Friday, August 2, 2013

Kehilangan Momentum


A Prasetyantoko  ;  Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 23 Juli 2013


Sering kali, sejarah tampak datang kembali secara berulang. Namun, sejatinya, selalu saja ada hal baru terjadi di setiap kejadian. Begitu pun mengenai dinamika nilai tukar dalam perekonomian. Rupiah terus melemah melewati angka Rp 10.000 per dollar AS. Meski bukan angka keramat, harus tetap diakui angka tersebut terendah sejak Juli 2009. Ada apa dengan perekonomian kita? Fluktuasi nilai tukar memang tak terelakkan dalam sistem devisa bebas seperti sekarang ini. Aliran modal asing yang bebas masuk dan keluar dijamin secara sah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Artinya, jika kita ingin menghindarkan diri dari fluktuasi nilai tukar, salah satu pokok persoalan yang harus digali adalah kemungkinan merevisi UU tersebut.
Dalam khazanah teori ekonomi internasional, dikenal istilah trilema yang tak mungkin dicapai bersamaan dalam kebijakan (impossible trinity). Dalam sebuah sistem devisa bebas, ketika tak dimungkinkan dilakukan kontrol kapital, kebijakan moneter menjadi tidak bebas lagi. Itulah biaya yang harus dibayar (trade-off) dari pilihan kebijakan tertentu. Banyak orang mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 75 basis poin dari 5,75 menjadi 6,50 dalam dua bulan berturut-turut. Itulah salah satu contoh tidak bebasnya kebijakan moneter dalam sistem devisa bebas. Sementara para pengusaha sektor riil berteriak dengan kenaikan BI Rate, investor di pasar keuangan bersorak kegirangan. Trilema kebijakan moneter menjadi semakin pelik ketika sektor finansial menjadi lebih dominan dari sektor riil.
Nilai tukar
Benarkah titik keseimbangan rupiah kita berada di atas Rp 10.000 per dollar AS? Nilai tukar mencerminkan totalitas aliran modal asing masuk dan keluar dari seluruh transaksi yang dilakukan oleh sebuah perekonomian. Jika transaksi ekspor-impor barang dan jasa dicatat dalam neraca transaksi berjalan (NTB), aliran modal masuk dan keluar dicatat dalam neraca modal (NM). NM meliputi kegiatan investasi asing langsung (FDI) ataupun investasi portofolio di pasar keuangan. Gabungan NTB dan NM dicatat dalam neraca pembayaran Indonesia (NPI). Sejak jatuhnya harga-harga komoditas di pasar dunia pada kuartal II-2012, nilai ekspor kita terus menurun. Masih ditambah dengan penurunan permintaan barang-barang nonmigas akibat krisis di negara maju, neraca perdagangan kita terus mengalami defisit. Sejak April 2012, transaksi ekspor-impor kita lebih banyak diwarnai defisit.
Sepanjang 2013, hanya pada Maret, neraca perdagangan tercatat surplus. Selebihnya defisit. Pada April, defisit mencapai 1,7 miliar dollar AS, sementara Mei 590 juta dollar AS. Bagaimana prospek neraca perdagangan ke depan? Jawabannya, cukup pesimistis. Pertama, sebagian besar ekspor kita masih berupa komoditas primer. Sementara harga komoditas primer di pasar dunia belum pulih, nilai ekspor kita terus tertekan. Kedua, negara tujuan ekspor kita adalah China, India, dan Jepang, yang terjadi perlambatan pertumbuhan. Secara global, saat ini memang tengah terjadi penyeimbangan kembali (rebalancing) antara negara maju dan Negara berkembang. Selama ini pusat pertumbuhan ada di negara berkembang, sementara negara maju mengalami krisis. Kini, kecenderungan mulai berbalik arah. Negara maju mulai stabil, meski tetap tumbuh di bawah target, dan perlambatan justru terjadi di negara berkembang.
China sangat mungkin hanya akan tumbuh sekitar 7 persen pada 2013. Bahkan Perdana Menteri China sudah memberi sinyal bahwa negara ini sangat mungkin hanya akan tumbuh 6,5 persen. Mereka memang sedang mengubah strategi pertumbuhan dari fase tinggi berbasis ekspor dan investasi menjadi pertumbuhan moderat berbasis permintaan domestik. Sementara India hanya akan tumbuh sekitar 5 persen. Jepang dengan strategi Abenomics-nya memang tengah mendorong fase pertumbuhan tinggi, tetapi tetap terbatas kemampuannya. Perubahan lanskap global ini juga akan memengaruhi aliran likuiditas ke negara berkembang. Jika negara maju mulai stabil, akan terjadi dua hal sekaligus. Pertama, program stimulus ekonomi akan dihentikan. Paket pembelian surat utang oleh bank sentral AS (The Fed) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) hanya soal waktu akan dihentikan. Bocoran notulensi rapat Dewan Gubernur The Fed, separuhnya menyatakan ingin mengakhiri QE sesegera mungkin. Kedua, berkurangnya ekses likuiditas akibat pengurangan program stimulus membuat berkurangnya aliran modal asing masuk. Apalagi, jika stabilitas ekonomi diikuti kenaikan suku bunga di negara maju. Instrumen investasi di negara maju menjadi lebih menarik sehingga aliran modal ke negara berkembang semakin berkurang. Implikasinya, neraca modal kita tidak akan sederas 2012. Indikasinya sudah jelas, penanaman modal asing langsung diperkirakan melambat sementara investasi portofolio juga berkurang. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia sulit bangkit menuju level tertinggi pada 5.200. Situasi inilah yang secara akumulatiftecermin dengan pelemahan rupiah. Dengan kata lain, rupiah yang melemah menembus Rp 10.000 memang mencerminkan kondisi fundamennya. Apakah tak ada prospek  membaik di waktu mendatang? Sangat mungkin rupiah kembali menguat seiring kembalinya modal asing masuk lewat neraca modal. Semakin besar modal asing masuk, semakin besar pula risiko terhadap guncangan (volatilitas). Sebenarnya, strategi terbaik menguatkan nilai tukar adalah meningkatkan pemasukan dari transaksi perdagangan. Jika harus ditopang neraca modal, modal asing yang masuk lewat skema penanaman modal langsung. Jika ditutup dengan masuknya investor di pasar keuangan, sejatinya hanya akan membuat kita mengulang sejarah lagi.
Pelemahan pertumbuhan
Prestasi ekonomi kita beberapa tahun terakhir sejatinya sangat ditopang oleh aliran modal asing melalui pasar keuangan dan kenaikan harga komoditas sehingga menopang nilai ekspor kita. Kita begitu bangga dengan prestasi tersebut sehingga lupa untuk melakukan tugas sebenarnya, yaitu melakukan pembenahan terhadap daya saing produk nonmigas. Penurunan harga komoditas tidak saja memukul nilai ekspor kita, tetapi juga investasi. Sejak kuartal II-2012, sektor pertambangan dan pertanian (kelapa sawit) mengalami kemerosotan drastis. Fakta ini ditopang data lain, seperti indeks pertanian dan pertambangan yang terkoreksi begitu tajam dan juga dari perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi secara konsisten pada dua sektor tersebut. Dan jika dilihat dari pembentukan modal, pembelian mesin dan peralatan mengalami koreksi sangat tajam. Artinya, investasi memang terhenti, terutama di sektor-sektor terkait komoditas primer. Sekali lagi, ini bukti bahwa selama ini tidak terlihat upaya maksimal mentransformasi perekonomian dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis pada efisiensi dan inovasi.
Pelemahan rupiah sejatinya hanya sinyal terhadap fundamen ekonomi yang ternyata masih begitu rapuh. Belum terlambat untuk berbuat meskipun pesimistis akan terjadi perubahan dinamis. Sebentar lagi program pemerintah akan bertumpu pada belanja iklan guna mendongkrak popularitas menyongsong Pemilu 2014. Lagi-lagi, kita kehilangan kesempatan melakukan transformasi perekonomian.

A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

No comments:

Post a Comment