Tuesday, October 8, 2013

NEGARAWAN DAN TENUN KEBANGSAAN

Totok Amin Soefijanto ;  Deputi Rektor Universitas Paramadina,
Anggota Dewan Juri Frans Seda Award

TEMPO, 04 Oktober 2013

Menurut tokoh muda Anies Baswedan, kita mengenang negarawan yang sekelas Bung Hatta, Ahmad Dahlan, Wachid Hasyim, Sutan Syahrir, dan Frans Seda itu agar terinspirasi untuk kembali ke kerja nyata menjaga "tenun kebangsaan yang terancam koyak". Kita merindukan negarawan. Di tengah hiruk-pikuk berita politikus korup, hari ini kita mengenang Frans Seda. Tokoh lintas Orde Lama dan Orde Baru ini termasuk politikus-negarawan yang unik. Ia lahir di pelosok Flores, tapi akibat tersengat "sentuhan" Bung Karno, hidupnya berubah drastis. Alih-alih menjadi petani atau pastor, ia terinspirasi masuk politik meskipun sadar bukan dari kelompok mayoritas. Meskipun bukan dari suku dominan dan beragama Katolik, tekadnya bulat untuk menjadi salah satu kader pemimpin bangsa berkat inspirasi Sukarno. Meskipun kemudian, Frans muda merantau ke seminari Yogyakarta sampai Belanda, dia tetap seorang nasionalis sejati. Dengan moto "untuk Tuhan dan Tanah Air", ia dengan luwes membina persahabatan dengan tokoh dari berbagai latar belakang di percaturan politik nasional.
Ia memimpin Partai Katolik, mengagumi I.J. Kasimo dan Bung Karno, serta tak lelah memikirkan cara memperbaiki nasib bangsanya. Di kalangan politikus, Frans dapat menjadi sahabat yang baik. Maka tak mengherankan kalau hampir semua rekan dan "musuh"-nya selalu terkesan oleh kepiawaiannya meniti jalan sempit berprinsip untuk Tuhan dan Tanah Air tersebut. Ia menjaga dan menjunjung tinggi keberagaman. Ia seorang warga negara yang mencintai negerinya seratus persen. Profesor Emil Salim, yang pernah "magang" dengannya, sangat terkesan oleh ketekunannya memikirkan nasib rakyat. Suatu kali, Frans Seda membeli seluruh hasil panen seorang petani yang sedang menuju pasar. "Supaya dia cepat pulang dan berkumpul dengan keluarganya," ujarnya. Bagi dia, agama tidak cukup dianut, tapi juga harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia seorang intelektual, agamawan, yang terus berkomitmen untuk memberantas kemiskinan. Pak Emil kemudian menggantikannya sebagai Menteri Perhubungan.
Ketika hari-hari ini kita seolah-olah "dibiasakan" melihat tawuran antarkampung, antarsekolah, antaragama, dan intra-agama, yang sampai menumpahkan darah sesama warga negara, sosok Frans Seda menjadi pengingat bahwa negeri ini dibangun oleh orang-orang baik. Indonesia negeri untuk semua, Indonesia adalah milik setiap warga negara. Negara wajib melindungi setiap warga negara. Pada saat yang sama, negara juga menginspirasi rakyat untuk bekerja keras bersama-sama. Frans selalu mendorong masyarakat untuk memikirkan kepentingan bersama, bukan pribadi. Ia paham benar bahwa kekuatan negeri ini berasal dari semangat gotong-royong rakyatnya yang Bhinneka Tunggal Ika di seluruh pelosok Tanah Air. Bagi dia, rakyat di daerah terpencil juga berhak menikmati pembangunan. Salah satu peninggalannya adalah berbagai pelabuhan laut dan bandara perintis di kawasan terpencil Indonesia. Frans bukan teknokrat yang berpikiran birokratis. Ia ahli ekonomi yang paham benar konsekuensi suatu kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Berkat kepiawaian dan integritasnya, ia dipercaya Bung Karno dan Pak Harto untuk menjadi menteri di era Orde Lama dan Orde Baru. Salah satu prestasi legendarisnya sebagai Menteri Keuangan adalah mendorong ekonomi Indonesia melewati masa