Siapkah kita menerima kemegahan
Majapahit kembali?
Oleh Mahandis Y.Thamrin
Foto oleh Dwi Oblo
http://nationalgeographic.co.id /
Edisi September 2012
CAHAYA MATAHARI PAGI NAN CERAH
ITU MEMANTUL DI WAJAH YUSMAINI Eriawati. Dia tampak semringah berdiri di tepi
kotak ekskavasi, berkemeja kotak-kotak biru lengan panjang. Scarf mini bermotif
bunga melilit di lehernya. Perempuan ramah ini mengajak saya berjalan menembus
semak dan pepohonan rindang meninggalkan timnya. Kami berjalan menuju deretan
linggan, gubuk beratapterpal tempat batu bata tradisional dicetak dan dibakar.
Para pembuat batu bata itu telah meninggalkan ceruk-ceruk tanah hasil galian
yang di dalamnya berserak hamparan batu bata kuno, pecahan tembikar dan keramik.
Eriawati lalu memunguti pecahan keramik seladon hijau mengilat asal China abad
ke-14. “Di sinilah kami memperkirakan permukiman golongan atas Majapahit,”
ungkapnya sambil berjongkok di ceruk penuh batu bata kuno, “karena
keramik-keramiknya berkualitas bagus.” Beberapa langkah kemudian dia menemukan
lagi sebuah pecahan tembikar, sebuah jambangan besar dengan ragam hias nan
raya, juga sisa-sisa unsur rumah zaman Majapahit lainnya. “Nah ini ukel besar!” seru Eriawati sambil
membungkuk. “Ini salah satu bukti bahwa di sini pernah berdiri
bangunan-bangunan besar yang menggunakan genting.”
Eriawati adalah ahli arkeologi
dari Pusat Arkeologi Nasional. Selama 2007-2012, dia dan timnya meneliti
struktur bangunan tinggalan Kota Majapahit di Desa Sentonorejo, Trowulan,
sekitar sepuluh kilometer dari Mojokerto, Jawa Timur. Selain itu, timnya juga
menyurvei permukiman kuno di tepian kanal Majapahit. Dia mengatakan, di kawasan
Trowulan, ahli arkeologi harus berpacu dengan perusakan lahan yang digarap
pemilik kebun atau pembuat bata. Apabila terlambat, data arkeologi kemegahan
Majapahit itu akan rusak, bahkan lenyap. “Beberapa tahun lalu kami melakukan
ekskavasi di sekitar sini,” kata Eriawati seraya menunjuk salah satu ceruk yang
meluas. “Di samping persis ayunan cangkul pembuat batu bata yang mengikis lapis
demi lapis di tanah yang kaya artefak zaman Majapahit itu.” Kami lalu beranjak
menyusuri pekarangan warga menuju lokasi ekskavasi. Sebidang tanah di bekas
rumah kepala desa setempat itu kini menjadi lokasi penelitian mereka yang
disewa sekitar dua minggu. Sambil berjalan, Eriawati berkata bahwa saat ini
timnya tidak bisa melanjutkan penelitian di lokasi yang sama seperti tahun
lalu. Saya bertanya kenapa dan mendapatkan jawaban mengejutkan: karena tepat di
atas temuan struktur tembok kuno tahun lalu itu, kini telah menjadi kebun
pepaya berbuah ranum!
Eriawati memantau struktur
permukiman dan lantai kuno yang tengah digali secara hati-hati oleh para ahli
arkeologi. Seperti kota-kota modern, di Kota Majapahit juga terjadi pemakaian
ulang yang tumpang tindih pada struktur permukimannya. Eriawati menunjukkan
dinding-dinding itu saling terobos sehingga sulit membedakan apakah lapisan
dinding itu digunakan semasa atau pada periode sebelumnya. Namun, teka-teki
belumlah berakhir. Di tepian kotak penggalian itu dia berkata, “Sayangnya,
sebagian besar susunan batu batanya sudah amburadul akibat pencarian emas
besar-besaran pada 1960-1970-an.” Teraduknya lapisan budaya dan hancurnya
struktur bangunan kuno—yang tentu menyulitkan kerja ahli arkeologi—terus
berlanjut dengan maraknya pembuatan growol atau semen bata kuno pada 1980-an.
Bahkan, sampai hari ini penduduk masih menggunakan “sumber daya yang melimpah”
itu untuk membangun rumah dan pagar-pagar desa. Beberapa tahun terakhir,
Eriawati dan timnya telah berhasil menampakkan
unsur permukiman kuno di Sentonorejo. Hasilnya, kawasan dengan sebaran
temuan seperti struktur dinding bersaluran air, hamparan lantai terakota
persegi empat dan enam, umpak batu berhias tumpal, dan sisa sumur jobong.
Eriawati menduga, terdapat dua lokasi dengan fungsi berbeda menurut banyaknya
ragam temuan genting dan peralatan sehari-hari. Di sisi barat “ada bangunan
khusus yang bukan untuk kepentingan sehari-hari,” ungkap Eriawati. “Tetapi,
sisi timur itu daerah yang ditempati harian karena temuan keramik dan
tembikarnya bervariasi, kebanyakan barang-barang harian, seperti pecahan
tempayan, pasu, pinggan, kendi, mangkuk, dan anglo.” Tahun ini, timnya juga
kembali menemukan struktur batu bata yang diperkirakan sebagai pembagi ruang
dalam suatu bangunan dan struktur lainnya sebagai tembok pembatas kaveling
permukiman. Bak sebuah kota yang agung, seluruh temuan struktur bangunan di
kawasan Trowulan, memiliki kesesuaian orientasi dengan jaringan kanal kunonya,
yaitu antara 5-12 derajat dari arah utara. Suatu siang nan menggelora di bawah
pohon durian muda, Eriawati duduk beralas terpal biru ditemani segelas kopi
krim panas. Dia tengah memeriksa satu per satu temuan aneka pecahan cawan dan
wadah keramik. Tampaknya ramainya temuan keramik asal penjuru China, Vietnam,
dan Thailand menunjukkan adanya aktivitas perdagangan internasional di kota
metropolitan yang hilang itu. “Ini cawan keramik abad ke-14 dari Dinasti Yuan,
Manchuria,” ujarnya sembari menunjukkan kepada saya bagian pantat cawan yang
tak berglasir.
