A
Prasetyantoko ;
Pengajar
di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, Sabtu, 11 Mei 2013
Mungkin benar perekonomian
Indonesia selalu diliputi banyak anomali. Salah satunya, hari-hari ini potensi
ekonomi kita sedang begitu bagusnya, begitu banyak investor berlomba masuk ke
pasar domestik. Namun, kita terus saja bergumul dengan keraguan yang berujung
pada kemandekan dalam reformasi kebijakan. Risikonya potensi pertumbuhan bisa
hilang begitu saja. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2013 sebesar 6,02 persen
menurun dari 6,3 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Jika
situasinya terus menurun, tak tertutup kemungkinan tahun ini kita hanya akan
tumbuh di bawah 6 persen. Pencapaian minimalis di bawah kinerja seharusnya.
Karena kelambanan kita melakukan perubahan, pertumbuhan berada dalam tekanan.
Lembaga pemeringkat Standard
& Poor's (S&P) tadinya kita harapkan segera menaikkan peringkat utang
kita menjadi level investasi (investment grade), tetapi sebaliknya justru
mereka menurunkan proyeksi peringkat utang kita dari positif ke stabil. Masih
beruntung kita tetap berada pada level peringkat utang yang sama (BB+). Hanya
proyeksinya saja yang turun. Tak lama berselang, Moody's Investor Service juga
menyatakan keprihatinan yang sama meski tetap mempertahankan penilaiannya. Jika
tidak disikapi dengan cepat, bisa jadi penilaian berikutnya mereka benar-benar
menurunkan peringkat utang kita.
Momentum
pertumbuhan
Sebenarnya publik sudah merasakan
kelambanan dalam melakukan reformasi struktural. Kelambanan merespons kenaikan
harga BBM hanya simtom dari ketidakberdayaan yang lebih luas. Alasannya bisa
apa saja, tetapi faktanya pemerintah lamban melakukan reformasi di berbagai
sektor, padahal persis faktor itu yang tengah kita butuhkan. Soal potensi
ekonomi kita, apalagi dibandingkan negara lain yang tengah dilanda krisis, tak
perlu diragukan lagi. Proyeksi IMF, Bank Dunia, dan lembaga swasta lain sangat
meyakini bahwa secara global sedang terjadi pergeseran episentrum pertumbuhan. Pusat
pertumbuhan ekonomi dan aktivitas investasi, bisnis, dan produksi tak lagi di
negara maju, melainkan bergeser ke negara berkembang. Itulah fakta mengenai
keseimbangan baru (the new equilibrium) dalam peta global, di mana negara maju
memasuki fase pertumbuhan rendah, sementara negara berkembang terus tumbuh
tinggi.
Dalam lima tahun ke depan,
negara-negara maju (OECD) hanya akan tumbuh rata-rata sekitar 2 persen,
sementara AS tak akan lebih dari 2,5 persen. Jepang dan zona euro tumbuh
sekitar 1 persen atau kurang, selama beberapa tahun ke depan. Sementara, tiga negara
terkuat pertumbuhan ekonominya (China, India, dan Indonesia) rata-rata akan
tumbuh 6,5-7 persen selama beberapa tahun ke depan. Sangat jelas, peta
pertumbuhan global bergeser ke Negara berkembang. Tentu saja peta ini diikuti
dinamika bisnis dan industri. Secara sederhana, produksi barang- barang
industri negara- negara maju, terutama zona euro, akan turun drastis, sementara
Negara berkembang seperti Indonesia terus meningkat. Begitu pula sentimen
bisnis yang menandai keyakinan bisnis di masa depan kecenderungannya sama.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut mengonfirmasi realitas bahwa di masa depan
negara berkembang akan memimpin perekonomian global.
Dalam kerangka global tersebut,
sangat masuk akan jika McKinsey Global Institute (MGI) memproyeksikan perekonomian
Indonesia akan menempati peringkat ketujuh dunia pada 2030 mengalahkan Inggris,
Jerman, Jepang, dan negara-negara maju lainnya. Berbicara dalam perspektif
menengah-panjang sangat menggairahkan. Bagaimana dengan proyeksi jangka pendek?
Konfirmasi dari kedua lembaga pemeringkat (S&P dan Moody's) memberikan
gambaran betapa kita gagal memanfaatkan momentum jangka panjang. Jika kinerja
perekonomian kita baik selama ini, jangan-jangan lebih karena efek eksternal.
Sementara, hasil kerja kita sendiri tak begitu banyak. Itu dibuktikan dengan
begitu lambannya melakukan reformasi di berbagai sektor yang dibutuhkan guna
mendukung daya saing dan produktivitas domestik. Kebijakan terkait BBM hanya
bagian kecil dari reformasi kebijakan. Jika tidak hati-hati, kita berpotensi
kehilangan kesempatan melakukan transformasi menuju negara berbasis inovasi dan
keluar dari negara berpenghasilan menengah. Dengan demikian, kita akan masuk
skenario middle-income trap.
Reformasi
kebijakan
Kata reformasi begitu mudah
diucapkan, tetapi sangat sulit dilaksanakan. Masalahnya, tanpa reformasi,
perekonomian akan terus didera persoalan intern yang benar-benar membelenggu.
Kita tak akan keluar sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Kita hanya akan
dikenal sebagai negara berpotensi sangat besar, tetapi gagal merealisasikannya.
Seandainya hari-hari ini kita mengambil tindakan terhadap besaran subsidi BBM,
tak berarti masalah selesai. Masalahnya bukan hanya pada besaran subsidi yang
mengancam keberlanjutan fiskal, melainkan bagaimana mendorong perekonomian
domestik lebih efisien, produktif, dan berdaya saing. Pengurangan subsidi
mungkin akan membuat ancaman defisit fiskal yang melebihi 3 persen menjadi
kendur. Konsumsi BBM akan menurun sehingga tekanan terhadap neraca transaksi
berjalan mengecil. Namun, persoalan sesungguhnya, bagaimana keluar dari
tekanan-tekanan itu dan kemudian mempercepat transformasi ekonomi secara lebih
progresif, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, hingga
memperbaiki fasilitas sosial (pendidikan dan kesehatan). Jika ini tak
dilakukan, dan hanya berpuas dengan memberikan bantuan langsung sementara, maka
persoalan baru sedang dimulai. Mencabut sebagian subsidi tanpa mengembalikan
lagi ke masyarakat dalam bentuk lain yang lebih produktif bisa menurunkan
legitimasi pemerintah, terutama menjelang pemilu. Sementara itu, untuk
memastikan pemerintah mengembalikan subsidi kepada rakyat bukan hal mudah.
Moody's meramalkan, jika
pemerintah tak mengurangi subsidi BBM, defisit fiskal 2013 bisa mencapai 3,8
persen, lebih kurang Rp 440 triliun. Pertama, jumlah itu terlalu besar untuk
subsidi yang cenderung tak produktif. Kedua, mengingat keseimbangan primer
fiskal sudah negatif, penambahan subsidi harus ditopang dengan penerbitan surat
utang baru. Jadi, subsidi yang tak produktif dibiayai dengan utang. Bebannya
dua kali, memberikan efek antargenerasi (beban dipikul generasi mendatang). Selain
memberikan efek pada stabilitas makroekonomi, subsidi BBM juga telah menghilangkan
kesempatan bagi pembangunan infrastruktur, baik fisik maupun non-fisik.
Skenario paling baik adalah mengurangi subsidi BBM dan segera mengalihkannya
pada alokasi pembangunan infrastruktur itu dalam pos belanja modal di APBN.
Lebih penting lagi mengawasi penggunaannya agar selain terserap baik, juga
digunakan sebagaimana mestinya. Tak boleh ada kebocoran yang lazim terjadi
seperti saat ini. Jika pemerintah berani menjamin akan bekerja keras setelah
mengurangi subsidi BBM, bisa diyakinkan rakyat dan semua pihak akan rela menerima
peningkatan beban hidup akibat naiknya harga BBM. Namun, kalau setelah ini
mereka akan pergi kampanye, itu persoalan sangat besar.
A
Prasetyantoko
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi dan Ilmu
Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta)
No comments:
Post a Comment