A
Prasetyantoko
KOMPAS;
Senin,
11 November 2013
Dari berbagai indikator, terlihat perekonomian
kita tengah mengalami persoalan kompleks. Pertama, neraca perdagangan September
kembali defisit 657,2 juta dollar AS, setelah Agustus sempat surplus 71 juta
dollar AS. Impor bahan baku masih tinggi, sementara ekspor terpuruk, menandakan
lemahnya daya saing dan rapuhnya struktur industri domestik. Kedua, pertumbuhan
triwulan III sebesar 5,6 persen, turun dari triwulan II sebesar 5,8 persen dan
triwulan I sebesar 6 persen. Sulit tahun ini kita mampu tumbuh 5,8 persen. Menanggapi
data itu, pasar cenderung bergerak negatif. Pada Jumat minggu lalu, nilai
rupiah ditutup melemah 20 poin dibandingkan dengan hari sebelumnya menjadi Rp
11.401 per dollar AS. Sementara itu, indeks harga saham gabungan melemah
sekitar 10 poin ke level 4.476. Padahal, akhir Oktober lalu, indeks pasar
sempat naik ke level 4.590 dan kurs pada Rp 11.018 per dollar AS. Bahkan, di
pasar sudah diperdagangkan di bawah Rp 11.000. Dinamika pasar benar-benar
mencerminkan situasi fundamental. Tak mungkin mengendalikan gejolak pasar tanpa
menyelesaikan masalah fundamentalnya.
Di mana sebenarnya letak persoalan pokoknya?
Baru saja International Finance Corporation (IFC) melansir data peringkat Doing
Business 2014 dan menempatkan Indonesia di urutan ke-120. Meski terjadi
perbaikan, negara tetangga jauh lebih progresif, sehingga tetap saja kita
tertinggal jauh. Sebuah pertanda bahwa kita cenderung malas melakukan
transformasi. Selain itu, tarik ulur berkepanjangan penentuan upah minimum
provinsi (UMP) 2014 juga menandai kesenjangan struktural pada perekonomian
kita. DKI Jakarta hanya menaikkan UMP sebesar 9 persen menjadi Rp 2.441.301.
Tahun lalu naik sekitar 44 persen. Tahun ini, kenaikan terbesar terjadi di
Bengkulu, sekitar 45 persen dari Rp 930.000 menjadi Rp 1.350.000. Kalimantan
Barat juga naik signifikan sebesar 30 persen. Bagaimana kita memahami tarik
ulur strategi pengupahan ini?
Soal pengupahan dan gerakan buruh tak cukup
dipahami dari relasi ekonomi semata. Jadi, argumen tentang produktivitas
(perusahaan) dan daya saing (nasional) sering tak membantu menjelaskan. Di satu
sisi sangat bisa dipahami keberatan pengusaha memenuhi tuntutan pekerja
menaikkan UMP sebesar Rp 3,7 juta. Bagaimana mungkin dilakukan dalam struktur
ekonomi yang begitu rapuh. Beberapa perusahaan memilih tutup (terutama sektor
padat karya), otomatisasi atau relokasi. Implikasinya, penawaran tenaga kerja
akan menurun. Ditambah dengan pelambatan ekonomi, kemampuan perekonomian
menyerap tenaga kerja pasti akan menurun, sehingga jumlah penganggur akan
bertambah. Belum lagi soal lemahnya daya saing sehingga akan semakin
termarjinalisasi ketika rezim perdagangan bebas dibuka. Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015 lebih menjadi ancaman ketimbang peluang.
Di sisi lain, buruh punya hak (ekonomi dan
politik) untuk meningkatkan daya tawar mereka melalui berbagai gerakan dan
berbagai isu relevan, mulai dari kenaikan UMP, penghapusan tenaga alih daya,
hingga jaminan sosial. Argumen mereka, kenaikan UMP akan meningkatkan sisi
permintaan dalam ekonomi sehingga akan mendorong produksi. Dari sana terlihat,
persoalan kenaikan UMP sama sekali tak sekadar isu ekonomi serta soal hubungan
buruh-pengusaha. Persoalannya jauh lebih kompleks. Memahami dilema tersebut,
teringat tulisan usang ekonom liberal Milton Friedman di New York Times (1970)
yang berisi, satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah mencetak laba dan
membayar pajak dengan benar. Selebihnya serahkan kepada pihak lain untuk mengatasinya.
Dalam perspektif ekonomi yang paling liberal sekalipun, peran negara
”diandaikan” ada. Dengan membayar pajak dengan baik, para kapitalis
mengandaikan negara hadir menyelesaikan persoalan kesejahteraan lewat berbagai
cara.
Argumen Gubernur DKI pasca-penetapan UMP
sebesar Rp 2,4 juta menarik dicermati. Mengapa tahun lalu naik lebih dari 40
persen dan tahun ini kurang dari 10 persen? Karena pemerintah provinsi tak
hanya bertumpu pada strategi pengupahan dalam meningkatkan kesejahteraan buruh.
Tahun ini Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) sudah
berjalan sehingga beban seluruh warga, termasuk buruh, berkurang. Jika cara
pandang ini dijalankan dalam kerangka yang lebih luas, juga pada level
nasional, niscaya akan memecahkan berbagai persoalan struktural. Bayangkan
saja, jika di kawasan-kawasan industri diharuskan dibangun apartemen dan rumah
susun bagi para buruh yang bekerja di sana, hal itu akan menekan signifikan
biaya transportasi. Begitu pula jika pada level nasional ada strategi ketahanan
pangan dan energi yang baik, maka harga tidak akan liar seperti sekarang ini.
Kenaikan harga energi serta pangan memberi efek seragam, baik pada buruh maupun
pengusaha. Bedanya, buruh jauh lebih rentan terhadap fluktuasi harga.
Seandainya pajak dibayar dengan benar, terutama
oleh para eksportir minyak dan gas, serta produk komoditas primer (batubara dan
kelapa sawit), dan seandainya pemerintah punya kinerja yang baik dalam
melakukan perombakan birokrasi, tata kelola serta pembangunan fasilitas publik,
situasinya akan menguntungkan, baik bagi buruh maupun pengusaha. Sayangnya,
selama ini kita hanya melakukan sesuatu yang baik saat situasinya sudah sangat
buruk dan memaksa melakukannya (reaktif). Kita tidak pernah melakukan perubahan
berarti pada saat situasinya baik (proaktif). Rencana jangka panjang dan
strategi pembangunan tak lebih sekadar kertas kerja. Bahkan, ketika situasinya
sudah buruk, semua pihak cenderung memperjuangkan kepentingan diri dan kelompok
masing-masing.
Soal pengupahan, sebenarnya ada agenda bersama
yang bisa dibangun antara buruh dan pengusaha, yaitu menuntut pemerintah
melakukan reformasi dalam berbagai bidang. Persoalan buruh tak lagi bisa
diselesaikan secara bipartit, tetapi harus komprehensif dengan mengundang keterlibatan
pemerintah lebih aktif. Pemerintah sudah terlalu lama absen. Jika pun
dilakukan, hanya sebagian oleh para birokrat profesional, sementara sebagian
lainnya sibuk berpolitik.
A
Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment