Kompas, Senin, 18 Maret 2013
A. PRASETYANTOKO
Di antara kerumunan demonstran, muncul spanduk berbunyi: ”potonglah korupsi bukan subsidi”. Demikian salah satu gugatan di tengah gelombang
demonstrasi menentang kenaikan harga
bahan bakar minyak
di Nigeria,
Januari 2012.Jantung dari kebijakan publik adalah legitimasi. Tanpa legitimasi, kebijakan publik tak berarti apa-apa. Dan,
korupsi telah menggerogoti dengan
begitu
ganas legitimasi kebijakan publik. Hari-hari ini, pemerintah kita juga tengah berpikir keras
memecahkan dilema subsidi bahan bakar
minyak (BBM). Benarkah
menaikkan harga BBM menjadi pilihan paling
mudah dibandingkan dengan opsi lain, seperti penggunaan kartu
pintar, pembatasan terbatas, atau zonasi? Atau, jangan-jangan kerumitan itu justru menjadi alat berlindung dari substansi persoalan sebenarnya agar kelihatan bekerja keras penuh kerumitan, padahal
sebenarnya tak melakukan hal mendasar
atau much
ado about nothing!
Harus diakui, kenaikan
harga BBM tak semata-mata persoalan ekonomi, tetapi juga politik. Dari sisi ekonomi, pemberian subsidi semakin
sulit dipertanggungjawabkan. Pertama, peningkatan konsumsi
terus menekan kuota BBM. Pada 2012, realisasi konsumsi Premium sebesar 28,24 juta
kiloliter (kl), padahal kuotanya
27,84
juta kl. Konsumsi Premium Januari 2013 dibandingkan Januari 2012 naik 7,5 persen.
Sementara konsumsi solar naik 5 persen pada
periode
sama. Meski lonjakan
konsumsi
BBM tak selalu berarti buruk karena menunjukkan
peningkatan aktivitas ekonomi,
tetap saja menimbulkan risiko, baik
jangka pendek maupun panjang.
Kedua, kenaikan konsumsi BBM meningkatkan anggaran
subsidi dan kemudian deficit anggaran. Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran subsidi energi sebesar Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Jika konsumsi terus meningkat, sangat mungkin subsidi energi melesat di atas Rp 300 triliun. Subsidi
energi akan
menyita
paling tidak
30 persen
dari total pengeluaran pemerintah pusat. Apa implikasinya?
Pertama, pada
keseimbangan primer fiskal yang pada
2012 sudah mengalami defisit Rp 45,5 triliun. Defisit keseimbangan primer
berarti pengeluaran pemerintah sudah melebihi pendapatan sehingga pembayaran cicilan utang
harus dibiayai dari penarikan utang baru. Karena itu, ada persoalan kesinambungan fiskal yang sering jadi
acuan investor melihat sehat tidaknya perekonomian sebuah negara.
Kedua, implikasi pada keseimbangan eksternal akibat meningkatnya impor BBM yang
membebani
neraca perdagangan. Selain itu,
peningkatan konsumsi juga menaikkan permintaan dollar
AS. Itulah mengapa
PT Pertamina diminta
tidak mencari valuta asing di pasar, melainkan langsung ke
Bank
Indonesia, untuk keperluan impor BBM. Jika
langsung mengambil dari pasar
akan mengganggu pasokan dan
berpotensi menimbulkan fluktuasi harga. Sampai kapan kita mampu bertahan menghadapi lonjakan konsumsi BBM yang
dibarengi dengan meningkatnya tekanan pada fiskal dan neraca perdagangan? Selain akan
menimbulkan instabilitas dalam jangka pendek, beban subsidi juga akan meningkatkan dampak jangka panjang. Besarnya beban subsidi merupakan mis-alokasi anggaran yang mengurangi proporsi belanja modal. Sementara kita tahu, saat ini hal
paling penting yang kita
butuhkan dalam masa booming
ekonomi adalah melakukan transformasi ekonomi guna meningkatkan produktivitas dan daya
saing.
Meski stabilitas makro kita baik
dan pertumbuhan ekonomi tinggi, sejatinya kemampuan bersaing kita masih relative rendah. Indeks daya saing Indonesia 2012-2013 ada
di peringkat ke-50 dari 144 negara. Sementara indeks pembangunan manusia masih di peringkat ke-121 dari 185 negara yang disurvei. Semuanya menunjukkan, masih begitu banyak
pekerjaan yang harus dilakukan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
ini.
Apakah mengurangi subsidi BBM merupakan jalan pintas?
Kenaikan
harga BBM hanya akan mendapatkan legitimasi jika dibarengi dengan beberapa
hal. Pertama, mitigasi persoalan jangka
pendek yang ditimbulkan oleh kenaikan harga bahan pokok. Apa
pun alasannya, hal itu pasti berdampak negatif terhadap
penduduk miskin atau hampir miskin. Kedua, dalam jangka menengah harus ada
kepastian terjadinya pengalihan subsidi tersebut ke pos belanja
modal sehingga lebih banyak lagi pembangunan infrastruktur yang
dibiayai pemerintah.
Setiap pembangunan infrastruktur selalu membutuhkan pasokan tenaga kerja, terutama buruh,
dalam jumlah besar. Akibatnya, pembangunan infrastruktur, selain akan meningkatkan sistem logistic nasional, juga menyerap tenaga kerja.
Sayangnya, birokrasi pemerintah gagal menunjukkan kinerja penyerapan belanja modal.
Setiap
tahun rata-rata hanya terserap kurang dari 85 persen dari alokasi. Ketiga, kenaikan harga BBM hanya bisa diterima oleh masyarakat (memiliki legitimasi) jika dilakukan pemerintah
yang bersih dari korupsi. Spanduk demonstran di Nigeria menunjukkan dengan baik, rakyat tidak akan pernah
terima
kenaikan harga BBM di
tengah-tengah kasus korupsi. Pemberantasan korupsi memang tidak bisa sekali jadi. Sementara kenaikan harga harus dilakukan secepatnya. Tidak
mungkin kenaikan harga menunggu sampai prospek pemberantasan korupsi membaik. Meski begitu, komitmen yang kuat
tetap bisa dirasakan dengan baik. Bagaimana mungkin kenaikan harga BBM dilakukan di tengah banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan orang-orang penting, baik di pemerintahan maupun partai
politik?
Jadi, kenaikan harga BBM hanya mungkin dilakukan dengan melakukan dua hal pokok. Pertama, pembenahan birokrasi agar
terjadi peningkatan penyerapan belanja
modal sehingga lebih
banyak lapangan kerja tercipta, selain
peningkatan kualitas infrastruktur secara
signifikan.
Kedua, pembenahan
korupsi dilakukan
secara proaktif dan sistematis, tidak sekadar reaktif terhadap respons Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketidakberanian mengambil pilihan menaikkan harga BBM sama
halnya menghindarkan
diri dari
bekerja keras karena kenaikan harga
BBM membutuhkan prasyarat paling rumit.
Tidak
benar
kenaikan harga BBM adalah cara termudah menyelesaikan masalah.
A
Prasetyantoko Dekan
Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment