Selain regulasi kepemilikan yang
sangat terbuka, banyak hal yang membuat sektor perbankan Indonesia begitu
diminati investor asing. Tak perlukah kita melakukan restriksi atau regulasi
yang lebih ketat ketika pemberlakuan MEA sudah kian dekat?
infobanknews Volume 34 Thn 2012 No 397
A.
Prasetyantoko
Tak
terasa, kita sudah semakin dekat dengan tenggat waktu pelaksanaan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. Padahal,
tahun depan perhatian kita pasti akan tersedot pada Pemilihan Umum (Pemilu)
2014. Begitu pemerintahan baru terbentuk, mereka sudah harus menghadapi MEA.
Itu pun dengan catatan pemilu berlangsung aman. MEA dibentuk dengan visi ideal,
untuk menciptakan pasar tunggal kompetitif dengan prinsip kesetaraan (equality)
di antara negara anggota. Padahal, perbedaan karakteristik perekonomian
masing-masing negara cukup lebar.
Sementara, rujukan dari MEA,
yaitu Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sudah berlangsung cukup lama saja,
kini dirundung masalah pelik. Perbedaan kondisi makro-ekonomi masing-masing
negara telah membuat pasar tunggal Eropa nyaris sulit diselamatkan. Pertanyaannya
bagi kita, masih relevankah rencana MEA itu? Untuk saat ini, tak ada pilihan
lain. Mau tak mau kita harus mengikuti “AEC scorecard” yang sudah disusun
sambil menyiapkan diri untuk masuk ke dalam mekanisme pasar tunggal tersebut.
Semua sektor ekonomi akan terkena, mulai dari pasar barang, jasa, investasi,
keuangan, hingga pasar tenaga kerja terampil. Bagaimana prospek perbankan
Indonesia memasuki MEA 2015?
Sektor
Perbankan
Bisa jadi, sektor perbankan
kita sebenarnya paling siap menghadapi liberalisasi. Dalam arti, sekarang pun
sektor perbankan kita sudah sangat liberal. Studi Economic Research Institute for
ASEAN and East Asia (ERIA), dengan metode survei terhadap tingkat restriksi
perbankan di negara-negara ASEAN, menunjukkan fakta tersebut. Dari sederet
indikator yang digunakan, Indonesia memiliki skor lebih rendah dalam hal
tingkat restriksi perbankan dibandingkan dengan tingkat rata-rata untuk seluruh
negara ASEAN. Misalnya, restriksi dalam hal kepemilikan pihak asing. Sementara
rata-rata ASEAN sebesar 43, Indonesia skornya 1. Dalam hal regulasi terhadap pemilik
asing, skor Indonesia 33, sementara skor rata-ratanya 36.
Sebagaimana kita ketahui,
investor asing boleh memiliki 99% aset bank. Sulit menemukan aturan sebebas itu
di negara lain. Kita termasuk yang paling bebas. Hal tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1999. Pada Pasal 3 (PP tersebut) disebutkan,
”Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hokum asing
yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek
sebanyak- anyaknya adalah 99% dari jumlah saham yang bersangkutan”. Itulah
mengapa, pihak asing berbondong-bondong masuk ke sektor perbankan di Indonesia.
Hingga akhir 2011, lebih kurang 47 bank dikuasai pemilik asing dengan total
aset lebih dari Rp3.000 triliun. Atau, lebih dari 50% dari total aset perbankan
nasional telah dikuasai pihak asing.
Aturan kepemilikan hanyalah
satu hal. Masih ada hal lain yang membuat sector perbankan kita begitu
diminati. Satu, perbankan di Indonesia dikenal sebagai perbankan yang cukup
aman (prudent). Jika di banyak belahan negara lain sektor perbankan
menimbulkan banyak masalah, di Indonesia perbankan dikelola dengan sangat baik.
Kalaupun aturan Basel III segera diberlakukan, tingkat kecukupan likuiditas
bank-bank nasional yang rata-rata sebesar 18% tidak akan mengalami masalah
berarti. Dua, tingkat keuntungan sektor perbankan di Indonesia sangat
menggiurkan. Pada 2011 rasio pendapatan bunga bersih terhadap rata-rata aktiva tertimbang
atau net interest margin (NIM) mencapai tingkat tertinggi sejak 2005,
yakni berada di kisaran 6%. Padahal, negara-negara ASEAN lainnya berada di
kisaran 2%–4%. Siapa yang tak tergiur dengan tingkat profitabilitas yang
sedemikian besar?
Jika dilihat lebih jauh,
bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) mencatat kenaikan paling besar dalam
pencapaian NIM pada 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. NIM bank-bank
persero naik dari 6,11% pada 2010 menjadi 6,55% pada 2011. Ada peningkatan NIM sebesar
0,44%. Sementara itu, bank umum mengalami peningkatan NIM sebesar 0,18% dan
bankasing 0,08%. Laba bersih juga mengalami peningkatan pada 2011 dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Bank persero memimpin kenaikan laba dengan
peningkatan sebesar 43% pada 2011 terhadap 2010. Sementara, laba bersih
bank-bank asing naik 35% dan bank umumsebesar 31%. PT Bank Mandiri, Tbk.
sebagai bank terbesar dan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Tbk. memimpin dalam
hal perolehan laba. Jika Bank Mandiri didukung skala usahanya, sebagai bank
terbesar di Indonesia BRI ditopang kinerjanya di sektor mikro.
Tiga, prospek ekspansi
perbankan di Indonesia masih sangat luas. Data International Monetary Fund
(IMF) menunjukkan, rasio aset-aset lembaga perbankan (deposit-taking
institution) terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia baru
mencapai lebih kurang 48%. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 180%,
Filipina 78%, dan Thailand 137%. Sementara, menurut data Bank Dunia, baru
sekitar 60% penduduk Indonesia yang memiliki akses deposit ke perbankan. Jika
diukur dari akses kredit, nilainya lebih rendah lagi, yaitu sekitar 40%. Melihat
kondisi tersebut, sangat jelas bahwa potensi pasar di Indonesia masih sangat
terbuka luas. Dari ketiga faktor tersebut, tidak ada alasan bagi pihak asing
untuk tidak tertarik masuk ke Indonesia. Lalu, bagaimana jika MEA diberlakukan
pada 2015 mendatang? Sangat jelas, Indonesia akan menjadi pasar yang sedemikian
luas bagi pemain asing.
Regulasi
Melihat fakta-fakta tersebut,
satu pertanyaan yang segera muncul, tidak perlukah kita melakukan restriksi
atau regulasi yang lebih ketat terhadap sektor perbankan kita? Pada dasarnya,
sektor perbankan adalah sektor yang paling restriktif. Regulasinya begitu
ketat. Namun, harus disadari bahwa pemberlakuan MEA 2015 tentu membatasi
penggunaan restriksi dan regulasi. Bagaimana kita menyiasati hal tersebut? Apa
pun alasannya, kita perlu menghormati kesepakatan di tingkat ASEAN yang sudah
ditandatangani sejak lama. Meski begitu, kita harus mencari celah untuk tetap
melakukan restriksi dalam rangka melindungi kepentingan domestik. Satu, terkait
dengan kepemilikan, wacana yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) untuk
membatasi kepemilikan mayoritas perlu didudukkan dalam proporsinya.
Artinya, niat untuk mengurangi
dominasi kepemilikan, baik asing maupun domestik, tentu patut dihargai. Namun,
tetap harus memperhitungkan fakta empiris bahwa pihak asing menguasai lebih
dari 50% aset perbankan nasional. Perlu ada metode yang elegan untuk mencari jalan
tengah. Dua, soal prinsip resiprokal. Artinya, aturan yang diberlakukan pada Negara
setempat akan digunakan untuk bank-bank dari negara tersebut di Tanah Air.
Misalnya, di Singapura bank asing tidak boleh membuka ATMs, maka prinsip yang
sama juga perlu digunakan pada bank-bank Singapura di Indonesia.
Tiga, penerapan
“multiple licence”. Artinya, sebuah bank yang mengantongi izin membuka kantor
di Jakarta tidak serta-merta bisa membuka cabang di kota lain. Jika mereka ingin
melakukannya, harus melakukan prosedur perizinan lagi. Tidak otomatis seperti
sekarang. Pendeknya, perlu ada mekanisme yang berimbang antara memberi
kesempatan pada sector perbankan, baik pemilik asing maupun domestik, dengan
melindungi kepentingan domestik. Diera liberalisasi dan pemberlakuan mekanisme
pasar tunggal, kepentingan nasional tetap harus dikedepankan. Karena itu, perlu
dipikirkan format pasar tunggal macam apa yang sebenarnya cocok untuk
negara-negara ASEAN yang memang divergen tersebut. Kita perlu berkaca pada dinamika
Pasar Tunggal Eropa—ketika terjadi guncangan, mereka kembali pada kepentingan domestiknya
masing-masing. (*)
A.
Prasetyantoko: Penulis
adalah Ketua LPPM, Unika Atma Jaya, Jakarta.
No comments:
Post a Comment