Ma Huan, salah seorang penerjemah
dan ahli tafsir armada Cheng Ho, pernah menuliskan kesannya tentang warga Ibu
Kota Majapahit dalam naskah Ying-yai Sheng-lan atau “Survei Menyeluruh Kawasan
Pantai-pantai.” Pada Maret–Juli 1432, armada itu merapat ke Jawa dan bertandang
ke Majapahit di mana sang raja tinggal. Menurut Ma Huan, ada tiga golongan
warga di Majapahit: muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, orang Cina
Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindhu-Buddha.
Rupanya, kerukunan hidup beragama saat itu telah terbina dengan baik. Dia juga
melukiskan bagaimana orang-orang Majapahit menggemari barang-barang China
seperti keramik biru, kain sutera berhias benang emas, kesturi, dan
manik-manik. Bahkan, Raja Majapahit secara berkala mengirimkan utusan yang
mengangkut barang-barang asal Jawa, dan mempersembahkannya kepada Kaisar di
China. Berdasarkan temuan keramik menurut periodenya, Eriawati memaparkan,
bangunan-bangunan ini dihuni dalam masa yang lebih panjang sekitar abad ke-14
sampai 15. Kemudian hunian berlanjut hingga awal abad ke-16 dengan masa yang
lebih singkat. Temuan lain yang tak kalah menarik di sekitar permukiman kuno
itu adalah fragmen perhiasan emas dan perunggu, beberapa koin China abad ke-12,
hingga potongan tulang babi dan kerbau. Kemungkinan berbagai tulang itu
menunjukkan jenis satwa yang dulu disantap oleh penghuni permukiman itu. Saya
menanyakan soal bagaimana penyajian santapan zaman Majapahit kepada Lien Dwiari
Ratnawati di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bilangan Sudirman, Jakarta
Pusat. Sebagai Kepala Subdirektorat Perlindungan Kekayaan Budaya yang sekaligus
penghobi kuliner, Ratnawati selalu menyiapkan aneka kudapan biskuit dan keripik
di laci meja kerjanya. Menurutnya, berbagai prasasti peresmian daerah perdikan
Majapahit menyebutkan jenis makanan yang disediakan dalam acara tersebut. Tak
diduga, cara penyajian makanan masa itu tidak jauh berbeda dengan masa
sekarang: nasi tumpeng dengan lauk-pauk; seperti daging, kerbau, kijang, babi,
ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lauk diolah dengan diasinkan, diasamkan,
diasap, dipanggang, hingga direbus. “Seperti gunungan, ada sayur-sayurannya,”
ungkap Ratnawati. Bahkan, tempat “makannya pakai daun pisang, sama seperti masa
sekarang.” Dari prasasti peresmian daerah perdikan pula para ahli arkeologi
telah mengungkap tentang sejarah hunian di Majapahit. Tiga buah prasasti
tembaga pada masa Pu Sindok—lanjutan dinasti Mataram Kuno—yang ditemukan di
Trowulan menunjukkan bahwa desa itu merupakan permukiman berkesinambungan sejak
abad ke-10. Bahkan, Candi Brahu dan Gentong diduga warisan dari dinasti itu.
Lalu, Singhasari pada masa Kertanagara juga pernah berjejak berdasar sebuah
prasasti yang memperingati penanaman pohon boddhi di Trowulan.
PENERUS SINGHASARI KELAK
menentukan takhta Majapahit. Alkisah di akhir abad ke-13 tatkala Singhasari
pada masa Kertanagara, terjadilah pemberontakan Jayakatwang, penguasa Kadiri
yang menjadi kerajaan bawahan Singhasari. Akibat pemberontakan yang dipicu
balas dendam itu Singhasari menemui kehancurannya. Namun, ada kebangkitan
kembali berkat menantu Kertanagara sendiri, yaitu Raden Wijaya. Nama “Majapahit”
ditahbiskan ketika Raden Wijaya dan pengikutnya asal Madura tengah mendirikan
sebuah permukiman di pinggiran Sungai Brantas, hutan orang-orang Trik. Tatkala
para pengikut yang sedang membuka hutan itu kelaparan, mereka makan buah maja
yang rasanya pahit. Lalu, lahirlah Majapahit menjadi nama desa. Sumber naskah
Jawa tertua yang menyebutkan daerah bernama Majapahit itu adalah kitab yang
baru ditulis pada 1600, Serat Pararaton. Naskah kuno itu tidak menyebutkan
Majapahit sebagai ibu kota, melainkan suatu permukiman ketika Raden Wijaya
mempersiapkan perjuangannya untuk merebut kembali kejayaan Singhasari.
Akhirnya, Raden Wijaya berhasil merebut kekuasaan dari pemberontak. Kemudian
dia bertakhta di Ibu Kota Majapahit sebagai raja yang pertama bergelar Kertarajasa
Jayawarddhana pada 10 November 1293, yang diperingati sebagai hari jadi
Majapahit. Kelak dia menurunkan raja-raja Majapahit, dan raja-raja penerusnya
di Tanah Jawa yang bertakhta hingga hari ini. “Kita tidak tahu sebenarnya di
mana ibu kota itu,” kata Hasan Djafar—ahli arkeologi, epigrafi dan sejarah
kuno—yang pernah meneliti soal masa akhir Majapahit. Sejauh ini tidak ada
sumber tertulis yang menyebutkan secara tersurat lokasi persisnya Majapahit.
