Saturday, October 5, 2013

SANG ALKEMIS - THE ALCHEMIST

BY PAULO COELHO

DATA BUKU
Judul Asli : THE ALCHEMIST 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa: Tanti Lesmana
Desain Sampul: Eduard Iwan Mangopang
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 216 halaman
Terbit: Juni 2012
Cover: Softcover
ISBN: 978-979-22-8520-8
Cetakan ketiga belas: Juni 2012

PLOT CERITA
Santiago adalah tokoh sentral dalam Sang Alkemis, sebuah novel yang ditulis oleh Paulo Coelho dalam bahasa Portugis dan diterbitkan tahun 1988 dengan judul O Alquimista. Apa yang anak gembala tersebut lakukan? Santiago mengikuti mimpi-mimpinya tentang harta karun di Piramida-Piramida. Awalnya ia ragu apakah ia harus tetap tinggal bersama domba-domba yang sudah ia akrabi hampir sepanjang hidupnya, atau pergi menuju mimpinya, yang mana membuat ia, mau tidak mau, mesti bertualang ke Mesir dan tentu saja meninggalkan kehidupan sehari-harinya yang nyaman.
Santiago yang tinggal di Andalausia, Spanyol; tinggal bersama kedua orang tuanya yang hanyalah seorang petani di daerahnya. Awalnya orang tuanya menginginkan kelak saat Santiago sudah dewasa, ia ingin anaknya untuk menjadi seorang pastur di daerahnya. Namun hal itu bertolak belakang dengan keinginan Santiago, Santiago hanya ingin menjadi seorang pengelana, ia hanya ingin berkelana keseluruh dunia. Karna kegigihan hati Santiago, akhirnya ayahnya mengizinkan Santiago untuk pergi berkelana, dia membekali anaknya dengan tiga buah mata uang Spanyol kuno untuk bekal anaknya nanti.
Dengan bekal yang diberi ayahnya itu, Santiago pun membeli domba. Dia berkenlana bersama domaba-dombanya menyusuri padang rumput yang berbeda-beda setiap kalinya untuk memberi makan dombanya. Selama bersama dengan domba-dombanya, Santiago selalu mengajak mereka bicara, Santiago menganggap bahwa domba-dombanya mengerti dengan ucapannya.
Pada suatu hari Santiago sedang bermalam di sebuah gereja yang terbengkalai bersama domba-dombanya. Santiago bermimpi, mimpi yang selalu muncul tetapi selalu tidak pernah selesai. Karena penasaran dengan mimpi yang selalu muncul dalam tidurnya, Santiago pun memutuskan untuk pergi ke perempuan peramal di Tarifa. Peramal itu menafsirkan bahwa Santiago akan mendapatkan sebuah harta karun yang dapat membuat santiago kaya dan harta karun itu berada di piramida di Mesir.
Dengan ramalan dari perempuan peramal itupun, Santiago mulai berkelana lagi, dia melanjutkan perjalanannya menuju Mesir. Diperjalanan menuju Mesir, Santiago bertemu dengan lelaki tua yang mengaku sebagai Raja Salem. Lelaki tua itu mengetahui tujuan Santiago ke Mesir yaitu untuk mencari harta karun. Lelaki tua itu menjanjikan akan memberikan petunjuk untuk ke Mesir kepada Santiago, dengan imbalan sepersepuluh domba  milik Santiago.
Pada hari berikutnya, Santiago bertemu kembali dengan lelaki tua itu, Santiago bertanya dimana letak harta karun itu, lelaki tua menjawab bahwa harta karun itu ada di mesir dekat dengan piramida. Lelaki itu memberikan dua buah batu kepada Santiago, kedua batu ini adalah urim dan tumim. Batu hitam adalah ya, dan batu putih adalah tidak. Lelaki itu menyuruh Santiagi agar percaya dengan semua pertanda-pertanda yang ada, namun jika Santiago ragu dengan pertanda-pertanda itu, tanyalah pada batu urim dan tumim.
Akhirnya Santiago memberikan sepersepuluh dombanya pada lelaki tua itu, diapun melanjutkan perjalanan menuju Mesir. Diperjalanan Santiago singgah ke sebuah kedai kecil, tak lama duduk disana Santiago dihampiri oleh seorang pria, mereka bercakap-cakap dan Santiago mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke Mesir. Lelaki itupun mengatakan bahwa Mesir itu sangat jauh, harus melalui gunung sahara terlebih dahulu dan juga ke mesir membutuhkan banyak uang. Lelaki itupun meminta Santiago memperlihatkan uangnya, lelaki itupun mengambil uang Santiago dan mengajaknya keluar dari kedai. Santiago dan teman yang baru dikenalnya itupun melewati sebuah pasar, pasar itu sangat ramai. Seketika pandangan Santiago tertuju pada sebuah pedang yang menarik untuknya. Karna terlalu memperhatikan pedang itu, Santiago lupa bahwa teman barunya itu telah hilang dan membawa pergi uangnya. Ternyata teman barunya itu adalah seorang pencuri.
Santiago melanjutkan perjalanan tanpa ada uang sepeserpun, diperjalanan Santiago menemukan sebuah toko kristal yang sangat sepi. Santiagopun bekerja di toko kristal itu atas ajakan pemilik toko, karena semenjak kehadiran Santiago toko itu menjadi ramai lagi. Sembilan bulan Santiago bekerja disana, dan dia sudah memiliki banyak uang untuk kembali ke negerinya dan membeli domba-domba lagi. Namun saat ingin pergi, Santiago ingat akan impian lamanya, akhirnnya Santiago memutuskan untuk kembali meraih impiannya tersebut.
Santiago kembali melanjutkan perjalanannya, di perjalanan Santiago bertemu dengan seorang lelaki inggris yang sedang duduk di bangku panjang yang berbau binatang, keringat, dan debu. Santiago bercakap-cakap dengan lelaki inggris itu. Lelaki itu mengatakan bahwa dia sedang mencari seorang alkemis yang tertulis di dalam sebuah buku. Sang alkemis itu tinggal di Oasis Al-Fayoum. Konon sang alkemis itu merupakan orang terkenal di Arab, sang alkemis itu bisa merubah logam menjadi emas.
Lalu Santiago pergi dengan lelaki inggris itu ke Oasis bersama dengan para Kafilah. Untuk ke Oasis mereka harus melewati gurun pasir. Diperjalanan mereka bertemu dengan orang-orang Budui yang mengawasi perjalanan mereka. Orang-orang itu mengatakan sedang ada perang antar suku. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi ia merasakan bahasa tanpa kata-kata...bahasa universal. ”Sekali kamu masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali,” ujar penunggang onta itu. ” Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya.”Dan dia menyimpulkan dengan mengucap kata misterius itu: ”Maktub.”
Sesampainya di Oasis Santiago bertemu dengan seorang wanita bernama Fatimah, wanita itu telah mengambil hati Santiago sejak mereka pertama kali bertemu. Sempat terpikir oleh Santiago untuk mengubur impiannya. Namun pada suatu ketika Santiago bertemu dengan seorang alkemis, sang alkemis mengatakan akan menunjukan jalan pada Santiago untuk ke Mesir. Di hari ke tujuh perjalananny, sang alkemis memutuskan membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan alkemis menyodorkan tempat minumnya pada Santiago. Kau hampir tiba di perjalananmu ucap sang alkemis. Kuucapkan selamat padamu untuk pencarian impianmu ini.
Hanya ada satu cara untuk belajar ucap sang alkemis, yaitu melalui tindakan. Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu mempelajari satu hal lagi ucap sang alkemis. Si bocah ingin mengetahui apa itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. Apa yang masih perlu aku ketahui, tanya Santiago lagi. Sang alkemis hanya kembali memandang cakrawala.

TOKOH DALAM CERITA
Santiago – Anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan mngejar mimpinya.
Raja Salem – Lelaki tua yang membantu Santiago mengambil keputusan untuk pertama kalinya.
Sang Alchemist – Seorang Lelaki Tua yang bijaksana dan berpengetahuan luas.
Fatima – Wanita yang dicintai Santiago.

PESAN CERITA
Paulo Coelho hendak mengajarkan pada kita tentang bagaimana menghayati diri sebagai alam semesta mikro yang bersemayam. Sesuai apa yang disebut oleh Aristoteles, "Kita bisa memahami yang general dari hal-hal yang partikular." Coelho menyebutnya sebagai Jiwa Dunia, semacam kesadaran purba yang agaknya sudah tereduksi oleh antroposentrisme yang berpusat pada "aku berpikir" ala Cartesian. Lewat perjalanan Santiago di padang pasir, novel Sang Alkemis hendak berkata bahwa aku dan angin, aku dan pasir, aku dan matahari sesungguhnya tiada beda, seperti halnya pelbagai logam sebelum ia berevolusi puncak menjadi emas.
Berat? Dalam lapisan tertentu, memang iya. Sang Alkemis seperti pengejawantahan dari pemikiran mutakhir filsuf Heidegger yang bicara tentang "benda yang menampakkan dirinya yang asali pada kita." Namun pernyataan Heidegger tidak datang dari ruang hampa, ia justru ditopang oleh Filsafat Timur yang sudah sejak lama merenungkan hal-hal seperti ini. Jadi kalau kita bilang Sang Alkemis penuh dengan bebauan pemikiran Timur, sama sekali tidak ada salahnya.
Mereka yang gagal memahami Sang Alkemis, kemungkinan bisa terjerembab pada persepsi bahwa buku ini adalah buku motivasi agar kita bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu. Prinsip semacam itu terlalu klise untuk dituliskan dalam karya sastra sebaik literatur Coelho ini. Akan terlalu banyak pesan penting yang dilewatkan jika kita buru-buru menangkap bahwa buku ini adalah buku self-help.

No comments:

Post a Comment