Wednesday, February 5, 2014

Kalkulasi Biaya Bencana



KOMPAS,  27 Januari 2014

A Prasetyantoko; Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta.
 


BANJIR di Jakarta mulai membuat banyak pihak kewalahan, mulai dari warga yang menjadi korban, pengusaha yang menderita kerugian, pemerintah yang kedodoran menangani, hingga masyarakat umum yang terkena dampaknya. Ditambah dengan bencana di daerah lain, seperti erupsi Sinabung serta banjir di Manado dan jalur pantai utara Jawa, secara kumulatif jelas menimbulkan kerugian sangat besar meski sebenarnya tak mudah mengalkulasi nilainya. Dari pengalaman di sejumlah negara, disimpulkan, perhitungan biaya yang bisa dilaporkan biasanya tak sampai 50 persen dari kerugian sebenarnya.

Berapa biaya akibat banjir di Jakarta? Ada banyak versi dengan rentang cukup lebar. Katakan saja kerugiannya mencapai Rp 5 triliun-Rp 7 triliun. Jika dibandingkan dengan bencana lain, jumlahnya tak seberapa. Misalnya, kerugian tsunami Aceh (2004) ditaksir sekitar Rp 40 triliun, gempa Yogyakarta (2006) sekitar Rp 21 triliun, dan gempa Padang (2007) sekitar Rp 27 triliun. Bedanya, banjir bersifat musiman sehingga sebenarnya ada pola yang bisa dipetakan, baik dari dampak kerusakan, kalkulasi kerugian, maupun langkah antisipasi dan mitigasinya. Selain kerusakan fisik dan kerugian material, jatuhnya korban jiwa semestinya membuat semua perangkat kebijakan bekerja lebih keras. Jika gejolak nilai tukar saja direspons dengan cepat lewat seperangkat kebijakan, semestinya bencana alam diantisipasi dengan lebih intensif. Ada dimensi kemanusiaan yang mendesak, bukan sekadar dinamika ekonomi yang menggerus nilai kekayaan atau kualitas kehidupan.

Bencana adalah fenomena global, sama sekali bukan monopoli Indonesia, apalagi Jakarta. Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2013, terbitan United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR), menyatakan, total kerugian akibat bencana di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Lagi pula, bencana terburuk belum terjadi. Artinya, pada masa depan bencana akan lebih parah. Ada tiga hal utama yang mendorong bencana lebih intens: kenaikan jumlah penduduk, tingkat urbanisasi yang cepat, dan perubahan iklim. Dengan upaya cepat mengantisipasi bencana saja belum tentu mampu mereduksi dampaknya. Apalagi dengan sikap biasa saja, tanpa urgensi.
Bencana secara langsung memengaruhi daya saing perekonomian. Ada beberapa pengalaman menarik secara global. Misalnya, sebelum gempa 1995, Pelabuhan Kobe merupakan pelabuhan tersibuk keenam di dunia, tetapi pada 2010 merosot ke posisi ke-47. Dalam rantai produksi global yang semakin terintegrasi, bencana di suatu negara bisa menimbulkan efek berantai ke negara lain. Toyota rugi secara global luar biasa karena pabrik komponen di Jepang tersapu tsunami 2011; produksi mobil di India berkurang 70 persen dan di China 50 persen. Kerugian akibat bencana menjadi permanen jika merusak infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan instalasi dasar lain. 

Krisis nuklir di Jepang berpotensi menggerus daya saing karena perannya sebagai sumber energi utama. Mengingat dampaknya sistemik, baik secara ekonomi maupun kemanusiaan, upaya untuk memitigasi bencana secara global dilakukan secara terorganisasi pula. Berbagai inisiatif global dilakukan untuk memitigasi bencana secara sistematis, baik melalui antisipasi maupun penyusunan protokol penanganan bencana. Karena bencana tidak bisa dihindari, yang diperlukan adalah memastikan kita siap menghadapinya.
Terkait dengan bencana banjir di Jakarta, dampaknya begitu luas. Jalur distribusi, terutama pangan dan bahan bakar, terancam terganggu. Pengiriman barang ekspor tidak maksimal, banyak kawasan industri mulai lumpuh, sementara perbankan akan menghadapi risiko kenaikan kredit macet di beberapa daerah. Mengingat setiap tahun hampir pasti terjadi hal seperti ini, semestinya bisa dipetakan risikonya sehingga bisa diantisipasi lebih baik. Misalnya, memindahkan sentra industri dari daerah berpotensi banjir lewat penataan ruang yang dijalankan secara konsisten.

Inflasi bulanan Januari ini diprediksi lebih tinggi daripada bulan Januari sebelumnya. Pada Januari 2009 terjadi deflasi, sementara 2010-2012 inflasi Januari 0,7-0,8 persen. Sementara Januari 2013 relatif tinggi, sebesar 1,03 persen. Meski inflasi Januari diperkirakan melonjak, inflasi tahunan tak akan banyak terpengaruh. Sementara kerusakan fisik akibat banjir di sejumlah kawasan juga dipastikan tak akan banyak menyedot tambahan biaya dari APBN. Pendeknya, dampak banjir tak akan terlalu banyak mengoreksi besaran makroekonomi.

Namun, bukan berarti dampak banjir bisa dianggap remeh. Ketidakseriusan pemerintah mengantisipasi risiko rutin seperti ini akan meninggalkan kesan absennya kepedulian. Akibatnya, investor memilih untuk tak mempertimbangkan Indonesia, terutama Jakarta, sebagai bagian dari mata rantai produksi global. Tahun depan, Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berjalan. Pertanyaan kunci bagi kita, di manakah posisi Indonesia dalam mata rantai produksi regional? Sebagai basis pasar sudah jelas karena penduduknya yang banyak. Namun, sebagai basis produksi, ada begitu banyak agenda yang perlu disiapkan. Khusus untuk Jakarta, perlu ada upaya khusus mengantisipasi banjir. Selain untuk mengurangi risiko korban jiwa bagi penduduk, juga memastikan basis produksi dan kegiatan bisnis tetap bisa berjalan dengan baik.

Pemetaan masalah, rencana jangka panjang mitigasi, serta protokol baku penanganan banjir di sentra industri dan wilayah bisnis menjadi penting. Untuk DKI Jakarta, masalahnya begitu kompleks dan roadmap penanganan banjir tak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah saja. Harus ada sinergi dengan pemerintah pusat. Bukan sebaliknya, banjir justru menyulut sikap saling menyalahkan dan berlomba menarik simpati masyarakat menjelang pemilihan umum. Kenyataan itu sungguh menjadi ironi luar biasa bagi bangsa kita. ●


 

No comments:

Post a Comment