Friday, October 25, 2013

Krisis Energi dan Gejolak Ekonomi



A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
Senin, 21 Oktober 2013 | 07:23 WIB
 
SHUTTERSTOCK













Drama politik mengenai pagu utang di Amerika Serikat berakhir sementara. Dampaknya, rupiah menguat dan indeks bursa menggeliat sehingga keketatan likuiditas sedikit mengendur. Akhir minggu lalu, kurs tengah Bank Indonesia berada pada Rp 11.300, sementara Indeks Harga Saham Gabungan naik di atas 4.500. Kelegaan itu tak akan lama karena pagu utang hanya sampai 15 Februari 2014. Mulai Desember ini, negosiasi alot dimulai lagi. Selain itu, pada 28-29 Oktober ada rapat Federal Open Market Committee untuk menentukan kelanjutan program stimulus ekonomi. Dinamika global begitu menantang. Sementara dinamika domestik sebenarnya tak kalah berat. Jika perekonomian global tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya, perekonomian domestik ada dalam lingkaran pengaruh kita. Krisis listrik di Sumatera Utara dan Riau baru-baru ini sungguh ironis. Bagaimana mungkin kita bisa menghadapi dinamika global tatkala persoalan domestik begitu karut- marut. Kita masih ingat beberapa gubernur Kalimantan pernah melayangkan protes ke Jakarta dengan gugatan pokok; bagaimana mungkin Kalimantan sebagai penghasil energi justru krisis energi?
Ada dua dimensi persoalan. Pertama soal ketersediaan energi bagi industri dan kedua soal ketimpangan antardaerah. Dua-duanya menghambat produktivitas dan daya saing perekonomian domestik. Baru-baru ini Harvard Kennedy School Indonesia Program merilis buku berjudul The Sum is Greater than the Parts. Perekonomian Indonesia mempunyai dua agenda besar, merekatkan diri pada mata rantai global dan melakukan konsolidasi dengan daerah. Globalisasi tanpa konsolidasi akan melahirkan fragmentasi. Boleh jadi Riau dan Medan lebih suka berinteraksi dengan Kuala Lumpur, sementara Aceh dan Batam merasa lebih dekat dengan Singapura. Jika dibiarkan, perekonomian kita akan tertekan dari dua sisi, termarjinalisasi dari ekonomi global serta mengalami fragmentasi di dalam negeri. Dokumen Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang membagi pembangunan menjadi enam koridor sangat bagus di atas kertas, tetapi implementasinya jauh dari harapan. Kita terbiasa tak tuntas mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya, ketika ujian datang, kita merasa kerepotan.
Ketika bank sentral AS, The Fed, mewacanakan pengurangan program stimulus (tapering off) beberapa waktu lalu, rupiah terdepresiasi hingga 20 persen dan IHSG melorot mencapai titik terendah di level 3.900. Padahal, pada bulan April, indeks bursa sempat menyentuh 5.200. Pada waktu itu, Indonesia adalah ”darling” para investor dan likuiditas tersedia begitu melimpah. Pada awal tahun ini, Presiden menjadi pembicara kunci pada peluncuran laporan McKinsey Global Institute yang memproyeksikan perekonomian Indonesia sebagai kekuatan ketujuh dunia tahun 2030. Belum juga berumur setahun laporan itu, situasinya berubah drastis. Baru-baru ini, Morgan Stanley menyebut rupiah sebagai salah satu dari lima mata uang yang terdepresiasi paling parah (fragile five). Mengapa ekstrem? Ekstremnya reaksi investor terkait dengan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang cukup dalam. Defisit perdagangan Juli mencapai 2,3 miliar dollar AS, sementara defisit transaksi berjalan triwulan II tahun ini menjadi rekor, 9,8 miliar dollar AS. Memang pada Agustus lalu neraca perdagangan surplus 132,4 juta dollar AS. Namun, surplus lebih diakibatkan pelambatan impor secara signifikan -5,7 persen. Padahal, impor Juli masih melaju 6,5 persen.
Menyembuhkan defisit neraca perdagangan dengan cara mengurangi impor akan membuat perekonomian kita melemah. Investasi dan permintaan domestik turun sehingga pertumbuhan ekonomi juga terkoreksi. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,6 persen dan tahun depan sedikit membaik, 5,8 persen. Bahkan, Bank Dunia hanya berani menaksir 5,3 persen untuk tahun 2014. Argumennya, segala kebijakan yang diterapkan pemerintah dan BI dalam rangka mengatasi gejolak perekonomian menimbulkan efek samping pelambatan ekonomi di tahun depan. Idealnya, mengatasi defisit perdagangan dengan cara mendorong ekspor. Syaratnya, secara konsisten memperbaiki produktivitas dan daya saing dengan cara meningkatkan pasokan infrastruktur, termasuk energi. Bagaimana mungkin kita bersaing jika persoalan listrik saja tak teratasi dengan baik. Lebih ironis lagi, persoalan listrik sebenarnya telah menyedot subsidi cukup besar.
Tahun 2004, subsidi listrik sekitar Rp 3,4 triliun, naik menjadi Rp 46 triliun tahun 2009 dan tahun 2013 menjadi Rp 80 triliun. Subsidi yang tidak maksimal menimbulkan dampak negatif berganda pada perekonomian. Pertama, kenaikan subsidi akan menutup peluang anggaran membiayai hal lain. Kedua, subsidi mengerdilkan produktivitas sehingga menurunkan daya saing. Krisis energi bisa menjadi simtom terjadinya krisis daya saing yang menimbulkan komplikasi pada perekonomian domestik dalam menghadapi dinamika global. Pemerintah dan otoritas moneter seakan hanya memiliki pilihan kebijakan sangat terbatas menghadapi gejolak perekonomian, seperti menaikkan BI Rate, memperlambat kredit, dan menaikkan pajak. Padahal, inti persoalannya terletak pada produktivitas dan daya saing yang begitu rapuh. Kita terlalu lama tak menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik, seperti menyediakan daya listrik sampai ke daerah, sehingga selalu takut menghadapi ujian. Semoga ujian pada perekonomian kita kali ini tidak begitu berat sehingga meski kemampuan pas-pasan, kita tetap bisa lulus dengan baik.

No comments:

Post a Comment