“Cinta adalah perangkap. Ketika
ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.”
Berkisah
tentang dua sahabat, pria dan wanita. Mereka tumbuh dan tinggal di sebuah kota
kecil, Soria, di Spanyol. Si lelaki kemudian memutuskan untuk melihat dunia,
sementara yang perempuan memilih Zaragosa sebagai tempatnya untuk meneruskan
sekolah. Sesekali mereka kerap berkirim surat. Suatu ketika, si pria mengundang
Pilar -nama si wanita- untuk menghadiri pertemuan, di mana si lelaki akan
memberikan ceramah. Sahabat masa kecilnya ini ternyata adalah seorang pemimpin
spiritual. Dalam sebuah kesempatan, yang telah lama dinanti dan diangankan, si
lelaki menyatakan perasaan cintanya kepada si perempuan. Cinta yang tumbuh
sejak mereka kanak-kanak. Pilar bukannya tidak mengetahui, sesungguhnya ia pun
mencintai lelaki ini. Namun Pilar mencoba mengelak. Dunia lelaki ini berbeda
dengan dirinya. Pilar adalah perempuan yang takut menghadapi hal-hal tak
terduga. Ia menginginkan kehidupan yang aman dan biasa.
“Kau harus mengambil resiko, ia
berkata. Kita hanya dapat memahami keajaiban hidup sepenuhnya jika kita
mengizinkan hal-hal tak terduga untuk terjadi.”
Cinta yang tumbuh perlahan
mengubah pandangan Pilar atas pilihan hidup. Namun ketakutan itu masih
membayanginya.
“Namun cinta itu mirip bendungan:
jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air,
percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendenungan, dan tak lama kemudian
tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu
runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak
lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di
sisi kita atau tidak. mencintai berarti kehilangan kendali.”
Pilar berkeras
tak membiarkan celah itu ada. Pertarungan antara logika dengan kekuatan cinta
menjadi renungan yang menarik, yang disajikan dalam buku ini. Tidak hanya Pilar,
si lelaki pun sebenarnya menghadapi dilema yang sama. Memilih hidup normal
dengan wanita yang ia cintai atau kehidupan religius-nya. Di tepi sungai
Piedra, keduanya akan memutuskan jalan hidup mereka selanjutnya. Cinta tidak
pernah membuat kita menderita, karena seperti Coelho bilang “..dalam setiap cinta ada benih
pertumbuhan diri. Semakin kita mencinta, semakin kita dekat pada pengalaman
spiritual.”
“… pengalaman spiritual
sesungguhnya adalah pengalaman praktis dari cinta. Dan cinta tidak mengenal
peraturan.”
“Cinta sejati adalah penyerahan
diri seutuhnya. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan
menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.”
Ketika orang-orang itu bertanya
bagaimana caranya si teman menjadi begitu sukses, ia menjawab bahwa hingga
beberapa hari yang lalu, ia dapat hidup sebagai “Yang Lain”.
“Apa maksudmu Yang Lain?” mereka
bertanya.
“Yang Lain adalah orang yang
mengatakan siapa aku seharusnya, tapi bukan siapa aku sesungguhnya. Yang Lain
percaya kita harus menghabiskan seluruh hidup kita memikirkan bagaimana
memeroleh sebanyak mungkin uang supaya tidak mati kelaparan ketika tua nanti.
Karenanya kita hanya memikirkan uang dan bagaimana mendapatkannya, dan baru
merasa hidup justru ketika hari-hari kita di muka bumi ini bisa dibilang telah
usai. Dan segalanya sudah terlambat.”
“Dan kau? Siapakah kau?”
“Aku sama seperti orang-orang
yang mendengar kan hati mereka: orang yang terpikat oleh misteri kehidupan.
Orang yang membuka hatinya terhadap mukjizat, yang merasakan kebahagiaan dan
antusiasme dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Hanya saja, karena takut
kecewa, Yang Lain tidak membiarkan aku mengambil tindakan.”
“Tapi ada penderitaan di dalam
hidup,” salah seorang pendengar berkata.
“Dan ada kekalahan. Tak seorang
pun dapat menghindarinya. Tapi lebih baik kalah dalam beberapa pertarungan demi
impian-impianmu, daripada kalah tanpa mengetahui apa yang kau perjuangkan.”
“Hanya itu?” pendengar yang lain
bertanya.
“Ya, hanya itu. Setelah memahaminya,
aku memutuskan menjadi orang yang selama ini kuinginkan. Yang Lain berdiri di
sudut kamar, mengawasiku, tapi aku takkan membiarkan Yang Lain menguasaiku,
tapi aku takkan membiarkan Yang Lain menguasaiku lagi-meskipun ia mencoba
menakut-nakutiku, mengingatkan bahwa tidak memikirkan masa depan adalah
tindakan riskan.
“Sejak aku mengusir Yang Lain
dari hiduku, Energi Ilahi mulai menunjukkan mukjizat-mukjizatnya.
Di tepi Sungai Piedra aku duduk
dan menangis. Ada legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke sungai ini
–dedaunan, serangga, bulu burung– akan berubah menjadi batu yang membentuk
dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke
arus, maka kepedihan dan rinduku akan
berakhir, dan akhirnya aku pun melupakan semuanya.
Di tepi Sungai Piedra aku duduk
dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku
terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang mengelegak
melewatiku. Di suatu tempat entah dimana, sungai ini akan bertemu sungai lain,
lalu yang lain lagi, hingga –jauh dari hati dan pandanganku– semuanya menyatu
dengan lautan. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak
pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku
mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara, gereja
di Pegunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui bersama. Aku akan
melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku –mimpi-mimpi
yang takkan pernah menjadi kenyataan. Aku ingat “saat magis”-ku saat ketika
sebuah “ya’ atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya.
Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru mingu lalu aku menemukan
cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya. Aku menulis kisah ini di tepi
Sungai Piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku
ingin berhenti.
“Hiduplah. mengenang hanya untuk
orang-orang tua,” ia berkata.
Mungkin cinta membuat kita menua
sebelum waktunya atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana
mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis–mencoba
mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku
selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke
Piedra. Itulah yang dikatakan wanita yang memberiku tempat menginap. Ketika
itulah seperti kata satu orang kudus, air sungai akan memadamkan apa yang telah
ditulis oleh lidah api.
No comments:
Post a Comment