Totok Amin Soefijanto
; Deputi Rektor Universitas Paramadina,
Anggota Dewan Juri
Frans Seda Award
TEMPO,
04 Oktober 2013
Menurut
tokoh muda Anies Baswedan, kita mengenang negarawan yang sekelas Bung Hatta,
Ahmad Dahlan, Wachid Hasyim, Sutan Syahrir, dan Frans Seda itu agar terinspirasi
untuk kembali ke kerja nyata menjaga "tenun kebangsaan yang terancam
koyak". Kita merindukan negarawan. Di tengah hiruk-pikuk berita politikus
korup, hari ini kita mengenang Frans Seda. Tokoh lintas Orde Lama dan Orde Baru
ini termasuk politikus-negarawan yang unik. Ia lahir di pelosok Flores, tapi
akibat tersengat "sentuhan" Bung Karno, hidupnya berubah drastis.
Alih-alih menjadi petani atau pastor, ia terinspirasi masuk politik meskipun
sadar bukan dari kelompok mayoritas. Meskipun bukan dari suku dominan dan
beragama Katolik, tekadnya bulat untuk menjadi salah satu kader pemimpin bangsa
berkat inspirasi Sukarno. Meskipun kemudian, Frans muda merantau ke seminari
Yogyakarta sampai Belanda, dia tetap seorang nasionalis sejati. Dengan moto
"untuk Tuhan dan Tanah Air", ia dengan luwes membina persahabatan
dengan tokoh dari berbagai latar belakang di percaturan politik nasional.
Ia
memimpin Partai Katolik, mengagumi I.J. Kasimo dan Bung Karno, serta tak lelah
memikirkan cara memperbaiki nasib bangsanya. Di kalangan politikus, Frans dapat
menjadi sahabat yang baik. Maka tak mengherankan kalau hampir semua rekan dan
"musuh"-nya selalu terkesan oleh kepiawaiannya meniti jalan sempit
berprinsip untuk Tuhan dan Tanah Air tersebut. Ia menjaga dan menjunjung tinggi
keberagaman. Ia seorang warga negara yang mencintai negerinya seratus persen.
Profesor Emil Salim, yang pernah "magang" dengannya, sangat terkesan
oleh ketekunannya memikirkan nasib rakyat. Suatu kali, Frans Seda membeli
seluruh hasil panen seorang petani yang sedang menuju pasar. "Supaya dia
cepat pulang dan berkumpul dengan keluarganya," ujarnya. Bagi dia, agama
tidak cukup dianut, tapi juga harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia
seorang intelektual, agamawan, yang terus berkomitmen untuk memberantas
kemiskinan. Pak Emil kemudian menggantikannya sebagai Menteri Perhubungan.
Ketika
hari-hari ini kita seolah-olah "dibiasakan" melihat tawuran
antarkampung, antarsekolah, antaragama, dan intra-agama, yang sampai
menumpahkan darah sesama warga negara, sosok Frans Seda menjadi pengingat bahwa
negeri ini dibangun oleh orang-orang baik. Indonesia negeri untuk semua,
Indonesia adalah milik setiap warga negara. Negara wajib melindungi setiap
warga negara. Pada saat yang sama, negara juga menginspirasi rakyat untuk
bekerja keras bersama-sama. Frans selalu mendorong masyarakat untuk memikirkan
kepentingan bersama, bukan pribadi. Ia paham benar bahwa kekuatan negeri ini
berasal dari semangat gotong-royong rakyatnya yang Bhinneka Tunggal Ika di
seluruh pelosok Tanah Air. Bagi dia, rakyat di daerah terpencil juga berhak
menikmati pembangunan. Salah satu peninggalannya adalah berbagai pelabuhan laut
dan bandara perintis di kawasan terpencil Indonesia. Frans bukan teknokrat yang
berpikiran birokratis. Ia ahli ekonomi yang paham benar konsekuensi suatu
kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Berkat kepiawaian dan integritasnya, ia
dipercaya Bung Karno dan Pak Harto untuk menjadi menteri di era Orde Lama dan
Orde Baru. Salah satu prestasi legendarisnya sebagai Menteri Keuangan adalah
mendorong ekonomi Indonesia melewati masa kritis inflasi 600 persen pada
1966-1968. Ia kemudian mulai menerapkan kebijakan anggaran berimbang dan banyak
terobosan lain tanpa takut kehilangan jabatannya. Menurut ekonom Rizal Ramli,
sosok Frans Seda, bersama Profesor Sumitro dan Profesor Sadli, adalah tiga
ekonom yang terbebas dari "jebakan jabatan". Kita membutuhkan Frans
Seda untuk menginspirasi generasi muda agar berani menerobos kekakuan birokrasi
dan godaan kekuasaan. Kita dorong mereka untuk bekerja secara profesional,
tanpa pamrih, dan patgulipat proyek yang berujung korupsi. Kita merindukan
sosok negarawan yang setangguh Pak Frans Seda: berani susah untuk rakyat
banyak.
