Friday, September 13, 2013

UPAYA KONKRET MENYELAMATKAN EKONOMI





A Prasetyantoko  ;   Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 09 September 2013



Sejarah memang selalu berulang, begitu pun krisis ekonomi. Seperti semboyan Olimpiade, krisis cenderung datang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat (citius, altius, fortius). Ibarat penyakit, krisis datang dengan imunitas lebih tinggi sehingga dosis obat harus lebih kuat untuk menjinakkannya. Meskipun menunjukkan gejala serupa, gejolak hari ini memiliki karakteristik berbeda dengan gejolak 2008 dan 1998. Gejalanya bisa jadi sama, seperti pelemahan nilai tukar, kemerosotan indeks pasar, dan kepanikan para pelaku ekonomi. Namun, setiap krisis memiliki akar dan kompleksitas masalah berbeda-beda. Nostalgia bisa saja menghampiri sebagian kalangan dengan munculnya harapan terjadi perubahan besar menyusul gejolak perekonomian, seperti peristiwa 1998. Namun, sejatinya kompleksitas gejolak hari ini jauh lebih ringan daripada 1998. Dan, justru karena itu, gejolak tidak ditangani dengan baik sehingga berkepanjangan.
Dilihat dari karakteristiknya, gejolak kali ini mirip dengan 2008. Jika dibandingkan, tekanan yang ditimbulkan dari gejolak sejauh ini juga masih lebih ringan. Pada 2008, rupiah melemah sepanjang tahun sebesar 16 persen, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergerus 50,90 persen. Hingga hari ini, tekanan terhadap rupiah sekitar 14 persen, sementara pasar modal tergerus 8 persen dari awal tahun. Memang jika dibandingkan dengan kinerja terbaik pada Mei 2013 pada level 5.200-an, koreksi pasar sekitar 23 persen. Dilihat dari sumber tekanannya, episentrum krisis 1998 berasal pada sisi domestik kita, seperti kebangkrutan perbankan akibat kredit macet begitu besar di sektor korporasi. Pada 2008, episentrum persoalan pada sisi global seiring runtuhnya perekonomian negara maju, khususnya Amerika Serikat, ditandai kebangkrutan Lehman Brothers. Sementara, gejolak hari ini bersumber pada pertautan sisi domestik dan global yang diiringi migrasi likuiditas dari negara berkembang ke negara maju.
Pelajaran paling penting bagi kita, selama ini kita terlalu bergantung pada aliran deras likuiditas global serta terbuai oleh kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Ketika keduanya mulai menyusut, perekonomian kita pun terkoreksi. Selama ini kita lupa untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur kita. Defisit neraca perdagangan Juli sebesar 2,3 miliar dollar AS membuktikan, pendapatan ekspor kita bergantung pada sektor komoditas, sementara daya saing produk nonmigas masih lemah. Di luar perhitungan, melemahnya harga komoditas di pasar global terjadi seiring dengan mengetatnya likuiditas di negara berkembang. Akibatnya, selain penurunan penerimaan ekspor, investasi juga makin terkendala dengan meningkatnya biaya dana. Cadangan devisa juga terus tergerus. Meskipun BI berhasil menambah besaran cadangan devisa Agustus sekitar 400 juta dollar AS menjadi 63 miliar dollar AS, persoalan utamanya belum diselesaikan. Besarnya defisit transaksi berjalan akan terus menekan nilai tukar, sementara instrumen kebijakan yang tersedia juga semakin terbatas. Jika sentimen terus memburuk, BI Rate terpaksa dinaikkan kembali. Hingga akhir tahun masih terbuka kemungkinan kenaikan BI Rate sebesar 50 basis poin. Semakin tinggi suku bunga, investasi semakin merosot, dan pertumbuhan akan terus terkoreksi. Jika gejolak nilai tukar dan pasar modal terus terjadi, ditambah dengan kompleksitas situasi, pertumbuhan tahun ini dikhawatirkan hanya akan mencapai 5,5-5,8 persen. Sementara tahun depan tetap di bawah 6 persen.
Memang perekonomian kita sekitar 60 persen masih ditopang oleh permintaan domestik, tetapi dengan inflasi yang diperkirakan tahun ini sebesar 9,2 persen, tentu kemampuannya menghela perekonomian juga merosot. Inflasi Agustus 1,12 persen menunjukkan tekanan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memang mulai mereda. Namun, depresiasi rupiah mengakibatkan naiknya semua harga bahan baku berbasis impor (imported inflation). Persoalan lain, sektor produksi kita begitu bergantung pada bahan baku impor. Kita tidak pernah mengembangkan industri pemasok bahan baku dan bahan penolong. Menghadapi situasi yang terus tidak pasti dengan kecenderungan memburuk ini, diperlukan upaya konkret menyelamatkan ekonomi kita, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu sangat positif menjawab persoalan fundamentalnya. Namun, tanpa implementasi progresif, kita akan kehilangan momentum mempertahankan perekonomian kita. Justru, tanpa tindak lanjut yang komprehensif di semua lini, bisa jadi tingkat kepercayaan makin menyusut sehingga sentimen bisa datang begitu cepat memorakporandakan bangunan ekonomi kita.
Menurunkan impor guna menekan defisit transaksi berjalan pada triwulan III menjadi sekitar 3,3 persen terhadap produk domestik bruto harus menjadi prioritas. Mengingat impor minyak masih sangat tinggi, tidak ada pilihan untuk secara progresif melakukan konversi energi di dalam negeri. Migrasi ke gas, menambah komponen nabati pada diesel, dan terobosan-terobosan lain harus dilakukan dengan sangat konsisten. Jika tidak, defisit perdagangan bisa terus menganga. Tentu saja, di sisi lain memperbaiki daya saing produk nonminyak dan gas bumi kita di pasar global agar pendapatan ekspor kita tidak bergantung pada fluktuasi harga komoditas. Selain itu, menghadapi pelambatan dari sisi ekspor dan investasi, sementara permintaan domestik didera inflasi tinggi, belanja pemerintah menjadi satu-satunya yang masih bisa diekspansi. Memang ada kendala budget, selain kapasitas birokrasi melakukan penyerapan anggaran dengan efektif. Pendeknya, kita tak punya banyak waktu untuk terus berwacana. Situasinya bisa menjadi tak terkendali apabila pertautan faktor fundamental domestik global memicu sentimen negatif yang meluas. Selain soal defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, masalah yang lebih serius adalah defisit kepercayaan kepada pemerintah yang bisa memicu perilaku brutal, tidak hanya di pasar modal, tetapi juga di jalanan.

No comments:

Post a Comment