A
Prasetyantoko ;
Pengajar
di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 23 Juli 2013
Sering kali, sejarah tampak
datang kembali secara berulang. Namun, sejatinya, selalu saja ada hal baru
terjadi di setiap kejadian. Begitu pun mengenai dinamika nilai tukar dalam perekonomian.
Rupiah terus melemah melewati angka Rp 10.000 per dollar AS. Meski bukan angka
keramat, harus tetap diakui angka tersebut terendah sejak Juli 2009. Ada apa
dengan perekonomian kita? Fluktuasi nilai tukar memang tak terelakkan dalam
sistem devisa bebas seperti sekarang ini. Aliran modal asing yang bebas masuk
dan keluar dijamin secara sah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Artinya, jika kita ingin
menghindarkan diri dari fluktuasi nilai tukar, salah satu pokok persoalan yang
harus digali adalah kemungkinan merevisi UU tersebut.
Dalam khazanah teori ekonomi
internasional, dikenal istilah trilema yang tak mungkin dicapai bersamaan dalam
kebijakan (impossible trinity). Dalam sebuah sistem devisa bebas, ketika tak dimungkinkan
dilakukan kontrol kapital, kebijakan moneter menjadi tidak bebas lagi. Itulah
biaya yang harus dibayar (trade-off) dari pilihan kebijakan tertentu. Banyak
orang mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan (BI
Rate) sebesar 75 basis poin dari 5,75 menjadi 6,50 dalam dua bulan
berturut-turut. Itulah salah satu contoh tidak bebasnya kebijakan moneter dalam
sistem devisa bebas. Sementara para pengusaha sektor riil berteriak dengan
kenaikan BI Rate, investor di pasar keuangan bersorak kegirangan. Trilema kebijakan
moneter menjadi semakin pelik ketika sektor finansial menjadi lebih dominan
dari sektor riil.
Nilai tukar
Benarkah titik keseimbangan
rupiah kita berada di atas Rp 10.000 per dollar AS? Nilai tukar mencerminkan
totalitas aliran modal asing masuk dan keluar dari seluruh transaksi yang dilakukan
oleh sebuah perekonomian. Jika transaksi ekspor-impor barang dan jasa dicatat
dalam neraca transaksi berjalan (NTB), aliran modal masuk dan keluar dicatat
dalam neraca modal (NM). NM meliputi kegiatan investasi asing langsung (FDI)
ataupun investasi portofolio di pasar keuangan. Gabungan NTB dan NM dicatat
dalam neraca pembayaran Indonesia (NPI). Sejak jatuhnya harga-harga komoditas
di pasar dunia pada kuartal II-2012, nilai ekspor kita terus menurun. Masih
ditambah dengan penurunan permintaan barang-barang nonmigas akibat krisis di
negara maju, neraca perdagangan kita terus mengalami defisit. Sejak April 2012,
transaksi ekspor-impor kita lebih banyak diwarnai defisit.
Sepanjang 2013, hanya pada
Maret, neraca perdagangan tercatat surplus. Selebihnya defisit. Pada April,
defisit mencapai 1,7 miliar dollar AS, sementara Mei 590 juta dollar AS. Bagaimana
prospek neraca perdagangan ke depan? Jawabannya, cukup pesimistis. Pertama, sebagian
besar ekspor kita masih berupa komoditas primer. Sementara harga komoditas
primer di pasar dunia belum pulih, nilai ekspor kita terus tertekan. Kedua,
negara tujuan ekspor kita adalah China, India, dan Jepang, yang terjadi
perlambatan pertumbuhan. Secara global, saat ini memang tengah terjadi
penyeimbangan kembali (rebalancing) antara negara maju dan Negara berkembang.
Selama ini pusat pertumbuhan ada di negara berkembang, sementara negara maju mengalami
krisis. Kini, kecenderungan mulai berbalik arah. Negara maju mulai stabil,
meski tetap tumbuh di bawah target, dan perlambatan justru terjadi di negara
berkembang.
China sangat mungkin hanya
akan tumbuh sekitar 7 persen pada 2013. Bahkan Perdana Menteri China sudah
memberi sinyal bahwa negara ini sangat mungkin hanya akan tumbuh 6,5 persen.
Mereka memang sedang mengubah strategi pertumbuhan dari fase tinggi berbasis
ekspor dan investasi menjadi pertumbuhan moderat berbasis permintaan domestik.
Sementara India hanya akan tumbuh sekitar 5 persen. Jepang dengan strategi
Abenomics-nya memang tengah mendorong fase pertumbuhan tinggi, tetapi tetap
terbatas kemampuannya. Perubahan lanskap global ini juga akan memengaruhi
aliran likuiditas ke negara berkembang. Jika negara maju mulai stabil, akan
terjadi dua hal sekaligus. Pertama, program stimulus ekonomi akan dihentikan.
Paket pembelian surat utang oleh bank sentral AS (The Fed) atau yang dikenal dengan
quantitative easing (QE) hanya soal waktu akan dihentikan. Bocoran notulensi
rapat Dewan Gubernur The Fed, separuhnya menyatakan ingin mengakhiri QE
sesegera mungkin. Kedua, berkurangnya ekses likuiditas akibat pengurangan
program stimulus membuat berkurangnya aliran modal asing masuk. Apalagi, jika
stabilitas ekonomi diikuti kenaikan suku bunga di negara maju. Instrumen
investasi di negara maju menjadi lebih menarik sehingga aliran modal ke negara
berkembang semakin berkurang. Implikasinya, neraca modal kita tidak akan sederas
2012. Indikasinya sudah jelas, penanaman modal asing langsung diperkirakan
melambat sementara investasi portofolio juga berkurang. Indeks Harga Saham
Gabungan di Bursa Efek Indonesia sulit bangkit menuju level tertinggi pada
5.200. Situasi inilah yang secara akumulatiftecermin dengan pelemahan rupiah.
Dengan kata lain, rupiah yang melemah menembus Rp 10.000 memang mencerminkan
kondisi fundamennya. Apakah tak ada prospek membaik di waktu mendatang? Sangat mungkin
rupiah kembali menguat seiring kembalinya modal asing masuk lewat neraca modal.
Semakin besar modal asing masuk, semakin besar pula risiko terhadap guncangan
(volatilitas). Sebenarnya, strategi terbaik menguatkan nilai tukar adalah
meningkatkan pemasukan dari transaksi perdagangan. Jika harus ditopang neraca
modal, modal asing yang masuk lewat skema penanaman modal langsung. Jika ditutup
dengan masuknya investor di pasar keuangan, sejatinya hanya akan membuat kita
mengulang sejarah lagi.
Pelemahan pertumbuhan
Prestasi ekonomi kita beberapa
tahun terakhir sejatinya sangat ditopang oleh aliran modal asing melalui pasar
keuangan dan kenaikan harga komoditas sehingga menopang nilai ekspor kita. Kita
begitu bangga dengan prestasi tersebut sehingga lupa untuk melakukan tugas
sebenarnya, yaitu melakukan pembenahan terhadap daya saing produk nonmigas. Penurunan
harga komoditas tidak saja memukul nilai ekspor kita, tetapi juga investasi.
Sejak kuartal II-2012, sektor pertambangan dan pertanian (kelapa sawit)
mengalami kemerosotan drastis. Fakta ini ditopang data lain, seperti indeks
pertanian dan pertambangan yang terkoreksi begitu tajam dan juga dari
perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi secara konsisten pada dua sektor
tersebut. Dan jika dilihat dari pembentukan modal, pembelian mesin dan
peralatan mengalami koreksi sangat tajam. Artinya, investasi memang terhenti,
terutama di sektor-sektor terkait komoditas primer. Sekali lagi, ini bukti
bahwa selama ini tidak terlihat upaya maksimal mentransformasi perekonomian
dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis pada efisiensi dan inovasi.
Pelemahan rupiah sejatinya
hanya sinyal terhadap fundamen ekonomi yang ternyata masih begitu rapuh. Belum
terlambat untuk berbuat meskipun pesimistis akan terjadi perubahan dinamis.
Sebentar lagi program pemerintah akan bertumpu pada belanja iklan guna mendongkrak
popularitas menyongsong Pemilu 2014. Lagi-lagi, kita kehilangan kesempatan melakukan
transformasi perekonomian.
A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma
Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment