Kompas; Senin, 19
Agustus 2013
A
Prasetyantoko
Nota
keuangan RAPBN 2014 yang disampaikan dalam rangkaian pidato kenegaraan Presiden
menjelang HUT Ke-68 Kemerdekaan RI tampak begitu optimistis. Salah satunya,
target pertumbuhan 2014 dipatok 6,4 persen. Padahal, tahun ini kemungkinan
besar hanya akan tumbuh pada kisaran 5,8 persen. Bagaimana kita menjaga
momentum pertumbuhan tahun ini danmencapai target tahun depan?
Di
tengah optimisme itu, muncul tulisan menarik di situs East Asia Forum dengan
judul "Can Asia Get Rich?" Singkatnya, tulisan itu mengingatkan
negara-negara di Asia untuk mereformasi kebijakan dan kelembagaan. Jika tidak,
akan seperti negara-negara di Amerika Latin dan Timur Tengah yang mengalami
middle-income trap. Mereka mampu keluar dari kemiskinan ekstrem, tetapi gagal
melakukan transformasi lebih lanjut. Salah satu penyebabnya, terlalu bergantung
pada komoditas primer sehingga lupa melakukan peningkatan kapasitas inovasi melalui
strategi industrialisasi.
Peringatan
tersebut sangat relevan dengan kita. Tidak tercapainya target pertumbuhan tahun
ini sebesar 6,3 persen, salah satunya, disebabkan oleh menurunnya harga
komoditas di pasar dunia. Kita begitu bergantung pada sektor primer. Jika tahun
lalu pertumbuhan kita di atas 6 persen, sebagian besar karena sumbangan sektor
komoditas itu. Ketika itu, investasi asing langsung (FDI) cukup tinggi ke
sektor pertambangan dan perkebunan, khususnya batubara dan kelapa sawit.
Pendapatan para eksportir kedua sektor sangat menolong penerimaan negara. Pasar
modal juga ditopang kinerja para emiten pertambangan.
Kini,
ketika harga komoditas melemah, secepat itu pula koreksi pertumbuhan terjadi. Investasi
asing, baik investasi langsung maupun investasi portofolio, merosot drastis.
Indeks pertambangan dan perkebunan juga mengempis cepat. Penerimaan eksportir
komoditas terkoreksi tajam. Bahkan, ada revisi penerimaan pajak sebesar Rp 44
triliun pada kuartal I tahun ini. Penyebab utamanya, penurunan pajak para
eksportir.
Selain
koreksi pertumbuhan, bahaya juga mengancam dari membesarnya defisit neracaperdagangan.
Pada Juni, defisit perdagangan mencapai 847 juta dollar AS (Rp 8,8 triliun), naik
dari defisit Mei, yaitu 590 juta dollar AS (Rp 6,1 triliun). Defisit neraca
perdagangan menekan defisit transaksi berjalan yang mencatat rekor defisit
terbesar dalam sejarah, yakni 9,8miliar dollar AS atau sekitar Rp 101,8 triliun
(4,4 persen terhadap PDB) pada triwulan II 2013. Penurunan harga komoditas
menekan penerimaan ekspor, yang sebagian besar berupabarang primer. Produk
ekspor nonmigas kita tak cukup kompetitif.
Selain
isu harga komoditas, mulai pulihnya perekonomian negara maju, terutama Amerika
Serikat (AS), yang diikuti rencana pengurangan stimulus bank sentral AS, The
Fed, juga menjadi tantangan serius. Kepulihan negara maju membuat likuiditas ke
negara berkembang menyusut sehingga sumber pertumbuhan juga mengempis. Isu
likuiditas terlihat dari kesulitan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai
level 5.000, sementara FDI terus merosot.
Gabungan
dua masalah struktural global itu: penurunan harga komoditas dan pengurangan
likuiditas, membuat perekonomian kita tidak secerah tahun lalu. Sementara itu, tantangan
pokoknya masih tetap sama karena selama ini tidak ada tindakan progresif menyelesaikannya.
Ketika tahun lalu terjadi booming ekonomi, banyak gugatan kepadapemerintah yang
lamban melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur guna memperbaiki sistem
logistik kita.
Di
tengah melambatnya penerimaan ekspor dan investasi, tumpuan harapan ada pada konsumsi
domestik dan pengeluaran pemerintah. Di dalam negeri, tingginya inflasi dan
kenaikan suku bunga membuat konsumsi domestik melambat. Jadi, tumpuan paling
besar pada pengeluaran pemerintah. Lebih spesifik lagi, perekonomian bertumpu
pada komponen belanja modal sebagai instrumen melakukan ekspansi ekonomi dalam
rangka mencapai beberapa target,terutama pertumbuhan.
Postur
anggaran tahun depan naik 10,7 persen menjadi Rp1.662,5 triliun. Dari sisi
belanja naik 5,2 persen mencapai Rp1.816,7 triliun. Dengan demikian, defisit
anggaran sekitar 1,49 persen terhadap PDB dan alokasi belanja modal Rp 205,8
triliun atau naik 6,9 persen dari APBN 2013. Mengapa belanja modal tidak naik
signifikan? Di situlah salah satu titik krusial postur anggaran 2014.
Dilemanya,
selama ini proporsi belanja modal di bawah Rp 200 triliun hanya mampu terserap
75-85 persen. Ada sejumlah alasan, mulai dari kendala regulasi, koordinasi,
atau keterlambatan eksekusi proyek infrastruktur. Intinya, kita gagal
mengeksekusi anggaran belanjamodal dengan baik. Belum lagi kualitas
penggunaannya, yang masih harus ditingkatkan. Padahal, peran belanja modal
begitu penting mengingat tahun depan tahun terakhir pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Selama ini, begitu banyak janji politik yang tertuang
dalam sejumlah dokumen, mulai dari pidato kenegaraan sampai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010–2014 sebagai bagian dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional.
Dalam
beragam dokumen, selalu muncul visi pembangunan mewujudkan Indonesia yang lebih
sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Untuk itu, ada empat strategi utama:
pro-ertumbuhan, pro-lapangan pekerjaan, pro-pengurangan kemiskinan, serta
pro-lingkungan. Bagaimana mewujudkan cita-cita tersebut? Jika dikonfrontasikan
dengan target tadi, R-APBN 2014 terasa begitu miskin gebrakan dan terkesan
rutin semata.
Jangan-jangan,
R-APBN 2014 tidak saja gagal menerjemahkan target normatif RPJPN dan RPJMN,
tetapi juga gagal menjadi penyangga siklus ekonomi yang sedang merosot. Itu bukan
soal kinerja satu/dua kementerian saja, melainkan totalitas kinerja pemerintah.
Juga bukan soal perhitungan teknikal dan perencanaan teknokratis semata,
melainkan lebih menyangkutkapasitas kepemimpinan merealisasikan rencana
strategis dalam jabaran teknis yang sistematis.
A Prasetyantoko,
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment