Mikhael Dua
Setelah Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
ditangkap KPK, diskusi mengenai korupsi dalam lingkungan lembaga-lembaga negara
semakin lama semakin intens. Para pengamat mulai melihat praktik korupsi
tersebut memiliki akar-akarnya pada jejaring sosial primitive berbasis
keluarga. Semakin jelas bahwa praktek penyalahgunaan kekuasaan tersebut berjalan
bersamaan dengan nepotisme dan hegemoni kekuasaan keluarga. Karena itu
pertalian yang erat antara korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikutuk oleh
mahasiswa pada 1998 ternyata tumbuh subur dalam alam demokrasi dewasa ini.
Lembaga-lembaga hukum dan keadilan pun memberikan
contoh-contoh buruk. DPR, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman mendapat rapor
jelek dalam bidang good governance . Begitu juga dengan lembaga-lembaga Negara lainnya.
Hampir tidak ada institusi yang luput dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tata kelola organisasi yang baik yang dibahas di setiap lini
benar-benar hanya retorika sehari-hari yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Tulisan-tulisan bernada antikorupsi di banyak tempat tidak lebih dari hiasan
yang menunjukkan kemunafikan penulis dan institusinya. Maka pembicaraan mengenai
etika menjadi mubazir.
Lalu pertanyaan sederhana muncul: dengan hipotesis apa kita
bisa menjelaskan asal usul kejahatan sosial tersebut? Apa yang salah dengan
sistem moral kita sehingga kita seakan-akan tak terelakkan dari
kejahatan-kejahatan yang menyedihkan tersebut?
Untuk menjelaskan fenomena korupsi sebagai kejahatan sosial
politik, pemikiran Walter Benjamin tentang nasib dan karakter dapat dipakai
sebagai hipotesis kerja. Hipotesis Benjamin amat sangat sederhana. Sekiranya si
A dijebloskan ke dalam penjara karena korupsi dana pembangunan X, maka hal itu
terjadi karena nasib. Si A, demikian Benjamin, tidak akan mengalami nasib tersebut
jika ia tidak biasa melakukan korupsi sebagai habitatnya yang ia pelihara sejak
masih di bangku SD.
Asumsi teoretis ini menjadi inspirasi salah satu iklan
antikorupsi dewasa ini. Karena orang tak mungkin masuk penjara kalau ia tidak
melakukan kejahatan korupsi, dan tidak mungkin korupsi kalau tidak biasa nyontek
di sekolah dan universitas. Dan seluruh kebiasaan seperti itu juga tidak bakal
muncul kalau ia tidak biasa bohong di waktu kecil. Maka, sebagaimana Sigmund
Freud menegaskan, masa lampau selalu memberikan bekas pada ruang bawah sadar pikiran
dan perilaku manusia, sehingga pendidikan secerdas apa pun sulit menghilangkannya.
Karakter, dengan demikian, memiliki hubungan satu sama lain
dengan nasib. Frederich Nietzsche menulis: “Jika seseorang memiliki karakter,
ia sudah memiliki suatu pengalaman yang berulang terus-menerus.” Ini berarti
jika seseorang memiliki karakter tertentu, nasibnya sudah jelas di depannya.
Seandainya A memiliki karakter pembohong masa depannya cukup jelas: ia tidak dapat
dipercaya oleh siapa pun. Dan itulah nasibnya.
Godaan Kesalahan Moral
Karena alasan teologis atau filosofis tertentu konsep nasib
memang sulit diterima. Penolakan atas konsep nasib dapat diterima, terutama
karena nasib dan masa depan seseorang sulit diprediksi, apa lagi jika nasib
yang dimaksud ditentukan oleh garis-garis tangan dan wajah seseorang.
Kebudayaan modern, di bawah terang akal budi dan ilmu pengetahuan hanya
mengenal satu hal, yaitu logika dan pembenaran berdasarkan pengalaman.
Namun, menurut Benjamin, penolakan atas gagasan nasib sekaligus
menjadi tanda penyangkalan atas dimensi ontologis manusia sendiri. Dalam
analisisnya mengenai gagasan nasib dalam tragedi Yunani kuno, Benjamin menemukan
bahwa gagasan nasib memiliki hubungan dengan konsep godaan rasa bersalah. Dalam
konteks nasib, kebahagiaan manusia tidak menjadi akibat dari prestasi hidup dan
perilaku tanpa kesalahan. Sebaliknya, kebahagiaan manusia justru menjadi
implikasi dari sebuah upaya menghadapi godaan melakukan kejahatan yang
menghancurkan.
Dengan pemikiran ini, Benjamin tidak bermaksud untuk
menegaskan bahwa moralitas merupakan sebuah kemustahilan. Sebaliknya, ia justru
menegaskan bahwa karakter merupakan bahasa etika bahwa setiap
orang memiliki kesadaran tentang baik dan buruk. Namun, kesadaran tentang baik
dan buruk tidak akan
berkembang tanpa pengalaman menghadapi godaan untuk melakukan kejahatan. L Kohlberg
dewasa ini menyadari kenyataan ini. Perkembangan kesadaran moral hanya dapat
diukur ketika kita menghadapi dilema moral. Tanpa menghadapi dilema moral seseorang
tidak dapat dikenal apakah ia baik atau tidak baik.
Pemikiran Benjamin
tersebut membuka perspektif baru dalam gerakan anti korupsi. Gerakan tersebut
bakal gagal total jika kita bergerak dari asumsi bahwa hidup baik datang dari
kesucian hidup. Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi merupakan
tokoh-tokoh yang memiliki tata krama, sopan santun, dan adat istiadat yang
pantas diteladani. Budaya tata krama kita mendorong agar penampilan memang harus
demikian. Namun, yang tidak diperhatikan dalam budaya tata krama kesucian
adalah dimensi pengalaman menghadapi godaan moral. Asumi kesucian moral ini
kadang-kadang dibangun dalam pendidikan karakter. Mengikuti Aristoteles, David Hume,
Immanuel Kant dan Jurgen Habermas kita akan dengan mudah mengatakan bahwa
pendidikan karakter ditentukan oleh penalaran rasional atas apa yang baik dan
apa yang benar. Namun,yang kerap tidak diperhatikan adalah bahwa di balik
penalaran etika perlu ada sebuah penalaran mitis teologis tentang nasib manusia
bahwa hidup yang bahagia memiliki hubungannya dengan kesadaran bahwa kita
manusia dapat melakukan kesalahan.
Jadi, jika pada awal
tulisan ini kita mengatakan ‘sudah menjadi nasib Akil Mochtar ditangkap KPK’,
kita seharusnya menambahkan bahwa logika nasib perlu juga diperhatikan dalam
pembenahan tata kelola pemerintahan yang baik. Sayang sekali, logika nasib
seperti itu tidak pernah menjadi perhatian kita lagi, karena kita terlalu rasional
dan lupa bahwa godaan untuk melakukan kejahatan merupakan kenyataan yang harus
dihadapi setiap orang.
Penulis adalah Ketua Hidesi (Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia
) dan Staf Pada Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta
Menarik sekali, terima kasih untuk topiknya
ReplyDeleteKuota Internet