Kompas,
Sabtu, 16 Februari 2013
Elisabeth Rukmini
Artikel Satryo
Soemantri Brodjonegoro di Kompas (2/2) menyoroti perlunya pemerintah melakukan
reformasi system keuangan negara berkaitan dengan pendidikan dan riset yang berbasis
pada capaian kinerja. Komponen yang diusulkan penulis itu sangatlah jelas,
yakni capaian kinerja. Sementara itu, di tingkat makro perlu dilakukan
reformasi sistem keuangan, tetapi di tingkat aturan pendukung pengukuran
capaian kinerja dosen justru terus berubah. Kerap kali perubahan ini blunder
bagi dosen dan perguruan tinggi. Draf Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi mengenai Jabatan Akademik Dosen (versi revisi
19-21 Oktober 2012) telah beredar luas via internet. Pada Pasal 4, jabatan akademik
lektor kepala (LK) dan professor harus dengan ijazah doktor. Peraturan terdahulu
mensyaratkan S-2 dapat mengajukan kepangkatan LK. Dampak dari penyusunan draf
ini, beredar pula surat edaran Dikti mengenai penutupan sementara penilaian
jabatan akademik LK hingga Maret 2013.
Rencana perubahan itu tentu
dilatari maksud baik agar dosen Indonesia makin berkualitas. Namun, perlu
diperhatikan dampak perubahan itu. Misalnya, dalam peraturan Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi, penilaian akreditasi institusi salah satunya adalah banyaknya
dosen LK ke atas. Jika draf di atas diimplementasikan per 2013, akan banyak perguruan
tinggi yang kesulitan sebab jabatan akademik dosennya tidak bisa diajukan
sebagai LK (dosen yang sudah cukup nilainya itu belum S-3). Sementara itu,
untuk studi S-3 sedikitnya dibutuhkan empat tahun. Akreditasi institusi
”dirugikan”.
Selain itu, ada prasyarat
hibah-hibah penelitian atau program nasional untuk dikepalai LK. Dengan
demikian, institusi yang tertunda pengajuan LK para dosennya juga kalah saing
dan akan gagal sebelum bersaing. Sementara itu, persaingan penerima hibah juga
akan berkurang dan ini berarti mutu proposal tidak menjadi lebih baik. Dengan
kata lain, 4-8 tahun ke depan kenaikan LK akan melambat sehingga kenaikan
jabatan akademik profesor akan lebih melambat. Jika demikian, tidakkah niat
pemerintah menaikkan mutu pendidikan tinggi dan kuantitas dosen berkualitas
juga melambat? Berita di Kompas, 8 Februari 2013 (halaman 12), menyebutkan akan
dibatasinya beasiswa untuk program S-3 karena kurang seriusnya penyelenggara
program doctor di Indonesia menekankan soal publikasi ilmiah. Kembali pada niat
draf PP di atas, bukankah berita ini juga menyentak para dosen kita?
Lebih sulit .
Begitu rumit berkarier sebagai
dosen di Indonesia. Jika beasiswa S-3 dibatasi, makin sedikit kenaikan dosen
S-3 di negeri ini. Jika S-3 sedikit, makin sedikit pula LK berdasarkan peraturan
draf PP di atas. Jika LK makin sedikit, makin sedikit poin penilaian akreditasi
institusi, makin sedikit pula yang dapat berkarya dengan hibah nasional atau
hibah lainnya. Pada akhirnya tujuan baik pemerintah barangkali akan jauh lebih
sulit dicapai daripada dengan peraturan saat ini, yakni LK dapat diperoleh
dosen S-2. Apakah ada linearitas antara gelar dan karya? Rekrutmen dosen S-2
saja jelas tidak mudah di Indonesia, hanya 10-20 persen dari lulusan S-1 kita
yang melanjut ke S-2. Lulusan S-2 belum tentu menjadi dosen. Apalagi, jika tahu
demikian rumit dan sulit berkarier sebagai dosen, termasuk jika membandingkan
pendapatan bersih per bulan dengan profesi lain yang berlatar pendidikan sama.
Jika draf PP di atas disahkan,
untuk LK yang setara dengan manajer, dia harus studi lanjut minimal empat tahun
untuk S-3. Sementara rekan kerjanya yang sesama S-2 sudah jadi manajer, bahkan
berkarier hingga manajer jenderal. Artinya, padanan karier dosen yang S-3 dengan
LK disetarakan dengan S-2 di luar dunia pendidikan yang untuk berkarier,
”hanya” diperlukan karya profesional (capaian kinerja). Jika prasyarat S-3
harus terpenuhi untuk menjadi LK, ada ketimpangan rumit dalam karier dosen
dibanding profesi lain. Kebutuhan Indonesia adalah dosen-dosen yang profesional,
mempunyai capaian kinerja, dan berkarya dengan hati, passionate. Bahwa studi
S-3 diperlukan bagi dosen, jelas tak dapat dimungkiri, tetapi bersamaan dengan
itu juga masih dibutuhkan kuantitas yang tak sedikit di penjuru kepulauan untuk
berkarya. Manakah yang lebih prioritas saat ini? Dasar penentuan jenjang karier
pada gelar (S-3) atau capaian kinerja?
Insentif berikut jenjang
karier berdasarkan karya jelas lebih diperlukan dosen dan institusi perguruan
tinggi di Indonesia. Jika insentif dan jenjang karier tersebut menarik bagi lulusan
S-2 kita, tentulah capaian kinerja mereka akhirnya juga akan terencanakan untuk
dilanjutkan pada studi S-3. Dalam waktu lima hingga 10 tahun ini tetapkan
prioritas pada karya dan penghargaan atas karya profesional (baca: capaian
kinerja) dosen.
Elisabeth
Rukmini: Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
No comments:
Post a Comment