Frans
Seda telah tiada, tapi karyanya masih ada dan diteruskan generasi berikutnya.
Dia merupakan salah satu pendiri Institut PPM dan Unika Atma Jaya di Jakarta.
Meskipun menjadi menteri untuk beberapa pos di pemerintahan, dia masih sempat
mendorong peran masyarakat madani dengan mendukung P.K. Ojong dan Jacob Oetama
mendirikan Kompas yang berprinsip menyuarakan hati nurani rakyat. Menurut tokoh
muda Anies Baswedan, kita mengenang negarawan yang sekelas Bung Hatta, Ahmad
Dahlan, Wachid Hasyim, Sutan Syahrir, dan Frans Seda itu agar terinspirasi
untuk kembali ke kerja nyata menjaga "tenun kebangsaan yang terancam
koyak". Jauh hari Frans mewanti-wanti agar jangan sampai koyak. Kini kita
sadar bahwa tenun yang telanjur koyak itu akan sulit untuk diperbaiki lagi. Beliau
wafat meninggalkan kita semua pada 31 Desember 2009 dengan segala peninggalan
yang sangat berharga untuk dikenang. Salah satu peninggalan penting adalah
perilakunya sebagai akademisi, politikus, dan teknokrat yang menghargai
perbedaan secara lahir dan batin. Ia mampu meraih kehormatan dari
rekan-rekannya. Pejabat kita sekarang perlu meniru Frans Seda, terutama dalam
hal kehormatan ini. Siapa pun yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan
memang mendapatkan "penghormatan", tapi tidak selalu kehormatan.
Sebuah kehormatan seharusnya diraih, bukan diberikan. Kehormatan itu abadi,
penghormatan itu tergantung posisi hari ini. Tak diragukan lagi, Frans Seda
telah mendapatkan kehormatan dari rakyat Indonesia.
Rekan-rekan
Frans Seda menggagas sebuah penghargaan "Frans Seda Award" (FSA)
untuk dua tokoh muda yang masing-masing berkiprah di bidang kemanusiaan dan
pendidikan yang akan diberikan setiap dua tahun. Untuk pertama kali, tepat saat
1.000 hari wafatnya pada 29 September 2012, dua tokoh telah memenangi award
tersebut. Mereka adalah bidan Oktovina Reba Bonay dari Arso, Papua, untuk
kategori kemanusiaan dan ibu guru Christanti Gomulia dari Garut, Jawa Barat,
untuk pendidikan. Keduanya memiliki kesamaan: peduli terhadap nasib rakyat
kecil dan bekerja keras untuk mereka. Bidan Bonay berjasa menyelamatkan banyak
ibu yang melahirkan di berbagai pelosok Papua, yang minim fasilitas kesehatan.
Guru Christanti mendidik anak-anak dengan pendekatan yang kreatif dan bertaraf
internasional di wilayah Garut, walaupun dengan fasilitas yang terbatas. Usia
maksimal 40 tahun sebagai syarat mutlak award ini membuktikan bahwa masih
banyak anak muda yang berdedikasi. Penghargaan yang sama akan diberikan lagi
pada 2014, di saat kita memasuki pemilihan presiden baru. Kita mesti optimistis
bahwa akan lahir Frans Seda-Frans Seda baru di negeri ini. FSA meneruskan
cita-cita yang belum selesai itu dengan menghargai aksi nyata anak muda bangsa.
Merekalah harapan kita untuk menjaga tenun kebangsaan yang kuat, adil, dan
makmur. ●
No comments:
Post a Comment