Namun menurut Djafar, berita Cina yang ditulis Ma Huan menyebutkan sebuah ibu
kota yang terletak sisi barat daya Canggu—pelabuhan kuno di tepian Sungai
Mas—sejauh berjalan kaki selama satu setengah hari. “Kalau kita perhitungkan
lokasinya sekitar Trowulan sekarang,” ungkapnya. Dari catatan Ma Huan sepertinya
Majapahit telah pindah dari pinggiran Brantas ke daerah agak pedalaman, namun
pelabuhan dan sungai masih merupakan jalur utama menuju kerajaan itu. Prasasti
Canggu pada 1358 menyebutkan tentang tempat penyeberangan di sungai-sungai
besar, seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Pertumbuhan tak hanya di
daerah pedalaman, tetapi juga di daerah sepanjang pantai utara Jawa. Djafar
berpendapat hal ini membuka peluang Majapahit menjadi kerajaan yang bukan hanya agraris, melainkan juga komersial
sebagai kerajaan maritim.
Pada masa Raja Hayam Wuruk ketika
Majapahit mencapai masa keemasannya, “Prapanca menuliskan gambaran Nusantara
dengan begitu detailnya dengan menyebutkan berbagai kepulauan,” tutur Djafar.
Dia mengacu pada sumber sejarah Kakawin Nagarakertagama yang sesungguhnya
berjudul Desawarnana. Karya pujasastra ini digubah oleh Rakawi Prapanca pada
1365, seorang pujangga Majapahit yang kelak menjadi “pelopor sejarawan modern
dan jurnalis pionir di Indonesia.” Lalu, saya menanyakan kepada Djafar tentang
sesuatu yang telah menjadi panutan umum: bahwa Majapahit mempunyai wilayah
Nusantara yang teritorinya seperti Republik Indonesia. “Itu omong kosong!” ujar
Djafar, “tidak ada sumber yang mengatakan
seperti itu.” Dia mengingatkan, semuanya harus kembali ke sumber
tertulisnya. “Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa, itu pun hanyaJawa Timur
dan Jawa Tengah.” “Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa
Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna “nusa” adalah
“pulau-pulau atau daerah”, sedangkan “antara” adalah “yang lain.” Jadi
Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai “daerah-daerah yang
lain”—karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit. Djafar berpendapat,
Nusantara merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk
kepentingan bersama demi keamanan dan perdagangan regional. Mereka berkoalisi
sebagai mitra satata—sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama. “Jangan
diartikan kepulauan di antara dua benua,” ujarnya. “Bukan pula nusa yang
lokasinya di antara." Sebagai kerajaan adidaya, Majapahit berkepentingan
untuk mengamankan wilayah kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai daerah tujuan
pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam untuk perdagangan. Namun
demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu
memberikan upetinya kepada Majapahit seolah membuktikan ketundukan
kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit. “Tidak ada satu kata
pun dalam Nagarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti tanda tunduk seolah
menjadi negara jajahan Majapahit,” ujar Djafar. Berdasar uraian
Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar
setiap tahunnya. Para penguasa yang
diundang ada yang memberikan hadiah-hadiah kepada Raja Majapahit,
dan menurut Djafar hadiah itu bukanlah
upeti. “Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu
merdeka.”
Lalu mengapa sampai ada anggapan
bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit? “Barangkali karena founding
fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Djafar lirih. “Kemudian
Muhammad Yaminmenggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.” Di
sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya menemukan karya Yamin yang dimaksud
Djafar. Salah satu tokoh pendiri negara Indonesia itu pernah menulis sebuah buku Gajah Mada,
Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah
dicetak ulang belasan kali. Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah
Republik Indonesiaberjudul “Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit.”
Tentang peta ini Djafar mengungkapkan, “gagasan persatuan ini oleh para
sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada
penaklukan. Itu salahnya!” Yamin, dalam buku itu, juga menampilkan foto
sekeping terakota berwujud wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal.
Yamin dengan keyakinan ilmu firasatnya menuliskan di bawah foto sosok itu,
“Gajah Mada... Rupanya penuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan air mukanya
menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.” Namun,
belakangan saya melihat kepingan itu di Museum Trowulan, yang memiliki koleksi
Majapahit terlengkap. Sejatinya itu bagian dari celengan kuno dan tak
berkaitan dengan Gajah Mada. Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal
dengan wajah seperti dalam buku Yamin itu telah berdiri di halaman Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia di Kebayoran Baru. “Itu skandal ilmiah dalam
sejarah,” ujar Djafar.
SELAGI PAGI MEREBAH DI CANDI
TIKUS, Gunung Penanggungan, Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro sedang menggulung
kelambu halimunnya. Saya menemani Sugeng Riyanto, seorang rekan satu tim dengan
Eriawati, yang melakukan survei potensi tinggalan arkeologi sepanjang kanal
Majapahit. Jaringan kanal kuno itu dipengaruhi oleh dua sungai besar yang mengapit
Ibu Kota Majapahit, Sungai Brangkal dan Sungai Gunting. Keduanya mendapatkan
sumber air di gunung-gunung sisi selatan dan bersama-sama bermuara di Sungai
Brantas, sisi utara ibu kota. Candi
Tikus yang kami datangi merupakan salah satu bangunan air tinggalan Majapahit.
