Monday, September 2, 2013

MISKIN GEBRAKAN DAN RUTIN SEMATA

Kompas; Senin, 19 Agustus 2013
A Prasetyantoko



Nota keuangan RAPBN 2014 yang disampaikan dalam rangkaian pidato kenegaraan Presiden menjelang HUT Ke-68 Kemerdekaan RI tampak begitu optimistis. Salah satunya, target pertumbuhan 2014 dipatok 6,4 persen. Padahal, tahun ini kemungkinan besar hanya akan tumbuh pada kisaran 5,8 persen. Bagaimana kita menjaga momentum pertumbuhan tahun ini danmencapai target tahun depan?
Di tengah optimisme itu, muncul tulisan menarik di situs East Asia Forum dengan judul "Can Asia Get Rich?" Singkatnya, tulisan itu mengingatkan negara-negara di Asia untuk mereformasi kebijakan dan kelembagaan. Jika tidak, akan seperti negara-negara di Amerika Latin dan Timur Tengah yang mengalami middle-income trap. Mereka mampu keluar dari kemiskinan ekstrem, tetapi gagal melakukan transformasi lebih lanjut. Salah satu penyebabnya, terlalu bergantung pada komoditas primer sehingga lupa melakukan peningkatan kapasitas inovasi melalui strategi industrialisasi.
Peringatan tersebut sangat relevan dengan kita. Tidak tercapainya target pertumbuhan tahun ini sebesar 6,3 persen, salah satunya, disebabkan oleh menurunnya harga komoditas di pasar dunia. Kita begitu bergantung pada sektor primer. Jika tahun lalu pertumbuhan kita di atas 6 persen, sebagian besar karena sumbangan sektor komoditas itu. Ketika itu, investasi asing langsung (FDI) cukup tinggi ke sektor pertambangan dan perkebunan, khususnya batubara dan kelapa sawit. Pendapatan para eksportir kedua sektor sangat menolong penerimaan negara. Pasar modal juga ditopang kinerja para emiten pertambangan.
Kini, ketika harga komoditas melemah, secepat itu pula koreksi pertumbuhan terjadi. Investasi asing, baik investasi langsung maupun investasi portofolio, merosot drastis. Indeks pertambangan dan perkebunan juga mengempis cepat. Penerimaan eksportir komoditas terkoreksi tajam. Bahkan, ada revisi penerimaan pajak sebesar Rp 44 triliun pada kuartal I tahun ini. Penyebab utamanya, penurunan pajak para eksportir.
Selain koreksi pertumbuhan, bahaya juga mengancam dari membesarnya defisit neracaperdagangan. Pada Juni, defisit perdagangan mencapai 847 juta dollar AS (Rp 8,8 triliun), naik dari defisit Mei, yaitu 590 juta dollar AS (Rp 6,1 triliun). Defisit neraca perdagangan menekan defisit transaksi berjalan yang mencatat rekor defisit terbesar dalam sejarah, yakni 9,8miliar dollar AS atau sekitar Rp 101,8 triliun (4,4 persen terhadap PDB) pada triwulan II 2013. Penurunan harga komoditas menekan penerimaan ekspor, yang sebagian besar berupabarang primer. Produk ekspor nonmigas kita tak cukup kompetitif.
Selain isu harga komoditas, mulai pulihnya perekonomian negara maju, terutama Amerika Serikat (AS), yang diikuti rencana pengurangan stimulus bank sentral AS, The Fed, juga menjadi tantangan serius. Kepulihan negara maju membuat likuiditas ke negara berkembang menyusut sehingga sumber pertumbuhan juga mengempis. Isu likuiditas terlihat dari kesulitan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai level 5.000, sementara FDI terus merosot.
Gabungan dua masalah struktural global itu: penurunan harga komoditas dan pengurangan likuiditas, membuat perekonomian kita tidak secerah tahun lalu. Sementara itu, tantangan pokoknya masih tetap sama karena selama ini tidak ada tindakan progresif menyelesaikannya. Ketika tahun lalu terjadi booming ekonomi, banyak gugatan kepadapemerintah yang lamban melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur guna memperbaiki sistem logistik kita.
Di tengah melambatnya penerimaan ekspor dan investasi, tumpuan harapan ada pada konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah. Di dalam negeri, tingginya inflasi dan kenaikan suku bunga membuat konsumsi domestik melambat. Jadi, tumpuan paling besar pada pengeluaran pemerintah. Lebih spesifik lagi, perekonomian bertumpu pada komponen belanja modal sebagai instrumen melakukan ekspansi ekonomi dalam rangka mencapai beberapa target,terutama pertumbuhan.
Postur anggaran tahun depan naik 10,7 persen menjadi Rp1.662,5 triliun. Dari sisi belanja naik 5,2 persen mencapai Rp1.816,7 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran sekitar 1,49 persen terhadap PDB dan alokasi belanja modal Rp 205,8 triliun atau naik 6,9 persen dari APBN 2013. Mengapa belanja modal tidak naik signifikan? Di situlah salah satu titik krusial postur anggaran 2014.
Dilemanya, selama ini proporsi belanja modal di bawah Rp 200 triliun hanya mampu terserap 75-85 persen. Ada sejumlah alasan, mulai dari kendala regulasi, koordinasi, atau keterlambatan eksekusi proyek infrastruktur. Intinya, kita gagal mengeksekusi anggaran belanjamodal dengan baik. Belum lagi kualitas penggunaannya, yang masih harus ditingkatkan. Padahal, peran belanja modal begitu penting mengingat tahun depan tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama ini, begitu banyak janji politik yang tertuang dalam sejumlah dokumen, mulai dari pidato kenegaraan sampai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010–2014 sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Dalam beragam dokumen, selalu muncul visi pembangunan mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Untuk itu, ada empat strategi utama: pro-ertumbuhan, pro-lapangan pekerjaan, pro-pengurangan kemiskinan, serta pro-lingkungan. Bagaimana mewujudkan cita-cita tersebut? Jika dikonfrontasikan dengan target tadi, R-APBN 2014 terasa begitu miskin gebrakan dan terkesan rutin semata.
Jangan-jangan, R-APBN 2014 tidak saja gagal menerjemahkan target normatif RPJPN dan RPJMN, tetapi juga gagal menjadi penyangga siklus ekonomi yang sedang merosot. Itu bukan soal kinerja satu/dua kementerian saja, melainkan totalitas kinerja pemerintah. Juga bukan soal perhitungan teknikal dan perencanaan teknokratis semata, melainkan lebih menyangkutkapasitas kepemimpinan merealisasikan rencana strategis dalam jabaran teknis yang sistematis.


A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

No comments:

Post a Comment