Friday, August 2, 2013

Perbankan Menghadapi Tahun Ketidakpastian

Infobank; 21 February 2012

A Prasetyantoko



Tahun 2012 adalah tahun ketidakpastian. Betapa tidak, berbagai perkembangan, terutama di kawasan Uni Eropa, sulit diprediksi arahnya. Akibatnya, skenario pertumbuhan global pun terus mengalami revisi. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) terakhir merevisi proyeksi pertumbuhan global 2012 menjadi di bawah 4%, setelah revisi dari 4,5% menjadi 4,3%. IMF sudah merevisi proyeksi pertumbuhan global 2012 sebanyak dua kali dan masih sangat mungkin terjadi revisi kembali. Skenario IMF itu tergolong optimistis karena berbagai skenario pertumbuhan lain cenderung lebih kecil. Morgan Stanley, misalnya, telah mengoreksi perkiraan pertumbuhan global 2012 beberapa kali, yaitu dari 4,5% menjadi 3,8% dan terakhir 3,5%. Bagaimana dengan skenario pertumbuhan Indonesia pada 2012? Mengikuti irama global, aroma ketidakpastian masih sangat terasa. Menurut skenario terbaru versi Asian Development Bank (ADB), Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh 6,5% pada 2012 atau turun 0,3% dari proyeksi sebelumnya 6,8%.
Perkiraan ini masih lebih baik daripada proyeksi Bank Indonesia (BI) yang hanya menaksir pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,3%, turun dari 6,5%. Sementara, pemerintah masih gamang dengan terus mencoba bertahan dengan perkiraan pertumbuhan 6,5%-6,7%. Bank Dunia membuat beberapa skenario mengenai proyeksi global dan Indonesia. Asumsi bahwa kawasan Uni Eropa akan segera bisa menyelesaikan persoalan mereka jelas tidak bias dipertahankan. Bank Dunia menyebut, paling kurang akan terjadi risiko berlanjutnya kekacauan ekonomi (continuing turmoil). Jika skenario ini yang terjadi, Indonesia masih bisa tumbuh 6,3% pada 2012. Skenario tersebut ditandai dengan guncangan-guncangan di pasar keuangan, baik di pasar saham, obligasi, maupun pasar uang.
Skenario kedua versi Bank Dunia dinamakan major financial crisis. Artinya, perkembangan di Eropa dan Amerika Serikat (AS) mengarah pada skenario resesi global. Dalam skenario ini Indonesia masih akan tumbuh 5,5%. Skenario terakhir dinamakan severe global slowdown, ditandai dengan melemahnya perekonomian China dan India. Jika skenario ini yang terjadi, Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,1%. Hal itu mengingat sebagian besar ekspor kita ke China dan India juga akan melambat. Bagaimana peran perbankan dalam situasi penuh ketidakpastian tersebut? Inilah pertanyaan yang menarik untuk dijawab, mengingat perbankan mengalami paradoks yang cukup sulit dipecahkan. Perbankan di Indonesia tergolong sebagai sektor yang paling menguntungkan, tapi intermediasi masih tergolong rendah, sedangkan efisiensinya masih perlu ditingkatkan.
Paradoks
Pada dasarnya, prospek perbankan pada 2012 akan mengikuti irama pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula penyaluran kredit sehingga profitabilitasnya juga diharapkan meningkat. Jadi, kian besar koreksi pertumbuhan ekonomi, kian besar pula potensi lunturnya laba. Benarkah? Memang cukup beralasan jika dikatakan prospek industri perbankan merupakan turunan dari prospek makro. Namun, jangan lupa setiap industri memiliki dinamika masing-masing. Penelitian kami bersama profesor dari Harvard University, Jay Rosengard, yang diterbitkan di Asian Economic Policy Review (Vol. 6/No. 2, Desember 2011) menunjukkan adanya ketegangan yang cukup dilematis pada perbankan di Indonesia, yaitu antara dinamika makro, level industri, dan level individu perusahaan.
Artikel kami yang berjudul “If the Banks are Doing So Well, Why Can’t I Get a Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia” mencoba menunjukkan kontradiksi- ontradiksi yang terjadi pada dunia perbankan nasional. Sebagaimana sering dikatakan dalam banyak kesempatan, perbankan di Indonesia termasuk yang tingkat keuntungannya paling tinggi setidaknya di kawasan Asia. Rata-rata net interest margin (NIM) perbankan nasional berada di kisaran 6%. Bandingkan dengan Singapura yang berkisar 1,8%, sedangkan Malaysia 3% dan Thailand 3,4%. Di lain sisi, tingkat efisiensinya masing tergolong rendah. Rata-rata rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) masih berada di kisaran 70%-80%. Data BI menunjukkan bahwa BO/PO perbankan kita Oktober 2011 sebesar 86,4%. Bandingkan dengan BO/PO perbankan negara-negara ASEAN lain yang umumnya berada di kisaran 40%-0%.
