A
Prasetyantoko ;
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS,
08 Juli 2013
Tak
bisa disangkal, kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan implikasi
kompleks, baik pada makroekonomi maupun kesejahteraan sosial. Inflasi melonjak
dan beban hidup masyarakat meningkat. Sementara upaya meredam inflasi harus
dilakukan dengan menaikkan suku bunga serta menambah pasokan pangan lewat
impor. Semua itu berimplikasi pada makroekonomi. Apakah keputusan menaikkan harga
bahan bakar minyak sudah benar? Dalam kebijakan publik, persoalannya bukan lagi
benar atau salah, melainkan bisa diterima atau tidak. Bekerjanya transmisi
kebijakan lebih sering berjalan lambat dan baru berefek jangka menengah
panjang, sementara ekspektasi publik biasanya pendek. Di situlah ruang di mana
keduanya sulit ditemukan. Namun, gejala yang pada awalnya tampak begitu
paradoksal, bukan berarti tidak bisa direkonsiliasikan. Dibutuhkan kesabaran
merangkai kebijakan menjadi sebuah tatanan yang bekerja secara sistematis.
Pertanyaannya, siapkah kita menjalani fase transisional yang biasanya sulit? Akibat
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), inflasi Juni meningkat menjadi 1,03
persen. Dua tahun berturut-turut, inflasi Juni (bulanan) 0,5-0,6 persen. Dampak
kenaikan harga BBM pun belum tercermin sepenuhnya pada inflasi Juni. Bulan Juli
ini, inflasi diperkirakan 2,4 persen dan inflasi hingga akhir tahun bisa di
atas 8 persen. Pada kenaikan harga BBM tahun 2008, inflasi tahunan mencapai 11
persen dan pada 2005 inflasi mencapai 17 persen. Kita pernah mengalami situasi
lebih buruk.
Bedanya,
kali ini momentumnya kurang menguntungkan. Keputusan itu sendiri melalui proses
cukup panjang. Ketika diputuskan, ekspektasi inflasi sudah telanjur tinggi
serta bertepatan dengan masa liburan sekolah juga puasa dan Lebaran. Selain
itu, situasi global juga sedang tidak kondusif. Dengan demikian, tak seluruh
skenario pasca-kenaikan harga BBM berjalan baik. Mulanya, banyak pihak berharap
kenaikan harga BBM akan segera diikuti dengan kembalinya modal asing, ditandai
dengan menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan dan nilai tukar rupiah.
Kenyataannya, indeks dan rupiah masih terpuruk pasca-kenaikan harga BBM. Di
sinilah, ekspektasi pelaku pasar (terutama asing) dengan arah kebijakan kita
belum bertemu pada ekuilibrium jangka pendek. Situasi paradoksal juga terjadi
pada ekspektasi kebijakan fiskal. Banyak pihak mengharapkan, pasca-pengurangan
subsidi, ekspansi belanja modal menjadi lebih besar. Namun, harapan tersebut
sulit terwujud, apalagi melihat konsumsi BBM ternyata tak berkurang signifikan
dengan naiknya harga. Belum lagi faktor kenaikan harga minyak di pasar dunia
akibat krisis Mesir. Di sinilah tantangan pokok yang harus dijawab
pasca-kenaikan harga BBM. Semestinya, sekecil apa pun, pengurangan subsidi
harus mampu membuka ruang peningkatan kinerja dan kapasitas perekonomian jangka
menengah-panjang. Jika kenaikan beban masyarakat tidak mampu dikompensasi
melalui pengungkit fiskal, roh kepedulian pemerintah menghilang dari sirkulasi
perekonomian.
Mengapa
masalah ekspansi fiskal pasca-kenaikan harga BBM menjadi penting? Kenaikan
harga BBM terjadi bersamaan dengan melambatnya prospek pertumbuhan ekonomi.
Ekspor terus tertekan akibat turunnya proyeksi pertumbuhan global serta
penurunan harga komoditas primer. Selain memukul ekspor, penurunan komoditas
primer juga berdampak pada penurunan investasi. Harus diakui, nadi perekonomian
kita masih bertumpu pada sektor berbasis komoditas primer. Karena itu,
pertumbuhan pada 2013 bisa tergelincir di bawah 6 persen. Tanda-tanda
melemahnya pertumbuhan ekonomi sudah terlihat dari pertumbuhan triwulan I 2013
sebesar 6,03 persen. Secara umum, pertumbuhan investasi triwulanan terus
melemah sejak triwulan II 2012. Jika dilihat dari nilai pembentukan modal tetap
bruto (gross fixed capital formation), memang baru terjadi penurunan pada
triwulan I 2013. Namun, jika dilihat pertumbuhannya, perlambatan mulai terjadi
pada triwulan III 2012.
Sektor
transportasi asing mengalami koreksi paling tajam, diikuti sektor mesin dan
perlengkapan asing. Kecenderungan ini dirasakan juga dengan merosotnya impor
bahan baku serta melemahnya penanaman modal asing langsung (foreign direct
investment). Tak bisa dimungkiri, peranan investasi pada produk domestik bruto
kita akan cenderung melemah. Jika dilihat pertumbuhan sektoral, industri
pertambangan mengalami koreksi paling drastis sejak triwulan III tahun lalu. Memang
kebijakan ekonomi selalu dihadapkan pada dilema yang menegasi satu sama lain.
Karenanya, kebijakan ekonomi tidak bisa dilakukan secara sektoral. Harus ada
kerangka kebijakan yang menyeluruh agar, jika terjadi dampak negatif dari satu
kebijakan, bisa dimitigasi dengan kebijakan lain. Terkait dengan melemahnya
permintaan domestik di tengah perlambatan ekspor dan investasi, sejatinya
pemerintah masih memiliki satu ruang untuk bermanuver, dengan mengoptimalkan
pengeluaran pemerintah. Apa yang dilakukan Menteri Keuangan dengan
menyederhanakan prosedur pencairan anggaran sudah benar. Namun, perlu
ditingkatkan melalui semacam gugus tugas yang anggotanya dari kementerian
teknis. Mereka diminta mengidentifikasi persoalan terkait pencairan anggaran.
Persoalan anggaran tidak semata pada prosedur pencairan saja, tetapi juga
kendala yang sifatnya eksternal, seperti koordinasi antarkementerian juga
dengan daerah. Dengan dibentuknya gugus tugas, letak persoalan bisa segera
diidentifikasi sehingga dapat dengan cepat dirumuskan responsnya.
Pengeluaran
pemerintah harus dilihat dalam konteks dampak penggandanya. Jika pengeluaran
pemerintah, terutama pada belanja modal, berjalan dengan baik, bisa dipastikan
akan menarik pergerakan modal swasta. Karena itu, belanja modal juga berfungsi
sebagai pengungkit investasi agar tidak terseret penurunan harga komoditas.
Intinya, kebijakan fiskal harus lebih solid menopang gejala penurunan
pertumbuhan ekonomi. Kita membutuhkan teknokrat yang berpikir jangka panjang.
Jika tidak, tahun depan semua program ekonomi akan terhenti, kecuali yang
terkait dengan perebutan popularitas menjelang Pemilihan Umum 2014. ●
No comments:
Post a Comment