Friday, August 2, 2013

Rumitnya Jenjang Karier Dosen

 

Kompas, Sabtu, 16 Februari 2013

 

Elisabeth Rukmini



Artikel Satryo Soemantri Brodjonegoro di Kompas (2/2) menyoroti perlunya pemerintah melakukan reformasi system keuangan negara berkaitan dengan pendidikan dan riset yang berbasis pada capaian kinerja. Komponen yang diusulkan penulis itu sangatlah jelas, yakni capaian kinerja. Sementara itu, di tingkat makro perlu dilakukan reformasi sistem keuangan, tetapi di tingkat aturan pendukung pengukuran capaian kinerja dosen justru terus berubah. Kerap kali perubahan ini blunder bagi dosen dan perguruan tinggi. Draf Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengenai Jabatan Akademik Dosen (versi revisi 19-21 Oktober 2012) telah beredar luas via internet. Pada Pasal 4, jabatan akademik lektor kepala (LK) dan professor harus dengan ijazah doktor. Peraturan terdahulu mensyaratkan S-2 dapat mengajukan kepangkatan LK. Dampak dari penyusunan draf ini, beredar pula surat edaran Dikti mengenai penutupan sementara penilaian jabatan akademik LK hingga Maret 2013.
Rencana perubahan itu tentu dilatari maksud baik agar dosen Indonesia makin berkualitas. Namun, perlu diperhatikan dampak perubahan itu. Misalnya, dalam peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, penilaian akreditasi institusi salah satunya adalah banyaknya dosen LK ke atas. Jika draf di atas diimplementasikan per 2013, akan banyak perguruan tinggi yang kesulitan sebab jabatan akademik dosennya tidak bisa diajukan sebagai LK (dosen yang sudah cukup nilainya itu belum S-3). Sementara itu, untuk studi S-3 sedikitnya dibutuhkan empat tahun. Akreditasi institusi ”dirugikan”.
Selain itu, ada prasyarat hibah-hibah penelitian atau program nasional untuk dikepalai LK. Dengan demikian, institusi yang tertunda pengajuan LK para dosennya juga kalah saing dan akan gagal sebelum bersaing. Sementara itu, persaingan penerima hibah juga akan berkurang dan ini berarti mutu proposal tidak menjadi lebih baik. Dengan kata lain, 4-8 tahun ke depan kenaikan LK akan melambat sehingga kenaikan jabatan akademik profesor akan lebih melambat. Jika demikian, tidakkah niat pemerintah menaikkan mutu pendidikan tinggi dan kuantitas dosen berkualitas juga melambat? Berita di Kompas, 8 Februari 2013 (halaman 12), menyebutkan akan dibatasinya beasiswa untuk program S-3 karena kurang seriusnya penyelenggara program doctor di Indonesia menekankan soal publikasi ilmiah. Kembali pada niat draf PP di atas, bukankah berita ini juga menyentak para dosen kita?
Lebih sulit .
Begitu rumit berkarier sebagai dosen di Indonesia. Jika beasiswa S-3 dibatasi, makin sedikit kenaikan dosen S-3 di negeri ini. Jika S-3 sedikit, makin sedikit pula LK berdasarkan peraturan draf PP di atas. Jika LK makin sedikit, makin sedikit poin penilaian akreditasi institusi, makin sedikit pula yang dapat berkarya dengan hibah nasional atau hibah lainnya. Pada akhirnya tujuan baik pemerintah barangkali akan jauh lebih sulit dicapai daripada dengan peraturan saat ini, yakni LK dapat diperoleh dosen S-2. Apakah ada linearitas antara gelar dan karya? Rekrutmen dosen S-2 saja jelas tidak mudah di Indonesia, hanya 10-20 persen dari lulusan S-1 kita yang melanjut ke S-2. Lulusan S-2 belum tentu menjadi dosen. Apalagi, jika tahu demikian rumit dan sulit berkarier sebagai dosen, termasuk jika membandingkan pendapatan bersih per bulan dengan profesi lain yang berlatar pendidikan sama.
Jika draf PP di atas disahkan, untuk LK yang setara dengan manajer, dia harus studi lanjut minimal empat tahun untuk S-3. Sementara rekan kerjanya yang sesama S-2 sudah jadi manajer, bahkan berkarier hingga manajer jenderal. Artinya, padanan karier dosen yang S-3 dengan LK disetarakan dengan S-2 di luar dunia pendidikan yang untuk berkarier, ”hanya” diperlukan karya profesional (capaian kinerja). Jika prasyarat S-3 harus terpenuhi untuk menjadi LK, ada ketimpangan rumit dalam karier dosen dibanding profesi lain. Kebutuhan Indonesia adalah dosen-dosen yang profesional, mempunyai capaian kinerja, dan berkarya dengan hati, passionate. Bahwa studi S-3 diperlukan bagi dosen, jelas tak dapat dimungkiri, tetapi bersamaan dengan itu juga masih dibutuhkan kuantitas yang tak sedikit di penjuru kepulauan untuk berkarya. Manakah yang lebih prioritas saat ini? Dasar penentuan jenjang karier pada gelar (S-3) atau capaian kinerja?
Insentif berikut jenjang karier berdasarkan karya jelas lebih diperlukan dosen dan institusi perguruan tinggi di Indonesia. Jika insentif dan jenjang karier tersebut menarik bagi lulusan S-2 kita, tentulah capaian kinerja mereka akhirnya juga akan terencanakan untuk dilanjutkan pada studi S-3. Dalam waktu lima hingga 10 tahun ini tetapkan prioritas pada karya dan penghargaan atas karya profesional (baca: capaian kinerja) dosen.
Elisabeth Rukmini: Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta





No comments:

Post a Comment