Candi Tikus sejatinya merupakan petirtaan kuno yang dibangun sekitar abad
13-14. Arsitekturnya merepresentasikan Gunung Mahameru di India. Dalam mitologi
Hindu, gunung tersebut merupakan tempat suci bagi para dewa dan sumber dari
kehidupan alam semesta. Pancuran-pancuran mengalirkan air yang menyimbolkan air
suci amertamantana atau air kehidupan. Pada zaman kemegahannya, petirtaan ini
mendapatkan air dari sisi selatan, lalu air dialirkan ke utara lewat dasar
lantai ke kanal-kanal Majapahit. Umumnya pengunjung heran mengapa dinamakan
Candi Tikus. Papan informasi di dekat kantor juru pelihara akhirnya menjelaskan
rasa penasaran itu. Jadi, suatu hari pada 1914 tatkala warga desa tengah
membinasakan hama tikus, sebuah gundukan tanah yang diduga sarang tikus alhasil
menjadi tujuan amukan warga. Ketika warga menggerataknya, tersingkaplah sebuah
bangunan batu bata yang hingga kini dikenal sebagai Candi Tikus. Ah, Candi yang
malang, pikir saya usai membaca riwayatnya. Pastinya dulu dia diagungkan sebagai
petirtaan suci, tetapi kini dikenang dengan nama satwa pengerat nan
menjijikkan. Di sisi utara petirtaan itu Riyanto menghampiri tebing tanah di
pinggir sawah. Lalu, dia menunjukkan kepada saya suatu bukti bahwa daerah yang
kita pijak itu dulunya bagian dari jaringan tata kelola air kuno. Riyanto
berkata, “Lihat, lapisan pasir dan kerakal ini membuktikan bahwa di sini dulu
daerah aliran air.”
Kami merasa seperti menemukan
kembali suatu kearifan lokal dari zaman Majapahit. Pemerintah kerajaan tampaknya
sangat sadar dan tanggap dengan gejala alam yang dihadapinya. Lokasi kerajaan
ini terletak di daerah kipas aluvial–dataran yang terbentuk dari bahan-bahan
erosi lereng gunung. Ketika musim hujan, air akan meluap ke dataran sekitarnya
yang lebih rendah. Sebaliknya, sungai-sungai berkurang debit airnya kala musim
kemarau. Para penata laksana Majapahit berpikir untuk merevitalisasi fungsi
danau alam dan membuat jaringan kanal-kanal—juga penampungan air baru.
Jaringan itu membentang dan bersilangan sehingga membentuk bidang-bidang
persegi di ibu kota itu. Lima jalur kanal melintang utara-selatan, sementara
tujuh lainnya membujur barat-timur yang salah satunya berujung di petirtaan
Candi Tikus. Menurut Riyanto, jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan,
panjangnya bisa mencapai sekitar 26 kilometer! “Majapahit memang dikenal jago
dalam manajemen teknologi air.” Saat ini kenampakan jalur-jalur kanal itu
memang tak seindah dan tak sekentara peta hasil survei Riyanto.
Kini, bekas jaringan kanal itu
telah menjelma menjadi sawah, permukiman, kebun tebu, dan lapangan parkir situs
permakaman muslim zaman Majapahit. “Kita perkirakan kanal-kanal itu awalnya
berukuran delapan sampai lima belas meter lebarnya,” ujarnya, “sekarang sudah
ada yang mencapai enam puluh hingga tujuh puluh meter.” Hal yang membuat saya
terpesona, sebuah kolam raksasa berdinding batu bata tinggalan Majapahit masih
bisa disaksikan hingga sekarang. “Segaran” demikian warga menyebutnya, yang
bermakna laut buatan. Luas kolam itu 6,5 hektare atau enam kali lapangan sepak
bola! “Mungkin itu adalah kolam artifisial terbesar di dunia,” ungkap Riyanto.
Bagaimana membuktikan bahwa jaringan kanal-kanal di Trowulan itu berasal dari
zaman Kerajaan Majapahit? Menurut Riyanto, arah orientasi jaringan kanal-kanal
kuno itu sama persis dengan arah bangunan zaman Majapahit. Hasil survei di
jalur kanal juga tidak menunjukkan adanya temuan arkeologis. “Kanal dibangun
awal, kemudian bangunan menyesuaikan.” Riyanto juga menolak anggapan bahwa
kanal-kanal tersebut dibangun pada masa Hindia Belanda. Dia berpendapat bahwa
saluran irigasi yang dibangun Belanda untuk perkebunan tebu sekitar Trowulan
itu sebetulnya melanjutkan fungsi kanal-kanal kuno. “Sekecil apapun bangunan
yang dibuat Belanda pasti ada arsipnya,” kata Riyanto bersemangat. Namun,
“kanal-kanal ini tidak ada arsipnya sama sekali di Belanda.” Dugaan bahwa
kanal-kanal tersebut tinggalan Majapahit diperkuat dengan uraian Prapanca dalam
Nagarakertagama. Sang pujangga itu menggambarkan Keraton Majapahit pada pupuh
VIII: “Tersebut keajaiban kota, tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari
pura. Pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap lapangan luas , bersabuk
parit.” Menurut Riyanto, kata-kata
“tembok batu merah” dan “bersabuk parit” itu mengisyaratkan perwujudan kanal di
bagian Kota Majapahit. Pernyataan pertama yang menunjukkan jalur-jalur kanal
kuno itu dicetuskan oleh Karina Arifin pada 1983, kini ahli arkeologi di
Universitas Indonesia. Berdasar citra foto udara awalnya jalur-jalur itu
ditafsirkan sebagai jalan raya, namun pengamatannya di lapangan membuktikan
bahwa itu adalah bekas jalur kanal. Buktinya, Arifin menemukan tumpukan batu
bata kuno yang diduga adalah dinding penguat kanal. Selain itu, letaknya lebih
rendah daripada permukiman. ”Setelah dibor sampai empat meter ternyata itu
lapisan sedimentasi,” kenang Arifin. ”Jadi dulunya itu mestinya kanal, bukan
pengerasan jalan.” Dalam sebuah diskusi awal tahun ini di Museum Nasional, para
ahli arkeologi memaparkan hasil penelitiannya tentang Majapahit. Guru Besar
Arkeologi Universitas Indonesia Mundardjito mengisahkan pengalamannya
menyelisik Trowulan selama tiga puluh tahun lebih kepada saya. Seiring
melimpahnya temuan, kini dirinya mulai yakin bahwa Trowulan itu dulunya adalah
sebuah ibu kota. Alasannya, tidak ada lagi kawasan kuno yang menyamai ragam
temuan dan teknologi masyarakatnya. “Berarti inilah ibunya, yang lain anaknya,”
ujarnya terkekeh. Indonesia memiliki banyak kerajaan tua sebelum Majapahit
berdiri, tetapi kerajaan-kerajaan itu tak satu pun yang menyisakan tinggalan
kota kunonya. “Yang ada, ya hanya di Trowulan”, ungkap Mundardjito, “inilah
kota kuno satu-satunya!”
