Tuesday, February 11, 2014

Nasib dan Karakter

Mikhael Dua
Suara Pembaruan - Sabtu-Minggu, 19-20 Oktober 2013

Setelah Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ditangkap KPK, diskusi mengenai korupsi dalam lingkungan lembaga-lembaga negara semakin lama semakin intens. Para pengamat mulai melihat praktik korupsi tersebut memiliki akar-akarnya pada jejaring sosial primitive berbasis keluarga. Semakin jelas bahwa praktek penyalahgunaan kekuasaan tersebut berjalan bersamaan dengan nepotisme dan hegemoni kekuasaan keluarga. Karena itu pertalian yang erat antara korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikutuk oleh mahasiswa pada 1998 ternyata tumbuh subur dalam alam demokrasi dewasa ini.

Lembaga-lembaga hukum dan keadilan pun memberikan contoh-contoh buruk. DPR, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman mendapat rapor jelek dalam bidang good governance . Begitu juga dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Hampir tidak ada institusi yang luput dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tata kelola organisasi yang baik yang dibahas di setiap lini benar-benar hanya retorika sehari-hari yang tidak pernah menjadi kenyataan. Tulisan-tulisan bernada antikorupsi di banyak tempat tidak lebih dari hiasan yang menunjukkan kemunafikan penulis dan institusinya. Maka pembicaraan mengenai etika menjadi mubazir.
Lalu pertanyaan sederhana muncul: dengan hipotesis apa kita bisa menjelaskan asal usul kejahatan sosial tersebut? Apa yang salah dengan sistem moral kita sehingga kita seakan-akan tak terelakkan dari kejahatan-kejahatan yang menyedihkan tersebut?

Untuk menjelaskan fenomena korupsi sebagai kejahatan sosial politik, pemikiran Walter Benjamin tentang nasib dan karakter dapat dipakai sebagai hipotesis kerja. Hipotesis Benjamin amat sangat sederhana. Sekiranya si A dijebloskan ke dalam penjara karena korupsi dana pembangunan X, maka hal itu terjadi karena nasib. Si A, demikian  Benjamin, tidak akan mengalami nasib tersebut jika ia tidak biasa melakukan korupsi sebagai habitatnya yang ia pelihara sejak masih di bangku SD.

Asumsi teoretis ini menjadi inspirasi salah satu iklan antikorupsi dewasa ini. Karena orang tak mungkin masuk penjara kalau ia tidak melakukan kejahatan korupsi, dan tidak mungkin korupsi kalau tidak biasa nyontek di sekolah dan universitas. Dan seluruh kebiasaan seperti itu juga tidak bakal muncul kalau ia tidak biasa bohong di waktu kecil. Maka, sebagaimana Sigmund Freud menegaskan, masa lampau selalu memberikan bekas pada ruang bawah sadar pikiran dan perilaku manusia, sehingga pendidikan secerdas apa pun sulit menghilangkannya.

Karakter, dengan demikian, memiliki hubungan satu sama lain dengan nasib. Frederich Nietzsche menulis: “Jika seseorang memiliki karakter, ia sudah memiliki suatu pengalaman yang berulang terus-menerus.” Ini berarti jika seseorang memiliki karakter tertentu, nasibnya sudah jelas di depannya. Seandainya A memiliki karakter pembohong masa depannya cukup jelas: ia tidak dapat dipercaya oleh siapa pun. Dan itulah nasibnya.

Godaan Kesalahan Moral
Karena alasan teologis atau filosofis tertentu konsep nasib memang sulit diterima. Penolakan atas konsep nasib dapat diterima, terutama karena nasib dan masa depan seseorang sulit diprediksi, apa lagi jika nasib yang dimaksud ditentukan oleh garis-garis tangan dan wajah seseorang. Kebudayaan modern, di bawah terang akal budi dan ilmu pengetahuan hanya mengenal satu hal, yaitu logika dan pembenaran berdasarkan pengalaman.

Namun, menurut Benjamin, penolakan atas gagasan nasib sekaligus menjadi tanda penyangkalan atas dimensi ontologis manusia sendiri. Dalam analisisnya mengenai gagasan nasib dalam tragedi Yunani kuno, Benjamin menemukan bahwa gagasan nasib memiliki hubungan dengan konsep godaan rasa bersalah. Dalam konteks nasib, kebahagiaan manusia tidak menjadi akibat dari prestasi hidup dan perilaku tanpa kesalahan. Sebaliknya, kebahagiaan manusia justru menjadi implikasi dari sebuah upaya menghadapi godaan melakukan kejahatan yang menghancurkan.

Dengan pemikiran ini, Benjamin tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa moralitas merupakan sebuah kemustahilan. Sebaliknya, ia justru menegaskan bahwa karakter merupakan bahasa etika bahwa setiap orang memiliki kesadaran tentang baik dan buruk. Namun, kesadaran tentang baik dan buruk tidak akan berkembang tanpa pengalaman menghadapi godaan untuk melakukan kejahatan. L Kohlberg dewasa ini menyadari kenyataan ini. Perkembangan kesadaran moral hanya dapat diukur ketika kita menghadapi dilema moral. Tanpa menghadapi dilema moral seseorang tidak dapat dikenal apakah ia baik atau tidak baik.

Pemikiran Benjamin tersebut membuka perspektif baru dalam gerakan anti korupsi. Gerakan tersebut bakal gagal total jika kita bergerak dari asumsi bahwa hidup baik datang dari kesucian hidup. Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi merupakan tokoh-tokoh yang memiliki tata krama, sopan santun, dan adat istiadat yang pantas diteladani. Budaya tata krama kita mendorong agar penampilan memang harus demikian. Namun, yang tidak diperhatikan dalam budaya tata krama kesucian adalah dimensi pengalaman menghadapi godaan moral. Asumi kesucian moral ini kadang-kadang dibangun dalam pendidikan karakter. Mengikuti Aristoteles, David Hume, Immanuel Kant dan Jurgen Habermas kita akan dengan mudah mengatakan bahwa pendidikan karakter ditentukan oleh penalaran rasional atas apa yang baik dan apa yang benar. Namun,yang kerap tidak diperhatikan adalah bahwa di balik penalaran etika perlu ada sebuah penalaran mitis teologis tentang nasib manusia bahwa hidup yang bahagia memiliki hubungannya dengan kesadaran bahwa kita manusia dapat melakukan kesalahan.

Jadi, jika pada awal tulisan ini kita mengatakan ‘sudah menjadi nasib Akil Mochtar ditangkap KPK’, kita seharusnya menambahkan bahwa logika nasib perlu juga diperhatikan dalam pembenahan tata kelola pemerintahan yang baik. Sayang sekali, logika nasib seperti itu tidak pernah menjadi perhatian kita lagi, karena kita terlalu rasional dan lupa bahwa godaan untuk melakukan kejahatan merupakan kenyataan yang harus dihadapi setiap orang.
Penulis adalah Ketua Hidesi (Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia ) dan Staf Pada Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta

1 comment: