A
Prasetyantoko ;
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 09 September
2013
Sejarah
memang selalu berulang, begitu pun krisis ekonomi. Seperti semboyan Olimpiade,
krisis cenderung datang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat (citius,
altius, fortius). Ibarat penyakit, krisis datang dengan imunitas lebih tinggi
sehingga dosis obat harus lebih kuat untuk menjinakkannya. Meskipun menunjukkan
gejala serupa, gejolak hari ini memiliki karakteristik berbeda dengan gejolak
2008 dan 1998. Gejalanya bisa jadi sama, seperti pelemahan nilai tukar,
kemerosotan indeks pasar, dan kepanikan para pelaku ekonomi. Namun, setiap
krisis memiliki akar dan kompleksitas masalah berbeda-beda. Nostalgia bisa saja
menghampiri sebagian kalangan dengan munculnya harapan terjadi perubahan besar
menyusul gejolak perekonomian, seperti peristiwa 1998. Namun, sejatinya
kompleksitas gejolak hari ini jauh lebih ringan daripada 1998. Dan, justru
karena itu, gejolak tidak ditangani dengan baik sehingga berkepanjangan.
Dilihat
dari karakteristiknya, gejolak kali ini mirip dengan 2008. Jika dibandingkan,
tekanan yang ditimbulkan dari gejolak sejauh ini juga masih lebih ringan. Pada
2008, rupiah melemah sepanjang tahun sebesar 16 persen, sementara Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) tergerus 50,90 persen. Hingga hari ini, tekanan terhadap rupiah
sekitar 14 persen, sementara pasar modal tergerus 8 persen dari awal tahun.
Memang jika dibandingkan dengan kinerja terbaik pada Mei 2013 pada level
5.200-an, koreksi pasar sekitar 23 persen. Dilihat dari sumber tekanannya,
episentrum krisis 1998 berasal pada sisi domestik kita, seperti kebangkrutan
perbankan akibat kredit macet begitu besar di sektor korporasi. Pada 2008,
episentrum persoalan pada sisi global seiring runtuhnya perekonomian negara
maju, khususnya Amerika Serikat, ditandai kebangkrutan Lehman Brothers.
Sementara, gejolak hari ini bersumber pada pertautan sisi domestik dan global
yang diiringi migrasi likuiditas dari negara berkembang ke negara maju.
Pelajaran
paling penting bagi kita, selama ini kita terlalu bergantung pada aliran deras
likuiditas global serta terbuai oleh kenaikan harga komoditas di pasar dunia.
Ketika keduanya mulai menyusut, perekonomian kita pun terkoreksi. Selama ini
kita lupa untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur kita. Defisit neraca
perdagangan Juli sebesar 2,3 miliar dollar AS membuktikan, pendapatan ekspor
kita bergantung pada sektor komoditas, sementara daya saing produk nonmigas
masih lemah. Di luar perhitungan, melemahnya harga komoditas di pasar global
terjadi seiring dengan mengetatnya likuiditas di negara berkembang. Akibatnya,
selain penurunan penerimaan ekspor, investasi juga makin terkendala dengan
meningkatnya biaya dana. Cadangan devisa juga terus tergerus. Meskipun BI
berhasil menambah besaran cadangan devisa Agustus sekitar 400 juta dollar AS
menjadi 63 miliar dollar AS, persoalan utamanya belum diselesaikan. Besarnya
defisit transaksi berjalan akan terus menekan nilai tukar, sementara instrumen
kebijakan yang tersedia juga semakin terbatas. Jika sentimen terus memburuk, BI
Rate terpaksa dinaikkan kembali. Hingga akhir tahun masih terbuka kemungkinan
kenaikan BI Rate sebesar 50 basis poin. Semakin tinggi suku bunga, investasi
semakin merosot, dan pertumbuhan akan terus terkoreksi. Jika gejolak nilai
tukar dan pasar modal terus terjadi, ditambah dengan kompleksitas situasi,
pertumbuhan tahun ini dikhawatirkan hanya akan mencapai 5,5-5,8 persen.
Sementara tahun depan tetap di bawah 6 persen.
Memang
perekonomian kita sekitar 60 persen masih ditopang oleh permintaan domestik,
tetapi dengan inflasi yang diperkirakan tahun ini sebesar 9,2 persen, tentu
kemampuannya menghela perekonomian juga merosot. Inflasi Agustus 1,12 persen
menunjukkan tekanan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memang mulai
mereda. Namun, depresiasi rupiah mengakibatkan naiknya semua harga bahan baku
berbasis impor (imported inflation). Persoalan lain, sektor produksi kita
begitu bergantung pada bahan baku impor. Kita tidak pernah mengembangkan
industri pemasok bahan baku dan bahan penolong. Menghadapi situasi yang terus
tidak pasti dengan kecenderungan memburuk ini, diperlukan upaya konkret
menyelamatkan ekonomi kita, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu sangat positif menjawab persoalan
fundamentalnya. Namun, tanpa implementasi progresif, kita akan kehilangan
momentum mempertahankan perekonomian kita. Justru, tanpa tindak lanjut yang
komprehensif di semua lini, bisa jadi tingkat kepercayaan makin menyusut
sehingga sentimen bisa datang begitu cepat memorakporandakan bangunan ekonomi
kita.
Menurunkan
impor guna menekan defisit transaksi berjalan pada triwulan III menjadi sekitar
3,3 persen terhadap produk domestik bruto harus menjadi prioritas. Mengingat
impor minyak masih sangat tinggi, tidak ada pilihan untuk secara progresif
melakukan konversi energi di dalam negeri. Migrasi ke gas, menambah komponen
nabati pada diesel, dan terobosan-terobosan lain harus dilakukan dengan sangat
konsisten. Jika tidak, defisit perdagangan bisa terus menganga. Tentu saja, di
sisi lain memperbaiki daya saing produk nonminyak dan gas bumi kita di pasar
global agar pendapatan ekspor kita tidak bergantung pada fluktuasi harga
komoditas. Selain itu, menghadapi pelambatan dari sisi ekspor dan investasi, sementara
permintaan domestik didera inflasi tinggi, belanja pemerintah menjadi
satu-satunya yang masih bisa diekspansi. Memang ada kendala budget, selain
kapasitas birokrasi melakukan penyerapan anggaran dengan efektif. Pendeknya,
kita tak punya banyak waktu untuk terus berwacana. Situasinya bisa menjadi tak
terkendali apabila pertautan faktor fundamental domestik global memicu sentimen
negatif yang meluas. Selain soal defisit neraca perdagangan dan transaksi
berjalan, masalah yang lebih serius adalah defisit kepercayaan kepada
pemerintah yang bisa memicu perilaku brutal, tidak hanya di pasar modal, tetapi
juga di jalanan.
No comments:
Post a Comment