Menurut Mundardjito, kanal-kanal
Majapahit merupakan teknologi adaptasi masyarakat terhadap musim yang bersifat
ekologi. Mereka berhasil mengalirkan air limpahan dari kota ke dalam jaringan
kanal. Sebaliknya pada musim kemarau, deposit air dalam tanah selalu tersedia
sehingga sumur-sumur warga tak pernah kehabisan air. “Tidak seperti Jakarta,
kanal barat dan kanal timur tidak dipertemukan sehingga limpahannya sampai ke
tempat presiden,” ujarnya. “Tetapi, masalah limpahan air di Majapahit tidak
sampai ke tempat raja karena kanal-kanal tersebar merata di permukiman.”
Sejumlah enam danau alam telah direvitalisasi oleh pemerintah Majapahit sebagai
waduk untuk pengairan sawah. Jaringan kanal di Majapahit saling berkait dengan
waduk, sungai, curah hujan, kolam, dan drainase di bawah permukaan tanah. “Itu
suatu sistem yang sangat luar biasa,” ungkap Mundardjito. “Jangan melihat kanal
sebagai satu hal saja!” Kepadatan temuan tembikar dan keramik asing pun berada
di kawasan dekat jaringan kanal-kanal, bukan daerah pinggiran. Ragam jenis
temuan arkeologi itu sangat banyak dan karya ukirannya pun sangat indah yang
menunjukkan kehidupan perkotaan. Mundardjito menduga para artisan itu
dilindungi dan dipelihara raja. “Tidak pernah kita menemukan situs lain dengan
kualitas dan jumlah yang luar biasa” ungkap Mundardjito dengan bergelora. “Nah,
itu menandakan ibu kota!” Djafar yang duduk di sebelahnya menambahkan, Ibu
Kota Majapahit bersistem mandala, artinya di sinilah pusat pemerintahan dan
tempat tinggal raja yang dikelilingi para pejabatnya. Struktur pemerintahan
Majapahit itu terdiri atas kerajaan-kerajaan daerah. Raja-raja daerah itu disebut
“paduka batara” atau bhre yang umumya para kerabat raja. “Seperti republik kita
dengan provinsinya,” ujar Djafar, “raja daerah itu semacam gubernur.” “Penanda
sebuah kota yang besar itu harus ada monumental works,” ungkap Mundardjito. Dia
menunjukkan Trowulan masih memiliki sisa-sisa bangunan permukiman dan bukti
bangunan monumental lainnya seperti kompleks candi Hindu dan Buddha di sisi
utara, sistem jaringan kanal dan waduk, gapura-gapura, dan sebuah kolam buatan
berukuran raksasa. “Tetapi, jika ini hancur semua, kita hanya punya cerita.
Tidak punya bukti,” dia berhenti sesaat lalu berkata, “itu namanya negara
dongeng.” Uniknya, tidak seperti bangunan kerajaan lainnya, Ibu Kota Majapahit
tidak memiliki tembok kota. Kesimpulan itu diperoleh Mundardjito usai menyisir
Trowulan dalam Indonesian Field School of Archaeology 1991-1993. “Esensinya,
temuan tembok kota itu tidak ada,” katanya. Ibu kota ini “luar biasa sekali dan
luasnya sembilan kali sebelas kilometer!”
SEBUAH PERMUKIMAN TENTUNYA
memiliki ruang. Saya kemudian terbang ke Palembang untuk menemui Nurhadi
Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang. Rangkuti pernah mengajukan konsep
ruang Ibu Kota Majapahit seluas sembilan kali sebelas kilometer. Tatkala
Rangkuti menyisir zona peralihan antara kenampakan kekotaan dan kedesaan
Majapahit pada 2003, dia mendapati tiga yoni berukuran besar di tiga desa:
Lebak Jabung, Sedah, dan Klinterejo. Yoni-yoni itu tak hanya berukuran besar,
namun juga berukir hiasan raya dan bercerat naga bermahkota. Dia juga menemukan
sisa-sisa kompleks pemujaan Siwa di sekitar yoni-yoni tersebut. Setelah
menghubungkan titik-titik koordinat ketiga desa itu, dia mendapatkan titik yang
keempat berada di Desa Tugu-Badas, sisi barat laut Trowulan. Sayangnya,
Rangkuti tidak menemukan yoni berukuran besar dan bercerat naga di Tugu-Badas.
Meskipun demikian, dia menganggap Tugu-Badas mewakili titik penting lantaran
adanya temuan batu-batu candi di desa itu. “Yoni itu hanya salah satu
komponen,” ungkap Rangkuti. “Komponen lainnya adalah bangunan suci atau pura.”
Jika keempat titik tersebut dihubungkan dengan garis akan tampak sebuah kawasan
persegi yang sempurna dengan lebar sembilan kilometer dan panjang sebelas
kilometer. Dia menduga bahwa empat titik ini memang sengaja dirancang oleh para
penata laksana Majapahait terkait dengan kawasan ibu kota yang mereka bangun.
