BY PAULO COELHO
DATA
BUKU
Judul Asli : THE ALCHEMIST
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa: Tanti Lesmana
Desain Sampul: Eduard Iwan Mangopang
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 216 halaman
Terbit: Juni 2012
Cover: Softcover
ISBN: 978-979-22-8520-8
Cetakan ketiga belas: Juni 2012
PLOT
CERITA
Santiago adalah
tokoh sentral dalam Sang Alkemis, sebuah novel yang ditulis oleh Paulo Coelho
dalam bahasa Portugis dan diterbitkan tahun 1988 dengan judul O Alquimista. Apa
yang anak gembala tersebut lakukan? Santiago mengikuti mimpi-mimpinya tentang
harta karun di Piramida-Piramida. Awalnya ia ragu apakah ia harus tetap tinggal
bersama domba-domba yang sudah ia akrabi hampir sepanjang hidupnya, atau pergi
menuju mimpinya, yang mana membuat ia, mau tidak mau, mesti bertualang ke Mesir
dan tentu saja meninggalkan kehidupan sehari-harinya yang nyaman.
Santiago yang
tinggal di Andalausia, Spanyol; tinggal bersama kedua orang tuanya yang
hanyalah seorang petani di daerahnya. Awalnya orang tuanya menginginkan kelak
saat Santiago sudah dewasa, ia ingin anaknya untuk menjadi seorang pastur di
daerahnya. Namun hal itu bertolak belakang dengan keinginan Santiago, Santiago
hanya ingin menjadi seorang pengelana, ia hanya ingin berkelana keseluruh
dunia. Karna kegigihan hati Santiago, akhirnya ayahnya mengizinkan Santiago
untuk pergi berkelana, dia membekali anaknya dengan tiga buah mata uang Spanyol
kuno untuk bekal anaknya nanti.
Dengan bekal
yang diberi ayahnya itu, Santiago pun membeli domba. Dia berkenlana bersama
domaba-dombanya menyusuri padang rumput yang berbeda-beda setiap kalinya untuk
memberi makan dombanya. Selama bersama dengan domba-dombanya, Santiago selalu
mengajak mereka bicara, Santiago menganggap bahwa domba-dombanya mengerti
dengan ucapannya.
Pada suatu hari
Santiago sedang bermalam di sebuah gereja yang terbengkalai bersama
domba-dombanya. Santiago bermimpi, mimpi yang selalu muncul tetapi selalu tidak
pernah selesai. Karena penasaran dengan mimpi yang selalu muncul dalam
tidurnya, Santiago pun memutuskan untuk pergi ke perempuan peramal di Tarifa.
Peramal itu menafsirkan bahwa Santiago akan mendapatkan sebuah harta karun yang
dapat membuat santiago kaya dan harta karun itu berada di piramida di Mesir.
Dengan ramalan dari perempuan peramal
itupun, Santiago mulai berkelana lagi, dia melanjutkan perjalanannya menuju
Mesir. Diperjalanan menuju Mesir, Santiago bertemu dengan lelaki tua yang
mengaku sebagai Raja Salem. Lelaki tua itu mengetahui tujuan Santiago ke Mesir
yaitu untuk mencari harta karun. Lelaki tua itu menjanjikan akan memberikan
petunjuk untuk ke Mesir kepada Santiago, dengan imbalan sepersepuluh domba milik Santiago.
Pada hari
berikutnya, Santiago bertemu kembali dengan lelaki tua itu, Santiago bertanya
dimana letak harta karun itu, lelaki tua menjawab bahwa harta karun itu ada di
mesir dekat dengan piramida. Lelaki itu memberikan dua buah batu kepada
Santiago, kedua batu ini adalah urim dan tumim. Batu hitam adalah ya, dan batu
putih adalah tidak. Lelaki itu menyuruh Santiagi agar percaya dengan semua
pertanda-pertanda yang ada, namun jika Santiago ragu dengan pertanda-pertanda
itu, tanyalah pada batu urim dan tumim.
Akhirnya
Santiago memberikan sepersepuluh dombanya pada lelaki tua itu, diapun
melanjutkan perjalanan menuju Mesir. Diperjalanan Santiago singgah ke sebuah
kedai kecil, tak lama duduk disana Santiago dihampiri oleh seorang pria, mereka
bercakap-cakap dan Santiago mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke Mesir.
Lelaki itupun mengatakan bahwa Mesir itu sangat jauh, harus melalui gunung
sahara terlebih dahulu dan juga ke mesir membutuhkan banyak uang. Lelaki itupun
meminta Santiago memperlihatkan uangnya, lelaki itupun mengambil uang Santiago dan
mengajaknya keluar dari kedai. Santiago dan teman yang baru dikenalnya itupun
melewati sebuah pasar, pasar itu sangat ramai. Seketika pandangan Santiago
tertuju pada sebuah pedang yang menarik untuknya. Karna terlalu memperhatikan
pedang itu, Santiago lupa bahwa teman barunya itu telah hilang dan membawa
pergi uangnya. Ternyata teman barunya itu adalah seorang pencuri.
