Friday, September 27, 2013

DI TEPI SUNGAI PIEDRA AKU DUDUK DAN MENANGIS

 "By The River Piedra I Sat Down And Wept"
by Paulo Coelho

“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.” 
Berkisah tentang dua sahabat, pria dan wanita. Mereka tumbuh dan tinggal di sebuah kota kecil, Soria, di Spanyol. Si lelaki kemudian memutuskan untuk melihat dunia, sementara yang perempuan memilih Zaragosa sebagai tempatnya untuk meneruskan sekolah. Sesekali mereka kerap berkirim surat. Suatu ketika, si pria mengundang Pilar -nama si wanita- untuk menghadiri pertemuan, di mana si lelaki akan memberikan ceramah. Sahabat masa kecilnya ini ternyata adalah seorang pemimpin spiritual. Dalam sebuah kesempatan, yang telah lama dinanti dan diangankan, si lelaki menyatakan perasaan cintanya kepada si perempuan. Cinta yang tumbuh sejak mereka kanak-kanak. Pilar bukannya tidak mengetahui, sesungguhnya ia pun mencintai lelaki ini. Namun Pilar mencoba mengelak. Dunia lelaki ini berbeda dengan dirinya. Pilar adalah perempuan yang takut menghadapi hal-hal tak terduga. Ia menginginkan kehidupan yang aman dan biasa.
“Kau harus mengambil resiko, ia berkata. Kita hanya dapat memahami keajaiban hidup sepenuhnya jika kita mengizinkan hal-hal tak terduga untuk terjadi.”
Cinta yang tumbuh perlahan mengubah pandangan Pilar atas pilihan hidup. Namun ketakutan itu masih membayanginya.
“Namun cinta itu mirip bendungan: jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendenungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. mencintai berarti kehilangan kendali.”
Pilar berkeras tak membiarkan celah itu ada. Pertarungan antara logika dengan kekuatan cinta menjadi renungan yang menarik, yang disajikan dalam buku ini. Tidak hanya Pilar, si lelaki pun sebenarnya menghadapi dilema yang sama. Memilih hidup normal dengan wanita yang ia cintai atau kehidupan religius-nya. Di tepi sungai Piedra, keduanya akan memutuskan jalan hidup mereka selanjutnya. Cinta tidak pernah membuat kita menderita, karena seperti  Coelho bilang “..dalam setiap cinta ada benih pertumbuhan diri. Semakin kita mencinta, semakin kita dekat pada pengalaman spiritual.”

“… pengalaman spiritual sesungguhnya adalah pengalaman praktis dari cinta. Dan cinta tidak mengenal peraturan.”
“Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.”
Ketika orang-orang itu bertanya bagaimana caranya si teman menjadi begitu sukses, ia menjawab bahwa hingga beberapa hari yang lalu, ia dapat hidup sebagai “Yang Lain”.
“Apa maksudmu Yang Lain?” mereka bertanya.
“Yang Lain adalah orang yang mengatakan siapa aku seharusnya, tapi bukan siapa aku sesungguhnya. Yang Lain percaya kita harus menghabiskan seluruh hidup kita memikirkan bagaimana memeroleh sebanyak mungkin uang supaya tidak mati kelaparan ketika tua nanti. Karenanya kita hanya memikirkan uang dan bagaimana mendapatkannya, dan baru merasa hidup justru ketika hari-hari kita di muka bumi ini bisa dibilang telah usai. Dan segalanya sudah terlambat.”
“Dan kau? Siapakah kau?”
“Aku sama seperti orang-orang yang mendengar kan hati mereka: orang yang terpikat oleh misteri kehidupan. Orang yang membuka hatinya terhadap mukjizat, yang merasakan kebahagiaan dan antusiasme dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Hanya saja, karena takut kecewa, Yang Lain tidak membiarkan aku mengambil tindakan.”
“Tapi ada penderitaan di dalam hidup,” salah seorang pendengar berkata.
“Dan ada kekalahan. Tak seorang pun dapat menghindarinya. Tapi lebih baik kalah dalam beberapa pertarungan demi impian-impianmu, daripada kalah tanpa mengetahui apa yang kau perjuangkan.”
“Hanya itu?” pendengar yang lain bertanya.
“Ya, hanya itu. Setelah memahaminya, aku memutuskan menjadi orang yang selama ini kuinginkan. Yang Lain berdiri di sudut kamar, mengawasiku, tapi aku takkan membiarkan Yang Lain menguasaiku, tapi aku takkan membiarkan Yang Lain menguasaiku lagi-meskipun ia mencoba menakut-nakutiku, mengingatkan bahwa tidak memikirkan masa depan adalah tindakan riskan.
“Sejak aku mengusir Yang Lain dari hiduku, Energi Ilahi mulai menunjukkan mukjizat-mukjizatnya.
Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Ada legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini –dedaunan, serangga, bulu burung– akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku  akan berakhir, dan akhirnya aku pun melupakan semuanya.
Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang mengelegak melewatiku. Di suatu tempat entah dimana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga –jauh dari hati dan pandanganku– semuanya menyatu dengan lautan. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara, gereja di Pegunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui bersama. Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku –mimpi-mimpi yang takkan pernah menjadi kenyataan. Aku ingat “saat magis”-ku saat ketika sebuah “ya’ atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru mingu lalu aku menemukan cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya. Aku menulis kisah ini di tepi Sungai Piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.
“Hiduplah. mengenang hanya untuk orang-orang tua,” ia berkata.
Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis–mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke Piedra. Itulah yang dikatakan wanita yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah seperti kata satu orang kudus, air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.

No comments:

Post a Comment