“Ini bukan batas kota sebenarnya,” kata Rangkuti, “tetapi adalah konsepsi
tentang penataan ruang Majapahit.” Di bilangan Jakarta Selatan, saya
berkesempatan bertemu dengan Junus Satrio Atmodjo selaku Ketua Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia yang pernah terlibat dalam penyusunan Rencana Induk
Arkeologi Trowulan pada 1983-1986. Saya bertanya kepadanya apakah temuan empat
titik yang dikemukakan Rangkuti suatu kebetulan belaka? “Susah juga kalau itu
kebetulan,” jawabnya, “garis-garis itu begitu manis bentuknya. Jarak satu
dengan yang lain bisa pas!” Namun, dia buru-buru menambahkan, terdapat
perbedaan antara arah orientasi konsepsi wilayah Ibu Kota Majapahit yang
disajikan Rangkuti dan arah orientasi kompleks bangunan Trowulan yang ada
didalamnya—permukiman kuno, candi, dan kanal. “Kok bisa punya dua mata angin yg
berbeda?” sanggahnya. Kami akhirnya membicarakan soal karut marutnya
pelestarian situs-situs bersejarah di Indonesia. Menurut Atmodjo, kebudayaan
dalam pemerintahan sekarang telah membentuk kesempatan seseorang untuk
memperkaya diri dan penuh kepentingan politik. “Jadi seharusnya ada politik
kebudayaan,” ujarnya. “Kebudayaan itu adalah urusan wajib sedangkan pariwisata
itu urusan pilihan.”
Saya jadi teringat pemaparan
Mundardjito, bahwa kebijakan politik kebudayaan itu tidak berjalan. Kasus
perusakan oleh negara atas tinggalan Majapahit terjadi lagi ketika pembangunan
Pusat Informasi Majapahit (PIM) di lahan Museum Trowulan pada 2008. Dia melihat
sendiri tatkala pondasi-pondasi bangunan PIM yang rencananya untuk melindungi
tinggalan Majapahit itu justru menghancurkan apa yang seharusnya
dilestarikan—perusakan sebelumnya: pembangunan Balai Penyelamatan Arca pada
awal 1980-an yang kelak diresmikan sebagai Museum Trowulan. Dia pun harus
melapangkan dadanya melihat seluruh kronologi
lapisan budaya Majapahit kian hari kian tergerus habis. “Itulah hakekat
data arkeologi di Trowulan,” ujarnya, “dan, kita harus merekonstruksinya dengan
cara apa pun.” Suatu sore di Bintaro, Tangerang Selatan, saya berkunjung ke
studio arsitektur nan asri milik Osrifoel Oesman, lelaki penyuka busana hitam
yang kerap mengikat rambutnya. Oesman mungkin satu-satunya sarjana arsitektur
yang menekuni studi arkeologi di Indonesia. Pada akhir 1990-an, dia
merekonstruksi bangunan hunian situs Kota Majapahit di Trowulan. Dia telah
sampai pada kesimpulan bahwa sebagai suatu kota, Majapahit mempunyai tiga
kategori ruang. Pertama, ruang makro yang terletak di luar kanal. Kedua, pusat
kota metropolitan yang berada di sepanjang jaringan kanal. Ketiga, permukiman.
“Bicara kota tanpa permukiman itu sama saja bohong,” tuturnya. Penggalian
arkeologi Situs Segaran dekat Museum Trowulan telah memunculkan informasi
bangunan rumah terlengkap sepanjang masa klasik Indonesia. Berdasar temuan
arkeologi, etnografi, dan paparan relief-relief candi yang melukiskan rumah
masa Majapahit, Oesman bisa membayangkan seperti apa permukiman kota kuno itu.
Ibarat kembali ke masa lalu, kemudian membangunnya kembali di masa kini,
menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas
kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, terdapat pengelompokan
rumah berukuran besar, sedang, dan kecil. Arsitektur Majapahit masih bisa
ditemui padanannya dengan rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip
Bali, tapi Bali-lah yang mirip Majapahit,” ungkap Oesman dengan tegas.
Rekonstruksi yang dilakukan Oesman telah membuktikan bahwa pola rumah-rumah di Ibu Kota Majapahit mempunyai suatu sistem
yang berpola orientasi yang sama, 5-12 derajat dari arah utara. Ternyata
kearifan lokal arsitektur tradisional di Majapahit—dan mungkin berlaku untuk
tradisi lain—utamanya bukan dalam hal penataan bangunan, melainkan penataan
untuk ruang hidup. Saya turut menyaksikan karya rekonstruksi rumah Majapahit
dalam pameran ”Majapahit Puncak Peradaban Nusantara Abad 13-14 Masehi” di
Museum Nasional pada pertengahan 2007. Dalam pendaran tata lampu nan elok:
Rumah dengan skala sesungguhnya berdiri di atas batur, atapnya genting berukel,
berdinding anyaman bilah-bilah bambu. Ada dua anak tangga kecil yang
mengantarkan penghuninya masuk melewati pintu. Dapur lengkap dengan tempayan
berada di samping rumah. Penghuni rumah tampaknya menghindari genangan di
halaman rumahnya dengan parit kecil yang mengelilingi rumah dan hamparan
susunan kerakal bulat berbingkai batu bata untuk memudahkan air meresap. Sangat
arif! Sambil mengisap kretek, Oesman mengenang peristiwa lima tahun lalu dan
berkisah kepada saya. Seminggu sebelum pameran dia didatangi oleh seorang
anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Dia meminta Oesman untuk memperlebar
tangga dan pintu rumah itu hanya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berencana meresmikan pameran. Oesman menolak dengan alasan rumah itu merupakan
hasil rekonstruksi. Namun, pada saat pembukaan akhirnya Presiden masuk ke
rumah tersebut dengan hati-hati. Dia tampaknya terkesan dengan rumah mungil itu
lalu bertanya kepada Oesman.
“Kalau begitu konsep Rumah Sangat
Sederhanakita masih terlalu besar ya. Itu luasnya berapa?”
