Friday, August 2, 2013

Prasyarat Kenaikan Harga BBM

Kompas, Senin, 18 Maret 2013


 A.  PRASETYANTOKO


Di antara kerumunan demonstran, muncul  spanduberbunyi”potonglah korupsi bukan subsidi. Demikian salah satu gugatan di tengah gelombang demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak  dNigeria, Januari  2012.Jantung dari kebijakapublik   adalah legitimasi. Tanpa legitimasi, kebijakapublik  tak berarti apa-apa. Dan, korupsi telah menggerogotdengan  begitu  ganas legitimasi kebijakan publik. Hari-hari ini, pemerintah kita juga tengah berpikir keras memecahkan dilema subsidbahan  bakar  minyak  (BBM). Benarkah menaikkan harga BBM menjadi pilihan paling mudah dibandingkan dengan opsi lain, seperti penggunaan kartu pintar, pembatasan terbatas, atau zonasi? Atau, jangan-jangan  kerumitaitu justru menjadi alat berlindung dari substansi persoalan sebenarny agar   kelihata bekerj keras penuh kerumitan, padahal sebenarnya tak melakukan  hamendasar  atau  much  ado about nothing!
Harus diakui, kenaikaharga BBM tak semata-mata persoalan ekonomi, tetapi juga politik.  Darsisi ekonomi, pemberian subsidsemakin  sulit dipertanggungjawabkanPertama, peningkatan konsumsi terus menekan kuota BBM. Pada 2012, realisasi konsumsi Premium sebesar 28,24 juta kiloliter (kl), padahakuotanya  27,84  juta kl. Konsumsi Premium Januari 2013 dibandingkan Januari 2012 naik 7,5 persen. Sementara konsumsi solar  naik  5  persen  pada  periode  sama. Meski  lonjakan  konsumsBBM  tak selalu berarti      buruk      karena      menunjukkan
peningkatan aktivitas ekonomi, tetap saja menimbulkan risiko, baik jangka pendek maupun panjang.
Kedua, kenaikan konsumsi BBM meningkatkan  anggaran  subsiddan kemudian deficit anggaran. Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran subsidi energi sebesar Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM R193,8  triliun dan  subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Jika konsumsi terus meningkat, sangat mungkin subsidi energi melesat di atas Rp 300 triliun. Subsidi energi akan  menyita  paling  tidak  3persen  dari total pengeluaran pemerintah pusat. Apa implikasinya?
Pertama, pada keseimbangan primer fiskal yang pada 2012 sudah mengalami defisit Rp 45,5 triliun. Defisit keseimbangan primer berarti pengeluaran pemerintah sudah melebihi pendapatan sehingga pembayaran cicilan utang harus dibiayai dari penarikan utang baru. Karena itu, ada persoalan kesinambungan fiskal yang sering jadi acuan investor  melihat  sehatidaknya perekonomian sebuah negara.
Kedua, implikasi pada keseimbangan eksternal akibat meningkatnya impor BBM yang  membebani  neracperdagangan. Selain itu, peningkatan konsumsi juga menaikkan permintaan dollar AS. Itulah mengapa  PT  Pertamindiminta  tidak mencari valuta asing di pasar, melainkan langsung  ke  Bank  Indonesiauntuk keperluan impor BBM. Jika langsung mengambil dari pasar akan mengganggu pasokan dan berpotensi menimbulkan fluktuasi harga. Sampai kapan kita mampu bertahan menghadapi lonjakan konsumsi BBM yang dibarengi dengan meningkatnya tekanan  padfiskal  dan  neraca perdagangan? Selain akan menimbulkan instabilitas dalam jangka pendek, beban subsidi juga akan meningkatkan dampak jangka panjang. Besarnya beban subsidi merupakan mis-alokasi anggaran yang mengurangi proporsi belanja modal. Sementara kita tahu, saat ini hal paling penting yang kita butuhkan dalam masa booming ekonomi adalah melakukan transformasi ekonomi guna meningkatkan produktivitas  dadaya  saing.  Meski stabilitas makro kita baik dan pertumbuhan ekonomi tinggi, sejatinya kemampuan bersaing kita masih relative rendah. Indeks daya saing Indonesia 2012-2013 ada di peringkat ke-50 dari 144 negara. Sementara indeks pembangunan manusia masih di peringkat ke-121 dari 185 negara yang disurvei. Semuanya menunjukkan, masih begitu  banyak  pekerjaan  yanharus dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini.
Apakah mengurangi subsidi BBM merupakan   jalan  pintas?  Kenaikan  harga BBM  hanyakan  mendapatkan  legitimasi jika dibarengi dengan beberapa hal. Pertama, mitigasi persoalan jangka pendek yang ditimbulka ole kenaika harga   bahan pokok. Apa pun alasannya, hal itu pasti berdampak  negatiterhadap  penduduk miskin atau hampir miskin. Kedua, dalam jangka menengah harus ada kepastian terjadinya pengalihan subsidi tersebut ke pos belanja modal sehingga lebih banyak lagi pembangunan infrastruktur yang dibiayai pemerintah.  Setiapembangunan infrastruktur selalu membutuhkan pasokan tenaga kerja, terutama buruh, dalam jumlah besar.  Akibatnyapembangunan infrastrukturselain  akan  meningkatkan siste logisti nasional juga   menyerap tenaga      kerja. Sayangnya, birokrasi pemerintah gagal menunjukkan kinerja penyerapa belanj modal.  
Setia tahun rata-rat hany tersera kuran dari   85 persen dari alokasi. Ketiga, kenaikan harga BBM hanya bisa diterima oleh masyarakat (memiliki legitimasi) jika dilakukapemerintah  yang bersih dari korupsi. Spanduk demonstran di Nigeria menunjukkan dengan baik, rakyat tidak  akapernah  terima  kenaikan  harga BBM di tengah-tengah kasus korupsi. Pemberantasan korupsi memang tidak bisa sekali jadi. Sementara kenaikan harga harus dilakukan secepatnya. Tidak mungkin kenaikan harga menunggu sampai prospek pemberantasan korupsi membaik. Meski begitu, komitmen yang kuat tetap bisa dirasakan dengan baik. Bagaimana mungkin kenaikan harga BBM dilakukan di tengah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan orang-oranpenting, baik di pemerintahan maupun partai politik?
Jadi, kenaikan harga BBM hanya mungkin dilakukan dengan melakukan dua hal pokok. Pertama, pembenahan birokrasi agar terjadi peningkatan penyerapan belanja modal sehingglebih  banyak  lapangan  kerja tercipta, selain peningkatan kualitas infrastruktur secara signifikan. Kedua, pembenahan  korupsdilakukan  secara proaktif dan sistematis, tidak sekadar reaktif terhadap respons Komisi Pemberantasan Korupsi.   Ketidakberania mengambil pilihan menaikkan harga BBM sama halnya menghindarkan    dir dari   bekerj keras karena kenaikan harga BBM membutuhkan prasyarat paling rumit. Tidak benar kenaikan harga BBM adalah cara termudah menyelesaikan masalah.


A Prasetyantoko Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta

No comments:

Post a Comment