Edisi Oktober 2013 http://nationalgeographic.co.id/
Dalam masyarakat Korea
Utara, kebenaran tidak selalu sederhana.
Oleh Tom Sullivan
Foto oleh David Guttenfelder
Rahib-rahib
itu mengikuti kami keluar ke lapangan parkir. Saat itu pagi musim gugur yang
sejuk, dan suasananya sunyi di Kuil Ryongthong, kompleks kuil Buddha di lereng
bukit di luar kota Kaesong, Korea Utara. Berabad-abad lalu, Kaesong adalah kota
kediaman raja-raja Korea, dan Ryongthong merupakan pusat keagamaan yang ramai. Tetapi,
pagi ini kuil itu lengang. Tidak ada genta berdentang, tidak ada orang
beribadat yang menyalakan dupa—hanya ada dua rahib berjubah abu-abu
berkeliling kompleks dengan ketenangan seperti dibuat-buat. Di tengah kota,
pelantang suara di jalan raya nan kosong di Kaesong mengumandangkan lagu
pujian bagi Kim Jong-un, pemuda yang kini dipanggil warga Korea Utara sebagai
Pemimpin Besar. Saya dan fotografer David Guttenfelder mengunjungi kuil itu
bersama pendamping kami—birokrat pemerintah yang dengan gelisah mendampingi
wartawan asing ke mana-mana. Saya mewawancarai seorang rahib secara singkat,
mencatat beberapa komentar standar di buku tulis, sebagaimana mestinya.
“Agama Buddha
membantu manusia berpikiran jernih, bersih, dan jujur,” kata Dri Jong-gak.
Kuil Buddha di
Korea Utara tampak seperti tempat yang tepat bagi wartawan untuk bertanya
tentang kebebasan beribadah. Menurut para peneliti, kediktatoran satu keluarga
selama enam dasawarsa di sini telah menekan agama terstruktur di sini. Tetapi,
andai saya bertanya, dan salah seorang rahib itu menyiratkan sedikit saja bahwa
dia tidak puas dengan rezim ini, saya tahu dia akan dipenjarakan, menghilang ke
kamp kerja paksa tersembunyi yang menurut pegiat HAM menampung antara 150.000
dan 200.000 orang. Jadi saya tidak bertanya, dan kami keluar dari kuil tak lama
kemudian. Namun, di lapangan parkir, ketika kami menggeser pintu mobil minibus,
rahib-rahib itu muncul. Ada pendamping di sebelah mereka. Semuanya menatap
kami, menanti. Lalu rahib yang lebih tua berbicara. “Saya tahu apa yang ingin
Anda tanyakan,” kata Zang Hye-myong.
Tiba-tiba
jelas bagi saya mengapa rahib-rahib itu mengikuti kami. Pendamping tidak
mungkin memperkenalkan wartawan kepada pembangkang, dan Ryongthong bukanlah
sarang kritik politik. Semestinya saya menyadari sejak awal bahwa itu kuil
palsu totaliterisme, studio film yang tangga batu dan pintu kayu hiasnya jarang
tersentuh manusia. Para rahib itu aktor dalam pertunjukan teater tentang
kebebasan beragama di Korea Utara. Kamilah penontonnya. Dengan enggan, saya pun
mengajukan pertanyaan yang mereka nantikan: “Apakah Anda bebas beribadah?”
Rahib itu tampak puas. “Orang Barat meyakini bahwa orang tidak boleh memeluk
agama di negeri saya.” Dia menggeleng dengan sedih. “Itu keliru.” Katanya,
dialah bukti tentang kebebasan yang dianugerahkan “Pemimpin Besar” Kim Il-sung
kepada warga Korea dan yang kini dilindungi oleh cucunya Kim Jong-un.
No comments:
Post a Comment