Berita / Feature Edisi Desember 2013
Mampukah Taman Surgaloka Nan Rentan ini Bertahan?
Oleh Cathy Newman
Foto oleh David Doubilet
Ada sebuah kerajaan karang di
Samudra Pasifik yang bernama Teluk Kimbe. “Tempat ini adalah dunia tersendiri,
yang lebih aneh daripada ruang angkasa,” ujar fotografer David Doubilet. Tidak
seperti antariksa yang dingin, tempat ini penuh kehidupan, dan dalam semestanya
terdapat galaksi ikan dan formasi karang yang tak kalah menakjubkan dibanding
ledakan supernova. Teluk ini terletak di pesisir New Britain, Papua Nugini.
Proses geologi yang resah di wilayah tempat pertemuan dua lempeng ini
menghasilkan gunung berapi, paparan sempit curam, dasar jurang sedalam dua
kilometer; serta pegunungan bawah laut bermahkota terumbu karang selama ribuan
tahun.
Tujuh belas tahun silam, Doubilet
berkunjung selama delapan hari ke Kimbe untuk keperluan liputan, dan pengalaman
itu menimbulkan kerinduan untuk datang kembali. Obsesi itu lahir dari kenangan
tentang surga bawah laut dengan kawanan ikan keperakan, padang cambuk-laut
merah, dan air sebening kristal. Masih utuhkah nirwana tersebut?
“Beberapa karang”, katanya,
“sangat energik, bagai lukisan Jackson Pollock.” Sementara karang Kimbe sangat
rapuh, “seperti lukisan impresionis Monet.” Kehidupan yang merayap, berenang,
dan berayun dalam alun perairan ini adalah salah satu puncak keanekaragaman
hayati. Ada 536 jenis karang (lebih dari setengah jumlah spesies dunia) dan
sekitar 900 spesies ikan karang. Makhluk ajaib kecil, kuda laut kerdil, dan
yang besar (paus koteklema) ada di teluk ini. Keragaman ini merupakan perpaduan
antara geografi, arus laut, suhu, dan ulah evolusi.
Karang itu tetap semarak seperti
17 tahun silam—tak seperti banyak tempat lain di muka bumi—karena letaknya yang
amat terpencil. Tempat ini tidak mengalami tekanan populasi manusia, seperti
misalnya yang terjadi pada terumbu karang di lepas pantai Asia. Tidak ada
penangkapan ikan komersial. Karang ini juga berkembang karena dijaga dengan
amat baik. Salah satu pendukungnya adalah The Nature Conservancy, yang menyusun
rencana pembuatan 14 daerah perlindungan laut di teluk tersebut. Ia didukung
organisasi pendidikan dan konservasi lokal Mahonia Na Dari (Penjaga Laut dalam
bahasa setempat). Organisasi ini berjalan bersama Papua New Guinea Centre for
Locally Managed Areas, yang membantu masyarakat mengelola dan melindungi sumber
daya mereka.
Jika orang ingin melihat seperti
apa terumbu karang yang sehat, lihatlah Kimbe, kata Geoffrey Jones, profesor
biologi laut di James Cook University di Townsville, Australia. Ia meneliti
daerah ini selama 16 tahun. Salah satu ciri khas, di sini banyak sekali ikan
gobi, yang hanya ada di habitat ekstrem. “Jika jenis karang itu musnah,”
katanya, “lenyap pula ikan tersebut.”
Untuk saat ini, ikan dan karang
masih ada di sana. Namun, itu untuk saat ini. Kita harus selalu diingatkan
bahwa terumbu karang mudah rusak. Terumbu karang rentan terhadap pengasaman
laut, penangkapan ikan berlebih, air limpasan pertanian, dan yang terpenting,
pemanasan global. Hal ini memicu rangkaian peristiwa biologis, menyebabkan
pemutihan karang hingga menjadi seputih tulang.
“Kami tiba saat salah satu monsun
terparah terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir,” tutur Doubilet mengenai
kedatangannya kembali. Perubahan iklim mengganggu pola cuaca di seluruh dunia;
di Teluk Kimbe, hujan turun dengan lebatnya di bulan yang biasanya sudah
kemarau. Hujan deras membawa air limpasan yang mengeruhkan pantai, memaksanya
beralih ke terumbu yang letaknya lebih jauh ke tengah.
Meskipun
demikian, Teluk Kimbe masih bertahan. Ikan perak, karang semarak, cambuk-laut
merah yang dibayang-bayangkan Doubilet selama 17 tahun masih ada di sana. Untuk
saat ini. Lebih dari setengah terumbu Papua Nugini dalam keadaan terancam.
Terumbu sangat rentan—sama rapuh dan menghantuinya seperti mimpi yang selalu
terbayang-bayang.
No comments:
Post a Comment