Friday, November 29, 2013

Teknologi dan Kejujuran


 
Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 14-15 September 2013
Mikhael Dua

Ada hal menarik dari peristiwa kecelakaan mobil yang dikendarai oleh AQL, anak berusia 13 tahun, di jaIan Tol Jagorawi, arah Jakarta-Bogor pada Minggu 8 September 2013 yang lalu. Kecelakaan yang mengakibatkan wafatnya enam orang penumpang kendaraan lawannya itu tidak hanya merupakan masalah teknis kecelakaan lalu lintas, tetapi menjadi sebuah masalah hukum, masalah pendidikan , dan masalah sosial lainnya. Terutama, kecelakaan tersebut menjadi sebuah masalah fil safat yang memeriksa implikasi lebih lanjut penggunaan teknologi kendaraan oleh anak-anak di bawah umur. Fenomena penggunaan teknologi kendaraan anak-anak di bawah umur dapat di temukan di banyak tempat baik jalan –jalan umum maupun di jalan-jalan di dalam perumahan menuju sekolah, mall, dan tempat-tempat ibadat. Banyak orang tua membiarkan begitu saja anaknya, tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) , mengendarai motor ke tempat-tempat umum tersebut. Di sekolah pun pertanyaan mengenai bagaimana anak-anak mencapai sekolah tidak pernah menjadi pertanyaan penting bagi para guru, bahkan ketika sekolah berbicara tentang disiplin, tentang hal berlalu-lintas, dan hak dan kewajiban warga negara. Dunia pendidikan kita menjadi begitu abstrak sehingga hal sederhana tentang larangan mengendarai sepeda motor tanpa SIM, tidak pernah menjadi sebuah masalah bersama yang pantas dibicarakan dengan tuntas. Mungkin hanya kecelakaan yang bisa membuka mata orang tua, anak-anak sendiri dan bahkan pendidik tentang pentingnya produk hukum dalam hal tertib berlalu lintas. Pen galaman tersebut membuat setiap pihak sadar bahwa teknologi kendaraan sebenarya bukan sekadar alat permainan, yang menyenangkan dan digunakan sejauh bisa, tetapi menjadi sebuah masalah yang harus disikapi secara rasional. 

Enframing Teknologis
Membiark an anak-anak di bawah umur mengendarai sendiri kendaraan bermotor mengundang perhatian kita karena dua alasan. Yang pertama, sikap tersebut dapat menjebak anak dalam sebuah proses enframing teknologi . Bayangkan saja, jika seorang anak diberi hadiah ulang tahun sebuah motor bermerek Honda. Motor tersebut tidak lagi dilihat sebagai sebuah alat transportasi yang netral yang membawa anak tersebut ke mana saja ia ingin pergi. Motor tersebut menyatakan dirinya kepada anak sebuah kerangka simbolis yang menempatkan anak tersebut dalam sebuah kelas masyarakat pengguna kendaraan dan sekaligus menjadi penentu identitas anak tersebut. Proses tersebut terjadi karena teknologi pada umumnya dan teknologi kendaraan memiliki dunianya sendiri. Ia memiliki sebuah kehendak yang tidak dapat ditentukan oleh pemakainya. Setiap orang yang memiliki sebuah benda teknologi mau tidak mau dipaksa memasuki dunia teknologi itu sendiri. Dengan demikian hidup dalam dunia teknologi , tanpa kita sadari, selalu berarti hidup dalam tatanan sistem teknologi tersebut. Banyak oran g tua tidak menyadari bahwa ketika ia menghadiahkan anaknya sebuah mobil dengan merk tertentu , ia mengasingkan anak tersebut dari dunianya dan mendorongnya masuk kedalam sebuah dunia yang tertentu den gan seluruh sistem tingkah laku yang tidak pemah ia bayangkan sebelumnya. Teknologi selalu merupakan sebuah jebakan bagi anak tersebut yang menghanyutkannya dalam sebuah jejaring yang masif. Anak, dengan demikian, tidak dapat melarikan diri dari teknologi tersebut. Proses ini dilukiskan oleh Martin Heidegger dengan enframing teknologi. Alasan kedua berhubungan dengan moral pendidikan kita sendiri. Dapat dikatakan bahwa setiap orang tua selalu mendambakan agar setiap anak dapat hidup menjadi manusia jujur. Mereka sering berkata, "Hai anakku berjanjilah bahwa kamu akan hidup benar dan jujur, Jangan biarkan mulutmu mengucapkan kata-kata kebohongan", Namun, sikap pembiaran anak-anak mengendarai sendiri kendaraan bermotor merupakan sebuah cara lain dari kebohongan orangtua pada anak-anak . Keluarga modern ditandai oleh orangtua yang semakin sibuk entah karena tuntutan pekerjaan entah karena relasi sosial dan politik . Membiarkan anak-anak men gendarai kendaraannya sendiri karena dengan meIepaskan anak-anak masuk dalam dunia yang bukan menjadi dunia orangtua mereka masing- masing. Dunia yang dimaksud adalah dunia teknologis dengan seluruh implikasi-implikasinya. Dengan demikian orangtua melakukan sebuah kebohongan cinta; orangtua menghendaki agar anak-anak mereka tenggelam dalam enframing teknologi agar mereka tidak terusik dengan kehadiran anak-anak mereka sendiri.

Tugas Etis
Kecemasan atas enframing teknologi tersebut tidak berarti pesimisme terhadap penggunaan teknologi . Perkembangan teknologi memiliki fungsi etis karena ia mampu menyelamatkan manusia dari pelbagai macam kemalangan hidup dan membuat hidup kita menjadi lebih mudah . Bahkan seorang Martin Heidegger yang memahami dengan baik proses enframing teknologis tersebut memiliki harapan bahwa sebuah relasi pemeliharaan antara teknologi dan manusia dapat terjadi. Namun, proses pembebasan teknologis dapat terjadi dengan satu syarat, yaitu, kedewasaan seorang subyek moral yang paham logika teknologi . Tanpa kedewasaan teknologi tidak akan menjadi sarana bagi manusia untuk mengungkapkan dirinya dan merintis jalan nasibnya sendiri. Banyak orangtua sebenarnya paham bahwa setiap hadiah yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan kemampuan anak untuk mengolahnya. Bagi anak-anak yang sedang asik bermain , sebaiknya kita menghadirkan dunia permainan anak-anak; pada anak-anak yang sudah lebih dewasa kita menghadirkan sebuah dunia yang menuntut tanggungjawab pengelolaannya. Tetapi, bagaimana orangtua dapat menjadi subyek yang bertanggungjawab jika mereka sendiri tidak paham bahwa teknologi memiliki karakter penguasaan atas alam dan manusia dan pernah jujur dengan anak-anaknya sendiri? Cinta tidak pernah buta. Adalah sebuah ironi , jika demi cinta pada anak, orang tua yang baik memberikan hadiah yang menghancurkan anaknya sendiri . Jika demikian, kita orangtua menjadi tidak jujur pada anak kita sendiri. Kita bahkan mewakili sebuah masyarakat otoriter yang dengan mudah memaksakan anggota-anggotanya keluar dari jejaring afeksi sosial dengan cara yang hampir tidak terasakan .
Penulis adalah Ketua HIDESI (Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia) dan Staf pada Pusat Pengembangan Etika UNIKA Atma Jaya Jakarta

No comments:

Post a Comment