrommatis Palestine Concession 1924.
  6. Penuntutan melalui forum pengadilan di negara ketiga, apabila objek yang disengketakan berada di wilayah hukum negara forum, contoh perkara tembakau di pengadilan Bremen antara Pemerintah  Indonesia dengan pemilik perusahaan tembakau milik warga negara Belanda, karena barang yang disengketakan berada di wilayah  Jerman  (Yudha Bhakti Ardhiwisastra,  2003: 29).

E.            Kesimpulan
  • Pada prinsipnya setiap negara akan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya dimanapun ia berada dan  orang asing akan mendapat perlindungan hukum, dalam pembatasan-pembatasan tertentu,  baik dari negara tempat sementara ia berada dan dari negara asalnya. Dengan demikian, maka  status kewarganegaraan seseorang erat kaitannya dengan perlindungan hukum internasional yang akan diberikan kepadanya, terhadap dirinya, harta benda, dan keluarganya.
  • Penerapan  prinsip tanggungjawab negara terhadap warga negaranya di luar negeri atau  orang asing, lebih didasarkan pada   prinsip kedaulatan negara. Suatu negara yang berdaulat akan memberlakukan hukum nasionalnya  kepada warga negaranya  dalam batas-batas teritorialnya. Di  luar itu yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum dari negara lain atau ketentuan hukum internasional.  

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Grafindo, Jakarta, 2002.
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti,  Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003.
Istanto, Sugeng,  Hukum Internasional, Penerbit Univ. Atmajaya, Yogyakarta, 1998.
Mauna, Boer, Hukum Internasional Peranan, Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001.
Parthiana, I. Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bagian Pertama, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Starke, J.G.,  Hukum Internasional  1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Starke, J.G., Hukum Internasional  2, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Thontowi, Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,  Refika Aditama , Bandung, 2006.




No comments:

Post a Comment