A
Prasetyantoko ;
Pengajar di Unika Atma Jaya,
Jakarta
KOMPAS, 17 Juni 2013
Sering
kali, ketika kita ragu memutuskan sesuatu, pada akhirnya situasi memaksa kita
bertindak cepat. Akibatnya, kita jadi reaktif ketimbang antisipatif. Situasi
inilah yang terjadi pada perekonomian kita hari-hari ini. Rupiah terus merosot
mencapai titik terendah sejak tahun 2009, sementara Indeks Harga Saham Gabungan
terus turun ke tingkat 4.600. Secara mengejutkan, suku bunga acuan Bank
Indonesia (BI Rate) dinaikkan 25 basis poin menjadi 6 persen. Rupiah sempat
diperdagangkan di pasar non- eliverable forward atau transaksi lindung nilai
untuk kepentingan masa depan dan menembus Rp 10.000 per dollar AS. Adapun
Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari rekor tertingginya di tingkat 5.200, sementara
imbal hasil obligasi merangkak naik. Apa sejatinya penyebab ”kepanikan” pasar
ini? Benar, faktor global menjadi salah satu penyebab gejolak. Di pasar
keuangan dikenal istilah ”paradox likuiditas”. Intinya, ketika terjadi gejolak,
likuiditas akan mengalir ke tempat yang dianggap paling aman. Selama ini,
negara-negara maju (khususnya Amerika Serikat) selalu percaya diri bahwa merekalah
tempat paling aman untuk menyimpan aset keuangan. Itulah mengapa mereka tak
terima ketika peringkat utangnya diturunkan oleh lembaga pemeringkat Standard
& Poor’s. Itulah jugamengapa mereka tak pernah khawatir dengan penerbitan
surat utang terus-menerus meskipun tingkat utangnya sudah terlalu tinggi.
Negara maju percaya mereka tetap bisa berutang dengan biaya murah.
Argumen
tersebut ada benarnya. Setiap kali stimulus ekonomi dilakukan di negara maju,
likuiditas cenderung mengalir ke negara berkembang. Tujuannya, mencari imbal
hasil lebih tinggi. Bayangkan, rata-rata suku bunga di negara maju hanya 0,25
persen. Bedanya dengan suku bunga kita bisa 5-6persen. Namun, setiap terjadi
gejolak, likuiditas akan kembali ke pasar negara maju, sementara kita harus menaikkan
suku bunga untuk mempertahankan modal asing. Negara maju tetap menikmati suku
bunga rendah, baik di masa normal maupun saat terjadi gejolak. Bagi negara
berkembang, argumen lama tentang ”dosa asal” (original sin) dalam ekonomi
menjadi relevan. Ketidakmampuan sebuah Negara membiayai diri dalam mata uangnya
menjadi akar dari segala macam gejolak. Dalam kasus ini, jika masih
mengandalkan investor asing, pasar modal dan pasar utang harus siap terpapar
dengan risikovolatilitas. Lalu apa kaitannya dengan bahan bakar minyak (BBM)?
Masalah kepanikan tak pernah terjadi begitu saja. Faktor global terkait rencana
The Fed mengurangi stimulus ekonomi, prospek ekonomi China, dan kondisi Eropa
yang di bawah harapan tentu mendorong gejolak investor global. Namun, mengapa
pasar bereaksi begitu keras kepada kita? Karena kita menyimpan beberapa
persoalan fundamental.
Salah
satu isu paling pokok dalam perekonomian kita adalah soal target defisit
anggaran. Besarnya subsidi akibat konsumsi BBM yang terus meningkat telah
menimbulkan komplikasi ke sejumlah hal: defisit fiskal, neraca transaksi
berjalan, neraca pembayaran, dan nilai tukar. Secara teknis ekonomi, pilihannya
hanya dua: mengurangi subsidi atau menerbitkan utang untuk menghindari defisit
yang diperbolehkan oleh undang-undang (UU), yaitu sebesar 3 persen. Sekadar
penghematan dari sisi pengeluaran dan mendongkrak pemasukan sudah tidak lagi
mampu menutup defisit yang akut. Pilihan lain, mengubah UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait
target defisit. Namun, itu membutuhkan proses politik yang panjang, sementara
persoalannya begitu mendesak. Urgensi tak sekadar mengamankan pasar keuangan
dari pelarian modal, tetapi juga menghindarkan diri dari instabilitas
makroekonomi yang berkepanjangan. Dinamika ekonomi biasanya dibagi dalam
perspektif jangka pendek dan panjang. Jangka pendek biasanya terkait dengan isu
stabilitas, sedangkan jangka panjang umumnya mengenai intermediasi. Keduanya
terkait satu sama lain. Bagaimana mungkin berpikir soal intermediasi
(memperbaiki kualitas fiskal, menambah belanja modal, dan memberikan insentif
usaha kecil) jika situasinya tidak stabil. Maka, respons cepat mengatasi
persoalan instabilitas, baik pada kurs maupun bursa saham, harus ditempatkan
dalam konteks kepentingan jangka panjang, yaitu mendorong fungsi intermediasi. Terkait
dengan kenaikan harga BBM, semakin lama ditunda semakin kehilangan kesempatan
untuk melakukan ekspansi dan memperbaiki sisi produksi kita. Meski begitu,
penolakan kenaikan harga BBM, baik dari partai oposisi maupun sejumlah kelompok
dalam masyarakat, tetap harus ditangkap esensinya. Selama ini terlalu banyak
kebijakan yang implementasinya distortif dan mendorong perilaku pemburuan rente
(rent seeking) ekonomi. Begitu juga di sektor minyak dan gas. Belum lagi
berbagai praktik pemburuan rente yang ada di sekitar birokrasi pemerintah dan
proses legislasi di parlemen. Sulit mencari dinamika ekonomi yang tak
berlumuran dengan praktik pemburuan rente ekonomi di negeri ini. Tentu saja,
itu masalah amat serius, tetapi bukan berarti bisa menegasi urgensi kebijakan
BBM.
Ibaratnya,
ada orang mengalami serangan jantung dan harus segera diambil tindakan medis
tertentu. Namun, tindakan tersebut dianggap tak relevan dengan menunjukkan
betapa buruknya perilaku orang itu soal makanan dan olahraga. Tumpukan
kolesterol telah menimbulkan komplikasi yang fatal. Korupsi dan inefisiensi
birokrasi bagaikan tumpukan kolesterol dalam darah yang bisa mematikan fungsi
jantungkita. Namun, tidak melakukan apa pun di saat kritis juga sebuah
keputusan fatal. Seruan pemberantasan korupsi bagaikan anjuran makan sehat dan
olahraga teratur. Begitu mudah diucapkan,
tetapi sulit dilakukan atau, kalaupun dilakukan, hanya satu atau dua kali.
Padahal, untuk menghindari serangan jantung, olahraga harus dilakukan secara
teratur dan konsisten dalam jangka panjang. Apakah partai politik konsisten
melawan korupsi? Jika tidak, baik yang dikritik (pemerintah) maupun yang mengkritik
(parlemen) sama-sama mengidap hipokripsi. Penyakit yang juga jamak di negeri
ini. ●
No comments:
Post a Comment