“Sekitar dua belas meter persegi,
Pak.”
“Kalau begitu bisa kita kecilin
ya RSS itu?” (luas RSS adalah dua puluh satu meter persegi).
“Silakan saja, Pak,” ujar Oesman
sambil tersenyum hormat.
Rumah dalam tradisi tropis
seperti Indonesia biasanya berukuran kecil karena menghadapi iklim yang lebih
ramah dibandingkan rumah-rumah di iklim empat musim. “Arsitektur kita itu
arsitektur halaman,” kata Oesman kepada saya. “Fungsi rumah itu hanya untuk
tidur.”
SUATU SIANG DI BEKAS permukiman
tepian kanal kuno. Saya menyambangi Suwadji, seorang penggarap batu bata di
Dusun Kamasan, Desa Sentonorejo. Ketika saya datang, lantai kuno—susunan
kerakal berpembatas batu bata—yang terhampar di lahan miliknya itu sudah tak
utuh lagi. Tanahnya telanjur dibongkar. Seorang buruhnya pernah menemukan
jambangan tembikar bermotif gajah dan ikan, namun saat ini sudah dijual kepada
seorang warga desa yang sering berkeliling mencari barang antik. “Begitu
ketemu, saya jual laku Rp200.000,” kenangnya. Banyak juga pemburu barang antik
luar kota bermain di situs ini. Yoesoep, pemuda desa yang bekerja di linggan
Sentonorejo, tahun lalu didatangi beberapa orang bermobil yang mengaku dari
BP3, tanpa surat identitas atau surat tugas. Mereka membeli temuan Yoesoep
berupa piring seladon bercorak ikan dan lima ratus batu bata kuno ukuran besar
senilai Rp10,5 juta. “Kami tahu itu memang merusak, tapi ini urusan perut. Itu
tidak bisa ditunda!” ungkap Yoesoep ketika saya tanya mengapa dia masih menggali
tanah untuk membuat batu bata. Tanpa kegiatan penambangan tanah untuk batu
bata, Trowulan pun kian rusak. Pertumbuhan penduduk juga telah meningkatkan
permintaan tanah untuk permukiman di desa itu, juga permakaman. Pada 2008
seorang mantan gubernur dan petinggi militer di Jawa Timur membangun kompleks
permakaman keluarga di kawasan yang padat temuan arkeologisnya. Kompleks makam
itu seluas delapan ribu meter persegi yang berdampingan dengan situs sejumlah
umpak persegi delapan di Pendopo Agung. Apakah tidak ada perlindungan dari
negara terhadap kawasan ini? “Dasarnya kita melarang apa?” ungkap Aris Soviyani
selaku Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur (BP3) ketika
saya menanyakan pembangunan permakaman tersebut dan maraknya pendirian bangunan
di kawasan Trowulan. “Secara legal formal tidak ada yang disalahkan. Kenapa
harus diributkan?” “Kawasan Trowulan itu belum ada statusnya hukumnya,” kata
Soviyani. “Sekarang BP3 tidak mempunyai kewenangan menetapkan cagar budaya
bergerak maupun tidak bergerak.” Dia sadar terdapat lebih dari tiga ribu titik
pembuatan batu bata yang berkait dengan perut warga Trowulan. Namun, sebagai
pelestari dia tak kuasa untuk menghentikan perusakan karena menurutnya dia
tidak punya alat untuk menegakkan hukum. Jika pemerintah menganggap penting
Trowulan, Soviyani berpendapat, sebaiknya kawasan itu segera dibebaskan dari
segala aktivitas penduduk. “Saya tidak setuju pendapat itu,” ujar Mundardjito
di kediamannya, Rawamangun, Jakarta Timur, ketika saya minta tanggapan tentang
pendapat Soviyani. Menurutnya, siapa
saja yang menemukan benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang “diduga cagar
budaya” wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang. “Setiap orang dilarang
melakukan pencarian benda cagar budaya atau yang diduga cagar budaya tanpa
seizin pemerintah,” katanya sambil menunjuk beberapa butir landasan hukum.
“Ketentuan pidananya kuat.”
Mundardjito menambahkan bahwa
pemerintah tidak harus membebaskan kawasan Trowulan atau memindahkan semua
penduduknya. Namun, yang terpenting, pemerintah harus mempunyai peraturan untuk
menata dan melindungi kawasan itu. “Dikuasai pemerintah itu tidak berarti harus
dibeli,” ujarnya.
Di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, saya menjumpai Surya Helmi selaku Direktur Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman. Kawasan Trowulan, menurut penjelasan Helmi, saat ini sedang
menunggu proses penetapan—yang tak bisa ditentukan waktunya—sebagai Kawasan
Strategis Nasional mengingat cakupan situs yang luas dan sangat signifikan
untuk sejarah. Nantinya, apabila kawasan strategis itu terwujud, pemerintah daerah wajib mencarikan solusi
bagi masyarakat yang bekerja sebagai pembuat batu bata untuk pindah ke sektor
pekerjaan lainnya. Helmi berharap kepada para kepala daerah supaya tak hanya
berorientasi untuk meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga turut menjaga
nilai budaya kawasan ini. “Otonomi daerah itu sudah jelas,” kata Helmi,
“pemerintah daerah berkewajiban menganggarkan dana untuk pelestarian cagar
budaya di daerahnya.” Helmi, melalui pendekatan persuasifnya kepada masyarakat,
menginginkan situs Trowulan tidak lagi seakan-akan hanya milik satu lembaga.
Situs ini harus mendatangkan kesejahteraan seluas-luasnya untuk masyarakat
Trowulan. “Kita mencoba memberikan pengertian dan kompensasi insentif bagi para
pelestari.” Tak semua pembuat batu bata di Trowulan menghancurkan tembok-tembok
kuno atau menjual temuan ke pemburu barang antik. Ruskan, pembuat batu bata
berusia 65, menemukan bangunan air dari batu bata ketika sedang menambang tanah
di belakang rumahnya, Nglinguk Wetan, Desember 2009. Atas kesadarannya, dia
melaporkan ke BP3 dan merawat temuan yang mirip kolam seluas lapangan bola voli
itu. Ruskan pun rela tidak melanjutkan penambangan tanah lagi karena lahannya
berada di situs bersejarah. Bahkan, dia memilih membeli tanah dari luar
Trowulan untuk bahan baku. “Saya rawat, tidak akan saya jual,” ujar Ruskan
dengan bahasa Jawa halus. “Kalau perlu saya melakukan pekerjaan lain.” Tulus
Andrias sedang sibuk di bengkelnya ketika saya bertandang. Dia menemukan enam
belas peralatan kuno dari besi dan gading di galian untuk bahan batu bata
belakang rumahnya di Kemasan pada April 2010. Dia juga melaporkan atas temuan
enambelas sumur kuno di lokasi yang sama. Andrias diganjar ucapan terima kasih
sebesar Rp2,5 juta dari BP3. Di linggannya yang masih mengepul dia menghampiri
saya dan berucap lirih tentang apa yang sudah dipikirkannya sejak dulu, tetapi
tak sampai hati mengatakannya: “Aku punya anak laki-laki apakah bisa dikaryakan
di museum?” Misdi lelaki berusia 61, mantan buruh linggan Andrias, menemukan
tinggalan Majapahit yang menggegerkan seisi desa. Pada Agustus 2003, sebuah
mata tombak besi tak sengaja tercangkul. Tombak itu berhiaskan ukiran gajah dan
babi sepanjang 66 sentimeter yang sebagian berlapis emas. Misdi menerima
imbalan jasa sebesar Rp9 juta karena telah menyerahkan temuan itu kepada BP3.
“Saya sekarang kerja di Museum Trowulan sejak 2005 sebagai pegawai honorer
merawat taman dan koleksi,” kata Misdi.
Kisah-kisah pelestari tadi
mungkin teladan kecil betapa pentingnya pemahaman antara harapan pemerintah dan
kepedulian masyarakat. Saya bertemu lelaki muda Koordinator Museum Trowulan,
Wicaksono Dwi Nugroho. Menurutnya, masyarakat Trowulan sebenarnya punya
kepedulian, namun telanjur dijustifikasi sebagai agen perusak. Nugroho menduga
bahwa hal itu terjadi karena mereka terlalu lama tidak turut dilibatkan dalam
kegiatan pemeliharaan. Sejak 1986 Trowulan telah mempunyai Rencana Induk
Arkeologi, namun yang terlupakan saat itu—dan hingga kini—adalah aspek sosial
budaya masyarakat. Akibatnya banyak muncul permasalahan antara pelestarian dan
aktivitas masyarakat. “Apa yang masyarakat lakukan—melaporkan temuan—itu
memerlukan perhatian dan penghargaan lebih dari kita,” ungkap Nugroho, “dan
kadang hal itu terlupakan.”
PAGI TERAKHIR DI KEGIATAN
lapangan Sentonorejo, tim ahli arkeologi berhati-hati melapisi reruntuhan
permukiman kuno di semua kotak ekskavasi dengan lembaran-lembaran plastik.
Lalu, mereka menimbunnya kembali dengan tanah. Ketiadaan pembebasan tanah untuk
perlindungan cagar budaya, berarti tiada pula jaminan bahwa reruntuhan dinding
kuno itu masih lestari tatkala mereka kembali lagi melanjutkan penelitian tahun
depan. “Sebagian besar temuan struktur itu masih bisa kita lihat, namun hanya
bisa di atas kertas,” ungkap Eriawati di ruang kerjanya. Dia membawa gulungan
kertas lebar lalu menggelarnya di hadapan saya. Gulungan itu menggambarkan
denah bangunan yang hanya sepotong-sepotong dan tak utuh, mirip permainan
teka-teki susun gambar. Eriawati mereka-reka bahwa dulu di Sentonorejo pernah
berdiri permukiman istimewa dengan berbagai bangunan ukuran besar dan saling
berdampingan pada wilayah yang berkonteks. Keyakinan Eriawati itu diperkuat
dengan temuan peralatan dan unsur rumah nan mewah, juga jaringan kanal kuno
yang pernah mengelilinginya. Tak jauh dari lokasi ekskavasi terdapat situs
tinggalan yang telah ditampak-ulangkan oleh para ahli arkeologi sejak tiga
puluh tahun yang lalu di Sentonorejo. Seluruh temuan tersebut juga menunjukkan
sisa-sisa bangunan istimewa yang berada di kawasan yang dulunya dikelilingi
kanal. “Saya tidak bermain di interpretasi, tetapi temuan,” ujarnya dengan
optimistis. “Dari temuan itu kami yakin bahwa Sentonorejo itu bagian kompleks
keraton, tetapi di mana istananya kami belum tahu.” Entah sejak kapan kompleks
permukiman kuno Majapahit ini terkubur akibat bencana alam bersama jaringan
kanalnya, lalu hilang dari ingatan peradaban. Kini remah-remah kemegahan yang
menyeruak itu tampaknya kian surut hingga suatu saat mungkin tak tersisa lagi
selain dongeng. Ibarat ketidaksiapan masa kini untuk menyambut datangnya masa
lalu, akankah kegalauan sejarah berulang? Inilah yang membuat Eriawati
frustrasi karena selalu kalah cepat dengan para pembuat batu bata dan pembangun
rumah-rumah baru. “Saya prihatin,” sebuah kalimat ringan dalam tulisan, namun
Eriawati mengucapkannya bersungguh-sungguh, “mimpi kalau kita bisa
merekonstruksi Kota Majapahit.”
No comments:
Post a Comment