KOMPAS, 27 Januari 2014
A Prasetyantoko;
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta.
BANJIR di Jakarta mulai
membuat banyak pihak kewalahan, mulai dari warga yang menjadi korban, pengusaha
yang menderita kerugian, pemerintah yang kedodoran menangani, hingga masyarakat
umum yang terkena dampaknya. Ditambah dengan bencana di daerah lain, seperti
erupsi Sinabung serta banjir di Manado dan jalur pantai utara Jawa, secara
kumulatif jelas menimbulkan kerugian sangat besar meski sebenarnya tak mudah
mengalkulasi nilainya. Dari pengalaman di sejumlah negara, disimpulkan,
perhitungan biaya yang bisa dilaporkan biasanya tak sampai 50 persen dari
kerugian sebenarnya.
Berapa biaya akibat
banjir di Jakarta? Ada banyak versi dengan rentang cukup lebar. Katakan saja
kerugiannya mencapai Rp 5 triliun-Rp 7 triliun. Jika dibandingkan dengan
bencana lain, jumlahnya tak seberapa. Misalnya, kerugian tsunami Aceh (2004) ditaksir
sekitar Rp 40 triliun, gempa Yogyakarta (2006) sekitar Rp 21 triliun, dan gempa
Padang (2007) sekitar Rp 27 triliun. Bedanya, banjir bersifat musiman sehingga
sebenarnya ada pola yang bisa dipetakan, baik dari dampak kerusakan, kalkulasi
kerugian, maupun langkah antisipasi dan mitigasinya. Selain kerusakan fisik dan
kerugian material, jatuhnya korban jiwa semestinya membuat semua perangkat
kebijakan bekerja lebih keras. Jika gejolak nilai tukar saja direspons dengan
cepat lewat seperangkat kebijakan, semestinya bencana alam diantisipasi dengan
lebih intensif. Ada dimensi kemanusiaan yang mendesak, bukan sekadar dinamika
ekonomi yang menggerus nilai kekayaan atau kualitas kehidupan.
Bencana adalah fenomena
global, sama sekali bukan monopoli Indonesia, apalagi Jakarta. Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2013, terbitan United Nations
Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR), menyatakan, total kerugian akibat
bencana di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Lagi pula, bencana
terburuk belum terjadi. Artinya, pada masa depan bencana akan lebih parah. Ada
tiga hal utama yang mendorong bencana lebih intens: kenaikan jumlah penduduk,
tingkat urbanisasi yang cepat, dan perubahan iklim. Dengan upaya cepat
mengantisipasi bencana saja belum tentu mampu mereduksi dampaknya. Apalagi
dengan sikap biasa saja, tanpa urgensi.
Bencana secara langsung
memengaruhi daya saing perekonomian. Ada beberapa pengalaman menarik secara
global. Misalnya, sebelum gempa 1995, Pelabuhan Kobe merupakan pelabuhan
tersibuk keenam di dunia, tetapi pada 2010 merosot ke posisi ke-47. Dalam
rantai produksi global yang semakin terintegrasi, bencana di suatu negara bisa
menimbulkan efek berantai ke negara lain. Toyota rugi secara global luar biasa
karena pabrik komponen di Jepang tersapu tsunami 2011; produksi mobil di India
berkurang 70 persen dan di China 50 persen. Kerugian akibat bencana menjadi
permanen jika merusak infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan instalasi
dasar lain.
Krisis nuklir di Jepang
berpotensi menggerus daya saing karena perannya sebagai sumber energi utama.
Mengingat dampaknya sistemik, baik secara ekonomi maupun kemanusiaan, upaya
untuk memitigasi bencana secara global dilakukan secara terorganisasi pula.
Berbagai inisiatif global dilakukan untuk memitigasi bencana secara sistematis,
baik melalui antisipasi maupun penyusunan protokol penanganan bencana. Karena
bencana tidak bisa dihindari, yang diperlukan adalah memastikan kita siap
menghadapinya.
Terkait dengan bencana
banjir di Jakarta, dampaknya begitu luas. Jalur distribusi, terutama pangan dan
bahan bakar, terancam terganggu. Pengiriman barang ekspor tidak maksimal,
banyak kawasan industri mulai lumpuh, sementara perbankan akan menghadapi
risiko kenaikan kredit macet di beberapa daerah. Mengingat setiap tahun hampir
pasti terjadi hal seperti ini, semestinya bisa dipetakan risikonya sehingga
bisa diantisipasi lebih baik. Misalnya, memindahkan sentra industri dari daerah
berpotensi banjir lewat penataan ruang yang dijalankan secara konsisten.
Inflasi bulanan Januari
ini diprediksi lebih tinggi daripada bulan Januari sebelumnya. Pada Januari
2009 terjadi deflasi, sementara 2010-2012 inflasi Januari 0,7-0,8 persen.
Sementara Januari 2013 relatif tinggi, sebesar 1,03 persen. Meski inflasi
Januari diperkirakan melonjak, inflasi tahunan tak akan banyak terpengaruh.
Sementara kerusakan fisik akibat banjir di sejumlah kawasan juga dipastikan tak
akan banyak menyedot tambahan biaya dari APBN. Pendeknya, dampak banjir tak
akan terlalu banyak mengoreksi besaran makroekonomi.
Namun, bukan berarti
dampak banjir bisa dianggap remeh. Ketidakseriusan pemerintah mengantisipasi
risiko rutin seperti ini akan meninggalkan kesan absennya kepedulian.
Akibatnya, investor memilih untuk tak mempertimbangkan Indonesia, terutama
Jakarta, sebagai bagian dari mata rantai produksi global. Tahun depan,
Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berjalan. Pertanyaan kunci bagi kita, di manakah
posisi Indonesia dalam mata rantai produksi regional? Sebagai basis pasar sudah
jelas karena penduduknya yang banyak. Namun, sebagai basis produksi, ada begitu
banyak agenda yang perlu disiapkan. Khusus untuk Jakarta, perlu ada upaya
khusus mengantisipasi banjir. Selain untuk mengurangi risiko korban jiwa bagi
penduduk, juga memastikan basis produksi dan kegiatan bisnis tetap bisa
berjalan dengan baik.
Pemetaan masalah,
rencana jangka panjang mitigasi, serta protokol baku penanganan banjir di
sentra industri dan wilayah bisnis menjadi penting. Untuk DKI Jakarta,
masalahnya begitu kompleks dan roadmap penanganan banjir tak bisa diserahkan
kepada pemerintah daerah saja. Harus ada sinergi dengan pemerintah pusat. Bukan
sebaliknya, banjir justru menyulut sikap saling menyalahkan dan berlomba
menarik simpati masyarakat menjelang pemilihan umum. Kenyataan itu sungguh
menjadi ironi luar biasa bagi bangsa kita. ●
No comments:
Post a Comment