Kontribusinya terhadap perekonomian juga masih relatif rendah. Jika di Thailand, rasio kredit perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa mencapai 116%, Malaysia sekitar 114%, Singapura 102%, dan Korea Selatan mencapai 100%, Indonesia masih di kisaran 30%. Jangan bandingkan dengan China yang sudah mencapai 131%. Dengan adanya data-data tersebut, kesimpulan besar tentang perbankan di Indonesia yang menguntungkan, tetapi tidak efisien dan kurang berperan dalam intermediasi, cukup solid. Tampaknya kesimpulan ini yang membuat BI lebih proaktif melakukan berbagai pengaturan terhadap industri perbankan. Intinya, perbankan diminta lebih berpartisipasi dalam fungsi intermediasi dengan cara menurunkan suku bunga kredit.
Penelitian kami menyebutkan, peran regulasi menjadi sangat penting dalam menyeimbangkan perkembangan asimetris tentang kondisi perbankan di Indonesia. Karena itulah, diperlukan beberapa langkah berikut. Pertama, harus disadari bersama, industri perbankan di mana pun merupakan sektor yang paling banyak mengandung peraturan (highly regulated). Sebagai perbandingan, di AS akhir-akhir ini ada upaya untuk membatasi gaji eksekutif perbankan supaya tidak terjadi perilaku moral hazard yang membahayakan bank itu sendiri, industri keuangan, dan stabilitas makro. Kedua, perlu dibalik logikanya, bukan lagi perbankan adalah fungsi dari dinamika makro. Sebaliknya, perbankan berperan penting dalam mendukung dinamika makro.
Dari perspektif negatif (perbankan sebagai “akibat” dari dinamika makro), menjadi positif perbankan sebagai “sebab” dinamika makro. Apalagi, menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian serta kelesuan yang mungkin akan terjadi cukup parah akibat krisis global. Situasi tersebut bisa jadi merupakan momentum untuk mendorong agar perbankan lebih efisien dan lebih berperan dalam fungsi intermediasi. Sehingga, meskipun dihadapkan pada prospek yang lebih buruk, bukan berarti “kinerjanya” akan lebih buruk.
Stimulus
Sebagaimana dikemukakan di depan, apa pun alasannya, perekonomian global akan melemah dan karena itu tidak bisa tidak perekonomian Indonesia akan terkena dampak negatifnya. Pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan counter cycle yang dirancang pemerintah untuk menghadapi situasi tersebut? Pertama, skenario fiskal. Bagaimana pemerintah merancang sistem stabilisasi pasar keuangan dan surat utang. Kebijakan soal Bond Stabilization Framework (BSF) dengan menggunakan sisa anggaran lebih (SAL) merupakan salah satu bagian penting. Sedangkan, stimulus baik langsung (bantuan langsung tunai atau BLT) maupun tidak langsung (pengurangan pajak) sudah disiapkan dalam rangka mengantisipasi perlambatan ekonomi pada 2012.
Kedua, skenario moneter. Selain bertumpu pada stabilisasi nilai tukar melalui operasi pasar oleh BI, penurunan suku bunga kredit tentunya menjadi bagian penting. Semakin kecil bunga kredit, semakin kecil pula beban dunia usaha sehingga bisa menjadi semacam “pelampung” untuk menghadapi perlambatan ekonomi. Masalahnya,transmisi moneter tidak selalu berjalan baik. Meskipun BI Rate sudah diturunkan menjadi 6%, masih saja suku bunga kredit perbankan tidak bereaksi secara signifikan. Memang ada penurunan suku bunga kredit, tetapi hanya beberapa basis poin. Idealnya, jarak antara BI Rate dan suku bunga kredit tidak lebih dari 3%-4%. Dengan demikian, jika transmisi moneter berjalan baik, suku bunga kredit dapat ditekan di bawah 10%.
Tentunya hal ini merupakan tantangan penting. Selain harus “bertanggung jawab” terhadap kondisi makro, para bankir harus memberikan pertanggungjawabannya kepada pemilik modal yang secara alamiah menghendaki keuntungan tinggi. Di situlah peran regulator diuji, yakni bagaimana kemampuan mereka melakukan keseimbangan antarberbagai kepentingan, tanpa menyakiti terlalu dalam masing-masing pihak. (*)
A Prasetyantoko; Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, Jakarta.



No comments:

Post a Comment