A
Prasetyantoko
Pengajar
di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,
17 September 2013
Tak
hanya publik, beberapa media dan lembaga asing pun melihat gejolak ekonomi kali
ini berpotensi mengulang krisis 1998. Benarkah krisis Asia kembali mengancam? Di
Tanah Air, banyak pihak bernostalgia dengan krisis yang mendorong Reformasi
1998 itu. Tak bisa disangkal, gejolak selalu memicu perubahan. Mengapa gejolak
2008 tak membuat orang berpikir soal Reformasi 1998? Memang ada konteks
ekonomi-politik yang berbeda di setiap gejolak. Kali ini, gejolak terjadi di
tengah menipisnya kepercayaan publik kepada pemerintah, dan karena itu sentimen
yang sangat buruk bisa saja tak membutuhkan rujukan situasi fundamental yang
sama buruknya dengan reaksi yang ditimbulkan. Bisa saja situasi fundamental tak
terlalu buruk, tetapi pasar menghukum lebih keras dari kesalahan yang kita
lakukan. Jika berbasis indikator nilai tukar dan pasar modal, gejolak 2008
lebih berat. Saat itu, rupiah terdepresiasi 16 persen dan Indeks Harga Saham
Gabungan terkoreksi 50 persen lebih. Kali ini, hingga penutupan pasar minggu
lalu, depresiasi rupiah sekitar 17 persen. Namun, sebenarnya pelemahan belum
melewati titik terendah 2008 pada Rp 12.400 per dollar AS. Pasar terlihat lebih
optimistis karena pada penutupan minggu lalu berada pada level kurang lebih
sama dengan awal tahun (4.300-an). Memang kalau dihitung dari level tertinggi
Mei 2013 (5.200), koreksi sekitar 16 persen. Sederhananya, mestinya gejolak
kali ini tak akan lebih buruk dari 2008, tapi mengapa orang rindu perubahan
serta merujuk pada Reformasi 1998?
Joseph
A Schumpeter pernah mengatakan, saat paling baik inovasi adalah ketika krisis.
Saat itu, semua orang berpikir perubahan dan secara sukarela meninggalkan
kemapanan (status quo). Maka, krisis dan perubahan sering beriringan. Mestinya
tak perlu menunggu krisis dalam untuk mendorong perubahan penting dalam
perekonomian kita. Ada beberapa persoalan fundamental yang menghantui
perekonomian kita akhir-akhir ini. Pertama, defisit neraca perdagangan yang
Juli lalu mencapai rekor tertinggi 2,3 miliar dollar AS. Pada 2008 terjadi
surplus neraca perdagangan 2,1 miliar dollar AS, sedangkan 1998 surplus 21
miliar dollar AS. Kian hari, arus barang yang masuk lebih besar ketimbang yang
keluar. Akibatnya, pendapatan dari aktivitas riil (ekspor-impor) terus menurun.
Cadangan devisa lebih mengandalkan arus modal dan investasi, selain beberapa
skema pinjaman dan swaps. Kedua, defisit neraca transaksi berjalan atau NTB
(mencatat seluruh transaksi barang, jasa, dan pembayaran) kuartal II-2013
mencapai 9,8 miliar dollar AS. Ketika terjadi gejolak 2008, NTB defisit 630
juta dollar AS, dan 1998 defisit tak sebesar 2013. Secara lebih sederhana,
ketergantungan kita pada barang impor dan arus modal asing guna menopang
dinamika perekonomian kian meningkat. Dan tantangan dari sisi eksternal akan
semakin intens di masa depan, misalnya akan berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN
pada 2015.
Kebijakan
moneter
Sebenarnya,
dinamika 2013 ini bisa jadi dering peringatan yang harus direspons dengan
transformasi kebijakan secara utuh, bukan tambal sulam seperti sekarang ini.
Tak perlu menunggu gejolak lebih dalam karena biaya yang akan ditimbulkan juga
akan sangat mahal. Harus diakui, gejolak selalu menuntut respons cepat yang
sering kali memberi efek (trade-off) negatif dalam jangka panjang. Fokus pada
stabilitas sering harus dibayar mahal dengan efek jangka panjang. Misalnya,
kebijakan suku bunga yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan kenaikan biaya
dana. Sejak gejolak mulai terjadi pada Juni 2013, BI sudah menaikkan suku bunga
acuan (BI Rate) empat kali sebesar 150 basis poin menjadi 7,25 persen. Jika
situasi lebih buruk lagi, tak tertutup kemungkinan kembali dinaikkan menjadi
sekitar 7,5 bahkan 8 persen. Sebagai perbandingan, menghadapi gejolak 2008 BI
Rate dinaikkan menjadi 9,5 persen. Kondisi 1998 agak sulit dibandingkan karena
kenaikan suku bunga 60 persen. Namun, krisis 1998 memberi pelajaran sangat
berharga pada otoritas moneter untuk tak terlalu ”terpancing” reaksi pasar
sehingga BI tak selalu harus ambil sikap mendahului keinginan pasar (ahead the
curve). Dalam konteks 1998, kebijakan moneter yang agresif menaikkan suku bunga
justru mendorong krisis lebih dalam (pro-cycle). Dalam situasi di mana
kebijakan fiskal dan industrial tak mampu meyakinkan pasar, kebijakan moneter
jadi tumpuan harapan meredam sentimen negatif.
Ketergantungan
pada modal asing untuk menutup defisit neraca perdagangan menjadi ciri khas AS.
Mereka bisa bertahan puluhan tahun dengan defisit neraca perdagangan besar.
Kita tak bisa merujuk situasi AS untuk menjustifikasi kebijakan moneter dan
keuangan dalam menutup defisit perdagangan. Perekonomian AS dengan mudah bisa
menarik likuiditas dan mempertahankannya. Ketergantungan kita pada aliran modal
asing untuk menutup defisit perdagangan akan membuat gejolak lebih intens. Hal
itu karena likuiditas berperilaku paradoksal (paradox of liquidity). Ketika
situasi aman mereka akan mengalir ke negara dengan tingkat bunga tinggi, tetapi
ketika terjadi gejolak mereka akan kembali ke mata uang negara maju yang
dianggap lebih aman, meski suku bunga lebih rendah. Negara maju justru
menikmati ketika ada gejolak. Mereka dengan mudah menutup defisit perdagangan
dengan jual surat utang.
Reformasi
industrial
Situasi
kita kini mirip dengan kondisi AS, di mana defisit neraca perdagangan ditutup
dengan aliran likuiditas asing. Mereka masuk ke pasar keuangan kita untuk
memburu suku bunga tinggi. Namun, ketika terjadi guncangan sedikit saja, mereka
keluar. Melihat hal itu, ketergantungan pada kebijakan moneter sangat
kontraproduktif, bahkan dalam jangka pendek, ketika terjadi gejolak. Apalagi
dalam jangka panjang akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal dan industrial harus didorong lebih keras untuk meyakinkan
modal asing agar tetap bertahan. Namun, upaya ini perlu waktu lebih lama,
selain mengasumsikan kematangan dalam kelembagaan di balik kebijakan itu. Tak
ada guna melansir banyak kebijakan, tetapi tak terjadi koordinasi dan lambat di
implementasinya. Kita berharap gejolak kali ini cukup untuk mendorong reformasi
industrial yang menghadirkan kembali rancang bangun kebijakan industri yang
tangguh. Kebijakan industrial merupakan tulang punggung ekonomi, tanpanya
perekonomian akan terombang-ambing dinamika eksternal. Defisit neraca
perdagangan dan NTB bukti kuat hilangnya kebijakan industrial tersebut.
A
Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma
Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment