Infobank; 21 February 2012
A Prasetyantoko
Tahun 2012 adalah tahun
ketidakpastian. Betapa tidak, berbagai perkembangan, terutama di kawasan Uni
Eropa, sulit diprediksi arahnya. Akibatnya, skenario pertumbuhan global pun terus
mengalami revisi. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau
IMF) terakhir merevisi proyeksi pertumbuhan global 2012 menjadi di bawah 4%,
setelah revisi dari 4,5% menjadi 4,3%. IMF sudah merevisi proyeksi pertumbuhan
global 2012 sebanyak dua kali dan masih sangat mungkin terjadi revisi kembali. Skenario
IMF itu tergolong optimistis karena berbagai skenario pertumbuhan lain
cenderung lebih kecil. Morgan Stanley, misalnya, telah mengoreksi perkiraan
pertumbuhan global 2012 beberapa kali, yaitu dari 4,5% menjadi 3,8% dan
terakhir 3,5%. Bagaimana dengan skenario pertumbuhan Indonesia pada 2012? Mengikuti
irama global, aroma ketidakpastian masih sangat terasa. Menurut skenario
terbaru versi Asian Development Bank (ADB), Indonesia diperkirakan masih akan
tumbuh 6,5% pada 2012 atau turun 0,3% dari proyeksi sebelumnya 6,8%.
Perkiraan ini masih lebih baik
daripada proyeksi Bank Indonesia (BI) yang hanya menaksir pertumbuhan ekonomi
2012 sebesar 6,3%, turun dari 6,5%. Sementara, pemerintah masih gamang dengan
terus mencoba bertahan dengan perkiraan pertumbuhan 6,5%-6,7%. Bank Dunia
membuat beberapa skenario mengenai proyeksi global dan Indonesia. Asumsi bahwa kawasan
Uni Eropa akan segera bisa menyelesaikan persoalan mereka jelas tidak bias dipertahankan.
Bank Dunia menyebut, paling kurang akan terjadi risiko berlanjutnya kekacauan ekonomi
(continuing turmoil). Jika skenario ini yang terjadi, Indonesia masih
bisa tumbuh 6,3% pada 2012. Skenario tersebut ditandai dengan
guncangan-guncangan di pasar keuangan, baik di pasar saham, obligasi, maupun
pasar uang.
Skenario kedua versi Bank
Dunia dinamakan major financial crisis. Artinya, perkembangan di Eropa dan
Amerika Serikat (AS) mengarah pada skenario resesi global. Dalam skenario ini
Indonesia masih akan tumbuh 5,5%. Skenario terakhir dinamakan severe global
slowdown, ditandai dengan melemahnya perekonomian China dan India. Jika
skenario ini yang terjadi, Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,1%. Hal itu
mengingat sebagian besar ekspor kita ke China dan India juga akan melambat. Bagaimana
peran perbankan dalam situasi penuh ketidakpastian tersebut? Inilah pertanyaan
yang menarik untuk dijawab, mengingat perbankan mengalami paradoks yang cukup
sulit dipecahkan. Perbankan di Indonesia tergolong sebagai sektor yang paling
menguntungkan, tapi intermediasi masih tergolong rendah, sedangkan efisiensinya
masih perlu ditingkatkan.
Paradoks
Pada dasarnya, prospek
perbankan pada 2012 akan mengikuti irama pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula penyaluran kredit sehingga profitabilitasnya
juga diharapkan meningkat. Jadi, kian besar koreksi pertumbuhan ekonomi, kian
besar pula potensi lunturnya laba. Benarkah? Memang cukup beralasan jika
dikatakan prospek industri perbankan merupakan turunan dari prospek makro.
Namun, jangan lupa setiap industri memiliki dinamika masing-masing. Penelitian
kami bersama profesor dari Harvard University, Jay Rosengard, yang diterbitkan
di Asian Economic Policy Review (Vol. 6/No. 2, Desember 2011) menunjukkan adanya
ketegangan yang cukup dilematis pada perbankan di Indonesia, yaitu antara
dinamika makro, level industri, dan level individu perusahaan.
Artikel kami yang berjudul “If
the Banks are Doing So Well, Why Can’t I Get a Loan? Regulatory Constraints to
Financial Inclusion in Indonesia” mencoba menunjukkan kontradiksi- ontradiksi
yang terjadi pada dunia perbankan nasional. Sebagaimana sering dikatakan dalam banyak
kesempatan, perbankan di Indonesia termasuk yang tingkat keuntungannya paling
tinggi setidaknya di kawasan Asia. Rata-rata net interest margin (NIM)
perbankan nasional berada di kisaran 6%. Bandingkan dengan Singapura yang
berkisar 1,8%, sedangkan Malaysia 3% dan Thailand 3,4%. Di lain sisi, tingkat
efisiensinya masing tergolong rendah. Rata-rata rasio biaya operasional
terhadap pendapatan operasional (BO/PO) masih berada di kisaran 70%-80%. Data BI
menunjukkan bahwa BO/PO perbankan kita Oktober 2011 sebesar 86,4%. Bandingkan dengan
BO/PO perbankan negara-negara ASEAN lain yang umumnya berada di kisaran 40%-0%.
Kontribusinya terhadap perekonomian
juga masih relatif rendah. Jika di Thailand, rasio kredit perbankan terhadap
produk domestik bruto (PDB) bisa mencapai 116%, Malaysia sekitar 114%,
Singapura 102%, dan Korea Selatan mencapai 100%, Indonesia masih di kisaran
30%. Jangan bandingkan dengan China yang sudah mencapai 131%. Dengan adanya
data-data tersebut, kesimpulan besar tentang perbankan di Indonesia yang
menguntungkan, tetapi tidak efisien dan kurang berperan dalam intermediasi,
cukup solid. Tampaknya kesimpulan ini yang membuat BI lebih proaktif melakukan
berbagai pengaturan terhadap industri perbankan. Intinya, perbankan diminta
lebih berpartisipasi dalam fungsi intermediasi dengan cara menurunkan suku bunga
kredit.
Penelitian kami menyebutkan,
peran regulasi menjadi sangat penting dalam menyeimbangkan perkembangan
asimetris tentang kondisi perbankan di Indonesia. Karena itulah, diperlukan
beberapa langkah berikut. Pertama, harus disadari bersama, industri perbankan di
mana pun merupakan sektor yang paling banyak mengandung peraturan (highly
regulated). Sebagai perbandingan, di AS akhir-akhir ini ada upaya untuk
membatasi gaji eksekutif perbankan supaya tidak terjadi perilaku moral
hazard yang membahayakan bank itu sendiri, industri keuangan, dan
stabilitas makro. Kedua, perlu dibalik logikanya, bukan lagi perbankan adalah
fungsi dari dinamika makro. Sebaliknya, perbankan berperan penting dalam
mendukung dinamika makro.
Dari perspektif negatif
(perbankan sebagai “akibat” dari dinamika makro), menjadi positif perbankan
sebagai “sebab” dinamika makro. Apalagi, menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian
serta kelesuan yang mungkin akan terjadi cukup parah akibat krisis global. Situasi
tersebut bisa jadi merupakan momentum untuk mendorong agar perbankan lebih
efisien dan lebih berperan dalam fungsi intermediasi. Sehingga, meskipun
dihadapkan pada prospek yang lebih buruk, bukan berarti “kinerjanya” akan lebih
buruk.
Stimulus
Sebagaimana dikemukakan di
depan, apa pun alasannya, perekonomian global akan melemah dan karena itu tidak
bisa tidak perekonomian Indonesia akan terkena dampak negatifnya. Pertanyaannya
adalah bagaimana kebijakan counter cycle yang dirancang pemerintah untuk
menghadapi situasi tersebut? Pertama, skenario fiskal. Bagaimana pemerintah merancang
sistem stabilisasi pasar keuangan dan surat utang. Kebijakan soal Bond
Stabilization Framework (BSF) dengan menggunakan sisa anggaran lebih (SAL)
merupakan salah satu bagian penting. Sedangkan, stimulus baik langsung (bantuan
langsung tunai atau BLT) maupun tidak langsung (pengurangan pajak) sudah
disiapkan dalam rangka mengantisipasi perlambatan ekonomi pada 2012.
Kedua, skenario moneter.
Selain bertumpu pada stabilisasi nilai tukar melalui operasi pasar oleh BI,
penurunan suku bunga kredit tentunya menjadi bagian penting. Semakin kecil bunga
kredit, semakin kecil pula beban dunia usaha sehingga bisa menjadi semacam “pelampung”
untuk menghadapi perlambatan ekonomi. Masalahnya,transmisi moneter tidak selalu
berjalan baik. Meskipun BI Rate sudah diturunkan menjadi 6%, masih saja suku
bunga kredit perbankan tidak bereaksi secara signifikan. Memang ada penurunan
suku bunga kredit, tetapi hanya beberapa basis poin. Idealnya, jarak antara BI
Rate dan suku bunga kredit tidak lebih dari 3%-4%. Dengan demikian, jika
transmisi moneter berjalan baik, suku bunga kredit dapat ditekan di bawah 10%.
Tentunya hal ini merupakan
tantangan penting. Selain harus “bertanggung jawab” terhadap kondisi makro,
para bankir harus memberikan pertanggungjawabannya kepada pemilik modal yang
secara alamiah menghendaki keuntungan tinggi. Di situlah peran regulator diuji,
yakni bagaimana kemampuan mereka melakukan keseimbangan antarberbagai
kepentingan, tanpa menyakiti terlalu dalam masing-masing pihak. (*)
A Prasetyantoko; Penulis adalah Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, Jakarta.
No comments:
Post a Comment