A Prasetyantoko ;
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,
30 September 2013
Pertemuan
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali beriringan dengan meningkatnya
intensitas gejolak perekonomian, baik domestik maupun global. Goldman Sachs
beberapa tahun lalu merilis laporan yang menjuluki Indonesia sebagai ”The Next
11 Countries”, atau kelompok 11 negara sangat prospektif, yang akan segera
menyusul keberhasilan Brasil, Rusia, India, China (BRIC). Belum lama berselang,
Indonesia kini ditempatkan dalam ”Fragile Five” oleh Morgan Stanley. Itu
julukan bagi negara paling bermasalah dalam depresiasi nilai tukar, bersama
Brasil, Turki, Afrika Selatan, dan India.
Buruknya
depresiasi di lima negara ini terkait dengan berbagai persoalan domestik,
seperti tingginya inflasi, besarnya defisit transaksi berjalan, dan
terkoreksinya pertumbuhan ekonomi. Aneka persoalan inibermunculan seiring
dengan proses penemuan titik keseimbangan baru secara global. Prospek pemulihan
ekonomi negara maju direspons investor global melalui reposisi portofolio
investasi. Adapun negara berkembang dengan kinerja buruk mengalami tekanan
lebih besar.
Indonesia
menghadapi kompleksitas persoalan tersebut. Dalam jangka pendek ada persoalan
likuiditas yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar, dan dalam jangka
panjang kita menghadapi transformasi struktur ekonomi yang terancam mandek. Dua
tantangan inilah yang mestinya mendapat perhatian khusus dalam pertemuan APEC.
Mampukah kita memanfaatkan forum tersebut? Meskipun informal dan tidak
mengikat, APEC tetap memiliki peran strategis karena bisa mendorong lembaga formal
seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan
Dunia menindaklanjutinya.
Pertemuan
APEC tahun ini bertema ”Resilient Asia-Pacific Engine of Global Growth”. Ada
tiga prioritas yang ingin dicapai.
Pertama,
pencapaian Target Bogor (Bogor Goals) yang sudah ditetapkan pada pertemuan APEC
1994.
Kedua,
merealisasi pertumbuhan berkelanjutan melalui pemerataan (sustainable growth
with equity).
Ketiga,
mempromosikan konektivitas. Pertemuan Bogor telah menyepakati tujuan bersama
liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 bagi negara maju dan 2020
untuk negara berkembang. Target tersebut beririsan dengan komitmen pelaksanaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Agak ironis, semakin kita mendekati tenggat
implementasi perdagangan bebas (dan investasi), justru kita tengah bergulat
mengatasi persoalan terkait neraca eksternal kita.
Defisit
perdagangan Juli lalu mencatat rekor terbesar dalam sejarah, sebesar 2,31
miliar dollar AS atau secara kumulatif dari awal tahun mencapai 5,65 miliar
dollar AS. Transaksi berjalan defisit 9,8 miliar dollar AS pada triwulan II
tahun ini, atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Akibat buruknya
defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan itulah rupiah mengalami
tekanan yang cukup besar, mencapai sekitar 20 persen dibandingkan dengan
kinerja awal tahun.
Seakan-akan
kita berada pada dua tebing persoalan yang semakin mengimpit. Pada satu sisi
semakin dekat menghadapi implementasi perdagangan bebas, di sisi lain terimpit
oleh makin besarnya defisit. Jika tidak ada perubahan lanskap kebijakan
ekonomi, liberalisasi perdagangan dan investasi justru akan menjerumuskan kita
pada jurang persoalan yang makin pelik. Apa yang bisa kita lakukan dalam Forum
APEC guna mengatasi persoalan domestik tersebut?
Sebanyak
21 negara anggota APEC memiliki peran sentral karena menguasai kurang lebih 60
persen PDB dunia dan merupakan 70 persen dari pangsa pasar ekspor kita. Dari
sisi investasi, peranannya juga tak kalah penting. Dalam pertemuan CEO Summit
di Bali, misalnya, akan berkumpul tak kurang 1.200 pemimpin tertinggi
perusahaan besar di dunia. Mereka adalah motor yang menggerakkan investasi ke
penjuru dunia.
Sebenarnya
persoalannya bukan lagi terletak pada kesempatan yang tersedia, melainkan
justru pada kemampuan kita melakukan transformasi fundamental perekonomian kita
sehingga kita memiliki kesiapan untuk terjun dalam arena tersebut. Tingginya
investasi langsung asing ternyata memberi efek buruk karena hampir semua
kebutuhan investasi dipenuhi dengan bahan baku dan bahan penolong impor.
Perekonomian domestik tak mampu menyediakan bahan baku tersebut secara
proporsional sehingga tingginya investasi langsung asing berimplikasi terhadap
melonjaknya bahan baku impor.
Sama
halnya dengan terbukanya sistem perdagangan melalui liberalisasi, justru
membuat aliran barang dan jasa lebih banyak mengalir ke perekonomian domestik
ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas kita. Daya saing produk kita
begitu kedodoran karena produktivitas ekonomi kita yang tak mengalami perubahan
berarti.
Terkait
isu jangka pendek, Forum APEC bisa menjadi sarana sangat baik untuk melakukan
lobi dalam rangka meningkatkan cadangan devisa kita, khususnya melalui
perjanjian swap antarnegara. Pendekatan ini penting untuk meningkatkan cadangan
devisa yang sekarang berada pada kisaran 92,8 miliar dollar AS. Sementara, isu
konektivitas dan pertumbuhan dengan pemerataan perlu diturunkan dalam
ramifikasi program yang menjawab isu pokok kita hari ini.
Pada
isu ini tercakup berbagai program, mulai dari infrastruktur fisik, akses
keuangan, hingga kerangka kelembagaan yang memadai bagi transformasi
perekonomian domestik. Agenda domestik jangka panjang tersebut terasa begitu
klise karena sudah sekian lama kita paham betul situasinya, tetapi tak pernah
ada upaya konkret yang sistematis dan berkelanjutan. Kalaupun ada beberapa
inisiatif, terkesan insidental dan responsif yang cepat menguap. Pendek kata, forum
informal APEC ini bisa sangat berguna bagi perekonomian kita yang sedang
terancam pelambatan, selain dinamika jangka pendek yang menantang ini. Untuk
itu, dibutuhkan koordinasi yang baik di antara pejabat pemerintah. Jangan
sampai pejabat yang tidak berwenang memberikan pernyataan di media yang justru
menunjukkan tidak adanya koordinasi. Dalam situasi seperti ini, soal
kredibilitas menjadi sangat penting sehingga perlu ada upaya maksimal
mengupayakannya.
No comments:
Post a Comment