Santiago
melanjutkan perjalanan tanpa ada uang sepeserpun, diperjalanan Santiago
menemukan sebuah toko kristal yang sangat sepi. Santiagopun bekerja di toko
kristal itu atas ajakan pemilik toko, karena semenjak kehadiran Santiago toko
itu menjadi ramai lagi. Sembilan bulan Santiago bekerja disana, dan dia sudah
memiliki banyak uang untuk kembali ke negerinya dan membeli domba-domba lagi. Namun
saat ingin pergi, Santiago ingat akan impian lamanya, akhirnnya Santiago
memutuskan untuk kembali meraih impiannya tersebut.
Santiago kembali melanjutkan
perjalanannya, di perjalanan Santiago bertemu dengan seorang lelaki inggris
yang sedang duduk di bangku panjang yang berbau binatang, keringat, dan debu.
Santiago bercakap-cakap dengan lelaki inggris itu. Lelaki itu mengatakan bahwa
dia sedang mencari seorang alkemis yang tertulis di dalam sebuah buku. Sang
alkemis itu tinggal di Oasis Al-Fayoum. Konon sang alkemis itu merupakan orang
terkenal di Arab, sang alkemis itu bisa merubah logam menjadi emas.
Lalu Santiago
pergi dengan lelaki inggris itu ke Oasis bersama dengan para Kafilah. Untuk ke
Oasis mereka harus melewati gurun pasir. Diperjalanan mereka bertemu dengan
orang-orang Budui yang mengawasi perjalanan mereka. Orang-orang itu mengatakan
sedang ada perang antar suku. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa
takut di udara, meski tak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi ia merasakan
bahasa tanpa kata-kata...bahasa universal. ”Sekali kamu masuk ke dalam gurun,
tak ada jalan untuk kembali,” ujar penunggang onta itu. ” Dan, bila kau tak
dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke
depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya.”Dan dia menyimpulkan dengan
mengucap kata misterius itu: ”Maktub.”
Sesampainya di
Oasis Santiago bertemu dengan seorang wanita bernama Fatimah, wanita itu telah
mengambil hati Santiago sejak mereka pertama kali bertemu. Sempat terpikir oleh
Santiago untuk mengubur impiannya. Namun pada suatu ketika Santiago bertemu
dengan seorang alkemis, sang alkemis mengatakan akan menunjukan jalan pada
Santiago untuk ke Mesir. Di hari ke tujuh perjalananny, sang alkemis memutuskan
membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan
alkemis menyodorkan tempat minumnya pada Santiago. Kau hampir tiba di
perjalananmu ucap sang alkemis. Kuucapkan selamat padamu untuk pencarian
impianmu ini.
Hanya ada satu
cara untuk belajar ucap sang alkemis, yaitu melalui tindakan. Semua yang perlu
kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu
mempelajari satu hal lagi ucap sang alkemis. Si bocah ingin mengetahui apa itu,
tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. Apa yang masih
perlu aku ketahui, tanya Santiago lagi. Sang alkemis hanya kembali memandang
cakrawala.
TOKOH
DALAM CERITA
Santiago – Anak gembala
yang mengikuti suara hatinya dan mngejar mimpinya.
Raja
Salem
– Lelaki tua yang membantu Santiago mengambil keputusan untuk pertama kalinya.
Sang
Alchemist
– Seorang Lelaki Tua yang bijaksana dan berpengetahuan luas.
Fatima – Wanita yang
dicintai Santiago.
PESAN
CERITA
Paulo Coelho
hendak mengajarkan pada kita tentang bagaimana menghayati diri sebagai alam
semesta mikro yang bersemayam. Sesuai apa yang disebut oleh Aristoteles,
"Kita bisa memahami yang general dari hal-hal yang partikular."
Coelho menyebutnya sebagai Jiwa Dunia, semacam kesadaran purba yang agaknya
sudah tereduksi oleh antroposentrisme yang berpusat pada "aku
berpikir" ala Cartesian. Lewat perjalanan Santiago di padang pasir, novel
Sang Alkemis hendak berkata bahwa aku dan angin, aku dan pasir, aku dan
matahari sesungguhnya tiada beda, seperti halnya pelbagai logam sebelum ia
berevolusi puncak menjadi emas.
Berat? Dalam
lapisan tertentu, memang iya. Sang Alkemis seperti pengejawantahan dari
pemikiran mutakhir filsuf Heidegger yang bicara tentang "benda yang
menampakkan dirinya yang asali pada kita." Namun pernyataan Heidegger
tidak datang dari ruang hampa, ia justru ditopang oleh Filsafat Timur yang
sudah sejak lama merenungkan hal-hal seperti ini. Jadi kalau kita bilang Sang
Alkemis penuh dengan bebauan pemikiran Timur, sama sekali tidak ada salahnya.
Mereka yang
gagal memahami Sang Alkemis, kemungkinan bisa terjerembab pada persepsi bahwa
buku ini adalah buku motivasi agar kita bersungguh-sungguh dalam mencapai
sesuatu. Prinsip semacam itu terlalu klise untuk dituliskan dalam karya sastra
sebaik literatur Coelho ini. Akan terlalu banyak pesan penting yang dilewatkan
jika kita buru-buru menangkap bahwa buku ini adalah buku self-help.
No comments:
Post a Comment