kritis inflasi 600 persen pada 1966-1968. Ia kemudian mulai menerapkan kebijakan anggaran berimbang dan banyak terobosan lain tanpa takut kehilangan jabatannya. Menurut ekonom Rizal Ramli, sosok Frans Seda, bersama Profesor Sumitro dan Profesor Sadli, adalah tiga ekonom yang terbebas dari "jebakan jabatan". Kita membutuhkan Frans Seda untuk menginspirasi generasi muda agar berani menerobos kekakuan birokrasi dan godaan kekuasaan. Kita dorong mereka untuk bekerja secara profesional, tanpa pamrih, dan patgulipat proyek yang berujung korupsi. Kita merindukan sosok negarawan yang setangguh Pak Frans Seda: berani susah untuk rakyat banyak.
Frans Seda telah tiada, tapi karyanya masih ada dan diteruskan generasi berikutnya. Dia merupakan salah satu pendiri Institut PPM dan Unika Atma Jaya di Jakarta. Meskipun menjadi menteri untuk beberapa pos di pemerintahan, dia masih sempat mendorong peran masyarakat madani dengan mendukung P.K. Ojong dan Jacob Oetama mendirikan Kompas yang berprinsip menyuarakan hati nurani rakyat. Menurut tokoh muda Anies Baswedan, kita mengenang negarawan yang sekelas Bung Hatta, Ahmad Dahlan, Wachid Hasyim, Sutan Syahrir, dan Frans Seda itu agar terinspirasi untuk kembali ke kerja nyata menjaga "tenun kebangsaan yang terancam koyak". Jauh hari Frans mewanti-wanti agar jangan sampai koyak. Kini kita sadar bahwa tenun yang telanjur koyak itu akan sulit untuk diperbaiki lagi. Beliau wafat meninggalkan kita semua pada 31 Desember 2009 dengan segala peninggalan yang sangat berharga untuk dikenang. Salah satu peninggalan penting adalah perilakunya sebagai akademisi, politikus, dan teknokrat yang menghargai perbedaan secara lahir dan batin. Ia mampu meraih kehormatan dari rekan-rekannya. Pejabat kita sekarang perlu meniru Frans Seda, terutama dalam hal kehormatan ini. Siapa pun yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan memang mendapatkan "penghormatan", tapi tidak selalu kehormatan. Sebuah kehormatan seharusnya diraih, bukan diberikan. Kehormatan itu abadi, penghormatan itu tergantung posisi hari ini. Tak diragukan lagi, Frans Seda telah mendapatkan kehormatan dari rakyat Indonesia.
Rekan-rekan Frans Seda menggagas sebuah penghargaan "Frans Seda Award" (FSA) untuk dua tokoh muda yang masing-masing berkiprah di bidang kemanusiaan dan pendidikan yang akan diberikan setiap dua tahun. Untuk pertama kali, tepat saat 1.000 hari wafatnya pada 29 September 2012, dua tokoh telah memenangi award tersebut. Mereka adalah bidan Oktovina Reba Bonay dari Arso, Papua, untuk kategori kemanusiaan dan ibu guru Christanti Gomulia dari Garut, Jawa Barat, untuk pendidikan. Keduanya memiliki kesamaan: peduli terhadap nasib rakyat kecil dan bekerja keras untuk mereka. Bidan Bonay berjasa menyelamatkan banyak ibu yang melahirkan di berbagai pelosok Papua, yang minim fasilitas kesehatan. Guru Christanti mendidik anak-anak dengan pendekatan yang kreatif dan bertaraf internasional di wilayah Garut, walaupun dengan fasilitas yang terbatas. Usia maksimal 40 tahun sebagai syarat mutlak award ini membuktikan bahwa masih banyak anak muda yang berdedikasi. Penghargaan yang sama akan diberikan lagi pada 2014, di saat kita memasuki pemilihan presiden baru. Kita mesti optimistis bahwa akan lahir Frans Seda-Frans Seda baru di negeri ini. FSA meneruskan cita-cita yang belum selesai itu dengan menghargai aksi nyata anak muda bangsa. Merekalah harapan kita untuk menjaga tenun kebangsaan yang kuat, adil, dan makmur. ●

No comments:

Post a Comment