Ibarat memecahkan teka-teki dalam film Da Vinci Code,
arsitektur dan relief gereja ini menarik untuk diselisik makna filosofisnya.
JAN WOLTERS (1893-1954), salah
seorang pastor Congregatio Missionis pertama yang datang ke Hindia Belanda pada
1923. Dia meniti perjalanan di lereng Gunung Wilis dari Nganjuk menuju
Tulungagung. Dalam kegigihan misi pewartaan bersama van Megen dan Anton
Bastiaensen di akhir tahun 1920-an, tibalah para “Rasul Jawa” itu di Puh Sarang
untuk merintang lelah. Surya pagi menyingkap halimun perbukitan Gunung Klotok.
Aroma udara sejuk mengitari atmosfer jalanan berliku telah mengantarkan saya ke
Padukuhan Puh Sarang, sepuluh km jauhnya dari Kediri. Sejatinya, desa itu
bernama Kepuh Ngarang, maknanya Pohon Kepuh yang sudah tua. Namun, seiring
berubahnya zaman, pelafalan pun berubah singkat menjadi Puh Sarang. Nama Puh
Sarang sendiri sudah dikenal orang sejak pertengahan abad ke-19.
Jalanan menanjak di wilayah kaki
Gunung Wilis itu mengantarkan peziarah ke sebuah gereja dengan arsitektur
kontemporer Tropisch-Indisch. Bangunan ini adalah salah satu mahakarya Henri
Maclaine Pont (1884-1971), seorang arsitek lulusan sekolah tinggi teknik Delft,
lahir di Meester Cornelis (Jatinegara), berdarah keturunan Pulau Buru dan
Skotlandia. Pont memang gandrung dengan budaya Jawa. Namanya sohor karena kerja
kerasnya menggambarkan rekonstruksi Ibu Kota Majapahit di Trowulan. Padanlah
kami menyebut Gereja Puh Sarang sebagai mahakarya karena arsitektur gereja ini merupakan
perpaduan dua hati. Mereka adalah Jan Wolters dan Maclaine Pont. Wolters
merupakan seorang yang mencintai dan menghormati tata nilai budaya orang Jawa.
Sementara Maclaine Pont merupakan seorang yang tertarik dengan percandian di
Jawa, sekaligus resah tentang derasnya kemajuan yang mengikis budaya Jawa kala
itu. Hakikatnya, sebuah perpaduan yang menghasilkan budaya melalui penyerapan
nilai-nilai budaya lokal Hindu-Jawa dan Alkitab yang dirupakan dalam arsitektur
Gereja Puh Sarang. Sebuah gereja yang sarat makna itu diresmikan pada 11 Juni
1936 oleh Prefektur Apostolik Surabaya Mgr. Theophile De Backere, CM, dua tahun
sebelum beliau pulang ke Belanda.
Tidak seperti gedung-gedung zaman
kolonial yang dibangun megah berhiaskan porselen asal Delft atau kaca patri
dari Harleem Belanda, Gereja Puh Sarang dibangun dengan bahan bangunan dan
kearifan lokal penduduknya. Banyak material dari Kali Kedak, sebuah sungai yang
membelah Puh Sarang, digunakan untuk membangun gereja dan pagar kelilingnya. Tampak
depan, bangunan gereja ini mirip dengan gunung dan kapal, buah inspirasi dari
kisah bahtera Nuh yang terdampar di Gunung Arafat. Bersama Kamilah, seorang
Koster berusia 75 tahun, titian langkah saya terhenti di tangga pintu utama menuju
Gapura Henricus. SESAAT SAYA MENGAMATI GAPURA yang mengadaptasi bentuk candi
dengan lonceng bermahkota ayam, perlambang panggilan umat untuk bertobat dari
praktek kehidupan yang menyangkal keberadaan Tuhan. Di sisi utara terdapat
kerkhof (permakaman) dengan pintu gapura bernama Gerbang St. Yosef. Halaman
dalamnya dikelilingi pagar dengan tekstur batu kali yang bertonjolan. Di bagian
ini terdapat bangunan utama gereja yang diapit dua ruangan kecil. Ruangan sisi timur
menampilkan patung Pieta di atas tabernakel ala Yahudi, sedangkan sisi barat
menampilkan miniatur Goa Maria Lourdes. Maclaine Pont juga menempatkan tablet
terakota di sekeliling dinding halaman dalam yang mengisahkan jalan salib
Golgota.
Perpaduan budaya mewarnai
interior gereja dengan hiasan relief di batu bata bak candi-candi di zaman Majapahit.
Ruangan dalam dengan hamparan lantai terakota menambah takzimnya suasana
gereja. Inilah klimaks karya sang arsitek. Saya takjub melihat relief batu bata
yang terbentang yang menarik untuk dicermati detilnya. Salah satu bagian relief
tengah melukiskan empat pengarang Injil dalam symbol ikonik: singa bersayap
(Markus), manusia (Mathius), lembu (Lukas), burung garuda (Yohanes). Relief
sisi kiri altar terdapat patung Yesus yang dinaungi simbol-simbol penghormatan
kepadanya. Sedangkan relief sisi kanan altar menggambarkan penghormatan kepada
Bunda Maria. Relief simbol- imbol ikonik Jawa menaungi sosok Bunda Maria yang
diwujudkan dalam patung seorang ibu menggendong anaknya. “Ini lambang bintang
maksudnya sebutan Bunda Maria, Lintang Panjer Injing— intang timur atau Venus,”
kata Kamilah. ”Juga relief gapura ini simbol dari Gapuraning Suarga—gapura surga.”
Sosok Maria diibaratkan sebagai pintu purga bagi umat manusia karena melalui
perantaraan putranya, Yesus, manusia dibimbing masuk ke dalam surga. Seperti
kisah dalam film Da Vinci Code, kami menyimak serius kala Kamilah mengartikan
makna dibalik lambang-lambang ikonis yang terpahat di bata merah. Sungguh
banyak simbol-simbol dalam relief batu bata itu yang harus dipecahkan untuk mengetahui
makna sejatinya.
Semangat Maclaine Pont dan Jan
Wolters untuk melestarikan budaya Jawa tidak hanya diterjemahkan dari sisi
arsitektural saja, namun perilaku masyarakat menjadi dukungan yang lestari. Puh
Sarang memang unik. Misa-misa di Puh Sarang dihadiri umat dengan duduk bersila
khas orang Jawa. Bahasa pengantarnya pun Bahasa Jawa. Kekhidmatan umat dalam
menjalani ibadah juga tersirat dalam melafalkan ayat-ayat Alkitab dengan
macapat (tembang Jawa) bersama iringan gamelan. “Itu setiap Misa Jumat Legi,”
ujar Kamilah. “Ketika perayaan hari-hari besar, seperti Misa Natal dan Paskah,
umat menghadirinya dengan busana Jawa lengkap.” Kiranya Gereja Puh Sarang
memberikan warna khas dalam wisata religi tidak hanya bagi umat Khatolik, namun
bagi semua orang yang tertarik tentang budaya dan sejarah arsitektur.
Menyaksikan keanggunan Gereja Puh Sarang, ibarat melihat eksotisme Jawa dari
kacamata seorang Maclaine Pont.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment