Suara
Pembaruan Sabtu-Minggu, 14-15 September 2013
Mikhael
Dua
Ada hal menarik dari peristiwa
kecelakaan mobil yang dikendarai oleh AQL, anak berusia 13 tahun, di jaIan Tol
Jagorawi, arah Jakarta-Bogor pada Minggu 8 September 2013 yang lalu. Kecelakaan
yang mengakibatkan wafatnya enam orang penumpang kendaraan lawannya itu tidak
hanya merupakan masalah teknis kecelakaan lalu lintas, tetapi menjadi sebuah
masalah hukum, masalah pendidikan , dan masalah sosial lainnya. Terutama, kecelakaan
tersebut menjadi sebuah masalah fil safat yang memeriksa implikasi lebih lanjut
penggunaan teknologi kendaraan oleh anak-anak di bawah umur. Fenomena
penggunaan teknologi kendaraan anak-anak di bawah umur dapat di temukan di banyak
tempat baik jalan –jalan umum maupun di jalan-jalan di dalam perumahan menuju
sekolah, mall, dan tempat-tempat ibadat. Banyak orang tua membiarkan begitu
saja anaknya, tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) , mengendarai motor ke
tempat-tempat umum tersebut. Di sekolah pun pertanyaan mengenai bagaimana
anak-anak mencapai sekolah tidak pernah menjadi pertanyaan penting bagi para
guru, bahkan ketika sekolah berbicara tentang disiplin, tentang hal berlalu-lintas,
dan hak dan kewajiban warga negara. Dunia pendidikan kita menjadi begitu
abstrak sehingga hal sederhana tentang larangan mengendarai sepeda motor tanpa SIM,
tidak pernah menjadi sebuah masalah bersama yang pantas dibicarakan dengan tuntas.
Mungkin hanya kecelakaan yang bisa membuka mata orang tua, anak-anak sendiri dan
bahkan pendidik tentang pentingnya produk hukum dalam hal tertib berlalu lintas.
Pen galaman tersebut membuat setiap pihak sadar bahwa teknologi kendaraan sebenarya
bukan sekadar alat permainan, yang menyenangkan dan digunakan sejauh bisa,
tetapi menjadi sebuah masalah yang harus disikapi secara rasional.
Enframing
Teknologis
Membiark an anak-anak di bawah
umur mengendarai sendiri kendaraan bermotor mengundang perhatian kita karena
dua alasan. Yang pertama, sikap tersebut dapat menjebak anak dalam sebuah
proses enframing teknologi . Bayangkan saja, jika seorang anak diberi
hadiah ulang tahun sebuah motor bermerek Honda. Motor tersebut tidak lagi dilihat
sebagai sebuah alat transportasi yang netral yang membawa anak tersebut ke mana
saja ia ingin pergi. Motor tersebut menyatakan dirinya kepada anak sebuah
kerangka simbolis yang menempatkan anak tersebut dalam sebuah kelas masyarakat
pengguna kendaraan dan sekaligus menjadi penentu identitas anak tersebut.
Proses tersebut terjadi karena teknologi pada umumnya dan teknologi kendaraan memiliki
dunianya sendiri. Ia memiliki sebuah kehendak yang tidak dapat ditentukan oleh
pemakainya. Setiap orang yang memiliki sebuah benda teknologi mau tidak mau
dipaksa memasuki dunia teknologi itu sendiri. Dengan demikian hidup dalam dunia
teknologi , tanpa kita sadari, selalu berarti hidup dalam tatanan sistem teknologi
tersebut. Banyak oran g tua tidak menyadari bahwa ketika ia menghadiahkan
anaknya sebuah mobil dengan merk tertentu , ia mengasingkan anak tersebut dari
dunianya dan mendorongnya masuk kedalam sebuah dunia yang tertentu den gan
seluruh sistem tingkah laku yang tidak pemah ia bayangkan sebelumnya. Teknologi
selalu merupakan sebuah jebakan bagi anak tersebut yang menghanyutkannya dalam
sebuah jejaring yang masif. Anak, dengan demikian, tidak dapat melarikan diri
dari teknologi tersebut. Proses ini dilukiskan oleh Martin Heidegger dengan
enframing teknologi. Alasan kedua berhubungan dengan moral pendidikan kita
sendiri. Dapat dikatakan bahwa setiap orang tua selalu mendambakan agar setiap
anak dapat hidup menjadi manusia jujur. Mereka sering berkata, "Hai anakku
berjanjilah bahwa kamu akan hidup benar dan jujur, Jangan biarkan mulutmu
mengucapkan kata-kata kebohongan", Namun, sikap pembiaran anak-anak mengendarai
sendiri kendaraan bermotor merupakan sebuah cara lain dari kebohongan orangtua
pada anak-anak . Keluarga modern ditandai oleh orangtua yang semakin sibuk
entah karena tuntutan pekerjaan entah karena relasi sosial dan politik . Membiarkan
anak-anak men gendarai kendaraannya sendiri karena dengan meIepaskan anak-anak
masuk dalam dunia yang bukan menjadi dunia orangtua mereka masing- masing. Dunia
yang dimaksud adalah dunia teknologis dengan seluruh implikasi-implikasinya.
Dengan demikian orangtua melakukan sebuah kebohongan cinta; orangtua
menghendaki agar anak-anak mereka tenggelam dalam enframing teknologi agar
mereka tidak terusik dengan kehadiran anak-anak mereka sendiri.
Tugas
Etis
Kecemasan atas enframing
teknologi tersebut tidak berarti pesimisme terhadap penggunaan teknologi .
Perkembangan teknologi memiliki fungsi etis karena ia mampu menyelamatkan manusia
dari pelbagai macam kemalangan hidup dan membuat hidup kita menjadi lebih mudah
. Bahkan seorang Martin Heidegger yang memahami dengan baik proses enframing teknologis
tersebut memiliki harapan bahwa sebuah relasi pemeliharaan antara teknologi dan
manusia dapat terjadi. Namun, proses pembebasan teknologis dapat terjadi dengan
satu syarat, yaitu, kedewasaan seorang subyek moral yang paham logika teknologi
. Tanpa kedewasaan teknologi tidak akan menjadi sarana bagi manusia untuk mengungkapkan
dirinya dan merintis jalan nasibnya sendiri. Banyak orangtua sebenarnya paham
bahwa setiap hadiah yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan kemampuan anak
untuk mengolahnya. Bagi anak-anak yang sedang asik bermain , sebaiknya kita
menghadirkan dunia permainan anak-anak; pada anak-anak yang sudah lebih dewasa
kita menghadirkan sebuah dunia yang menuntut tanggungjawab pengelolaannya. Tetapi,
bagaimana orangtua dapat menjadi subyek yang bertanggungjawab jika mereka
sendiri tidak paham bahwa teknologi memiliki karakter penguasaan atas alam dan
manusia dan pernah jujur dengan anak-anaknya sendiri? Cinta tidak pernah buta.
Adalah sebuah ironi , jika demi cinta pada anak, orang tua yang baik memberikan
hadiah yang menghancurkan anaknya sendiri . Jika demikian, kita orangtua
menjadi tidak jujur pada anak kita sendiri. Kita bahkan mewakili sebuah
masyarakat otoriter yang dengan mudah memaksakan anggota-anggotanya keluar dari
jejaring afeksi sosial dengan cara yang hampir tidak terasakan .
Penulis adalah Ketua HIDESI
(Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia) dan Staf pada Pusat Pengembangan Etika
UNIKA Atma Jaya Jakarta
No comments:
Post a Comment