A
Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
Senin, 21 Oktober 2013 | 07:23 WIB
Drama
politik mengenai pagu utang di Amerika Serikat berakhir sementara. Dampaknya,
rupiah menguat dan indeks bursa menggeliat sehingga keketatan likuiditas
sedikit mengendur. Akhir minggu lalu, kurs tengah Bank Indonesia berada pada Rp
11.300, sementara Indeks Harga Saham Gabungan naik di atas 4.500. Kelegaan itu
tak akan lama karena pagu utang hanya sampai 15 Februari 2014. Mulai Desember
ini, negosiasi alot dimulai lagi. Selain itu, pada 28-29 Oktober ada rapat
Federal Open Market Committee untuk menentukan kelanjutan program stimulus
ekonomi. Dinamika global begitu menantang. Sementara dinamika domestik
sebenarnya tak kalah berat. Jika perekonomian global tidak bisa kita kendalikan
sepenuhnya, perekonomian domestik ada dalam lingkaran pengaruh kita. Krisis
listrik di Sumatera Utara dan Riau baru-baru ini sungguh ironis. Bagaimana
mungkin kita bisa menghadapi dinamika global tatkala persoalan domestik begitu
karut- marut. Kita masih ingat beberapa gubernur Kalimantan pernah melayangkan
protes ke Jakarta dengan gugatan pokok; bagaimana mungkin Kalimantan sebagai
penghasil energi justru krisis energi?
Ada
dua dimensi persoalan. Pertama soal ketersediaan energi bagi industri dan kedua
soal ketimpangan antardaerah. Dua-duanya menghambat produktivitas dan daya
saing perekonomian domestik. Baru-baru ini Harvard Kennedy School Indonesia
Program merilis buku berjudul The Sum is Greater than the Parts. Perekonomian
Indonesia mempunyai dua agenda besar, merekatkan diri pada mata rantai global
dan melakukan konsolidasi dengan daerah. Globalisasi tanpa konsolidasi akan
melahirkan fragmentasi. Boleh jadi Riau dan Medan lebih suka berinteraksi
dengan Kuala Lumpur, sementara Aceh dan Batam merasa lebih dekat dengan
Singapura. Jika dibiarkan, perekonomian kita akan tertekan dari dua sisi,
termarjinalisasi dari ekonomi global serta mengalami fragmentasi di dalam
negeri. Dokumen Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia yang membagi pembangunan menjadi enam koridor sangat bagus di atas
kertas, tetapi implementasinya jauh dari harapan. Kita terbiasa tak tuntas
mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya, ketika ujian datang, kita merasa
kerepotan.
Ketika
bank sentral AS, The Fed, mewacanakan pengurangan program stimulus (tapering
off) beberapa waktu lalu, rupiah terdepresiasi hingga 20 persen dan IHSG
melorot mencapai titik terendah di level 3.900. Padahal, pada bulan April,
indeks bursa sempat menyentuh 5.200. Pada waktu itu, Indonesia adalah ”darling”
para investor dan likuiditas tersedia begitu melimpah. Pada awal tahun ini,
Presiden menjadi pembicara kunci pada peluncuran laporan McKinsey Global
Institute yang memproyeksikan perekonomian Indonesia sebagai kekuatan ketujuh
dunia tahun 2030. Belum juga berumur setahun laporan itu, situasinya berubah
drastis. Baru-baru ini, Morgan Stanley menyebut rupiah sebagai salah satu dari
lima mata uang yang terdepresiasi paling parah (fragile five). Mengapa ekstrem?
Ekstremnya reaksi investor terkait dengan defisit neraca perdagangan dan
transaksi berjalan yang cukup dalam. Defisit perdagangan Juli mencapai 2,3
miliar dollar AS, sementara defisit transaksi berjalan triwulan II tahun ini
menjadi rekor, 9,8 miliar dollar AS. Memang pada Agustus lalu neraca
perdagangan surplus 132,4 juta dollar AS. Namun, surplus lebih diakibatkan
pelambatan impor secara signifikan -5,7 persen. Padahal, impor Juli masih
melaju 6,5 persen.
Menyembuhkan
defisit neraca perdagangan dengan cara mengurangi impor akan membuat
perekonomian kita melemah. Investasi dan permintaan domestik turun sehingga
pertumbuhan ekonomi juga terkoreksi. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan
5,6 persen dan tahun depan sedikit membaik, 5,8 persen. Bahkan, Bank Dunia
hanya berani menaksir 5,3 persen untuk tahun 2014. Argumennya, segala kebijakan
yang diterapkan pemerintah dan BI dalam rangka mengatasi gejolak perekonomian
menimbulkan efek samping pelambatan ekonomi di tahun depan. Idealnya, mengatasi
defisit perdagangan dengan cara mendorong ekspor. Syaratnya, secara konsisten
memperbaiki produktivitas dan daya saing dengan cara meningkatkan pasokan
infrastruktur, termasuk energi. Bagaimana mungkin kita bersaing jika persoalan
listrik saja tak teratasi dengan baik. Lebih ironis lagi, persoalan listrik
sebenarnya telah menyedot subsidi cukup besar.
Tahun
2004, subsidi listrik sekitar Rp 3,4 triliun, naik menjadi Rp 46 triliun tahun
2009 dan tahun 2013 menjadi Rp 80 triliun. Subsidi yang tidak maksimal
menimbulkan dampak negatif berganda pada perekonomian. Pertama, kenaikan
subsidi akan menutup peluang anggaran membiayai hal lain. Kedua, subsidi mengerdilkan
produktivitas sehingga menurunkan daya saing. Krisis energi bisa menjadi simtom
terjadinya krisis daya saing yang menimbulkan komplikasi pada perekonomian
domestik dalam menghadapi dinamika global. Pemerintah dan otoritas moneter
seakan hanya memiliki pilihan kebijakan sangat terbatas menghadapi gejolak
perekonomian, seperti menaikkan BI Rate, memperlambat kredit, dan menaikkan
pajak. Padahal, inti persoalannya terletak pada produktivitas dan daya saing
yang begitu rapuh. Kita terlalu lama tak menyelesaikan pekerjaan rumah dengan
baik, seperti menyediakan daya listrik sampai ke daerah, sehingga selalu takut
menghadapi ujian. Semoga ujian pada perekonomian kita kali ini tidak begitu
berat sehingga meski kemampuan pas-pasan, kita tetap bisa lulus dengan baik.
No comments:
Post a Comment